Judul Asli : THE POSTMISTRESS
Copyright 2010 by Sarah Blake
Penerbit : Elex
Media Komputindo
Alih Bahasa :
Meggy Soejatmiko
Cetakan I :
April 2012 ; 588 hlm
Rate : 4 of 5
Sinopsis :
Hari ini tepat
tanggal 21 April 2012, hari peringatan Ibu Kartini sebagai Pahlawan Nasional –
pelopor gerakan emansipasi wanita di Indonesia. Namun diriku bukannya hendak
‘berpanjang-lebar’ tentang topik ini, hanya suatu ‘kebetulan’ diriku mengambil
sebuah buku dari sekian banyak tumpukan, buku yang tanpa sadar sedikit
mengingatkan diriku kondisi dan peran para wanita pada era Perang Dunia I di
wilayah Eropa serta Amerika.
Kisah ini
tentang sosok wanita muda yang memiliki semangat dan idealis tinggi. Frankie
Bard – setelah lulus dari masa pendidikannya, langsung melamar pekerjaan
sebagai jurnalis di New York, mengindahkan keberatan dari keluarga terutama
sang ibu yang mengharapkan anak gadisnya menjalani kehidupan normal : selesai
sekolah – bersiap memasuki kehidupan rumah tangga.
Namun Frankie
tak mampu dicegah, setelah beberapa saat menjalani kehidupan sebagai jurnalis,
ia tertarik untuk berangkat ke Eropa – meliput langsung suasana perang di sana.
Maka tak berapa lama, Frankie mendapati dirinya berapa di London, menjadi
wanita penyiar radio pertama yang menyiarkan siaran ‘langsung’ suasana perang
kepada masyarakat serta tetap mengirim tulisan sebagai jurnalis koresponden di
New York.
Di bawah
bimbingan Edward R. Murrow – reporter perang yang tidak pernah segan terjun ke
lapangan sekalipun di tengah gempuran bom, Frankie mendapati bahwa ‘menyajikan’
berita lewat radio bukanlah hal yang mudah – karena pelajaran pertama yang ia
peroleh : “Jangan pernah melibatkan emosi saat siaran” ... sesuatu yang awalnya
bisa ia ikuti, hingga ia mengalami berbagai peristiwa yang merubah seluruh
hidupnya.
Sementara itu,
jauh di Amerika, tepatnya di pesisir Franklin, Massachusstts, sebuah kota kecil
dengan penduduk yang kenal satu sama lain dan telah hidup secara turun-temurun
dari kakek-putra-hingga cucunya. Tapi beberapa generasi muda mulai mengambil
alih peran dalam kehidupan di kota itu. Di antaranya dokter muda Will Fitch –
yang setelah menyelesaikan pendidikannya, memilih membuka praktek di kota
kelahirannya, dengan membawa serta pengantin barunya yang cantik dan mungil :
Emma Fitch – seorang gadis yang hidup sebatang kara, tanpa ada satu pun sanak
yang masih hidup, dan kini ia memulai kehidupan baru yang lebih cerah dengan
pria yang dicintainya.
Dan tokoh lain
yang tidak kalah pentingnya adalah Miss Iris James – wanita single paruh baya,
yang memilih datang ke kota kecil dan menjabat sebagai kepala kantor pos di
Franklin. Meski semula kedatangannya disambut dengan rasa penasaran dan curiga,
sangat tidak wajar bagi wanita yang tidak menikah dan masih menarik untuk
bekerja seorang diri melayani kantor
pos. Namun sosok Iris yang lembut namun tegas, disiplin serta selalu setia pada
tugasnya, mengikis keraguan di kalangan wanita di kota itu.
Bahkan sebagian
besar berspekulasi bahwa Iris memilih pekerjaan yang membuatnya berkuasa atas banyak orang, karena dalam
setiap surat yang datang dan pergi lewat kantor pos, membawa berbagai kabar
serta informasi tentang keluarga, sanak, kerabat, kenalan setiap orang. Sungguh
sebuah surga bagi para penggosip berat ... tapi Iris James bukan wanita seperti
itu !!! Ia memegang teguh prinsip kerahasiaan serta tugasnya, bahwa sangat
PENTING agar kelancaran dan kelangsungan surat-menyurat berjalan, karena satu
keterlambatan saja akan berpengaruh pada
lingkaran-rutinitas seseorang.
Jika Eropa
tengah sibuk dengan peperangan, maka Amerika yang masih belum mengambil
tindakan, membuat masyarakat berspekulasi dengan kondisi ‘diluar sana’. Ada
yang pro tapi tidak sedikit yang kontra, bahkan sedikit skeptis dengan ‘isu-isu’
bahwa Nazi sengaja menggiring dan mengumpulkan bangsa Yahudi ke suatu tempat –
apa alasan dibaliknya ?? Bahkan tersiar pula kabar bahwa semua pengungsi Yahudi
telah selamat keluar dari wilayah peperangan. Tapi benarkah berita adanya
pembangunan kamp dengan tembok tinggi berkeliling yang sangat luas ?? Semua
serba simpang-siur... Dan tidak mungkin Jerman akan menyerbu Amerika, jaraknya
lumayan jauh dan ada perjanjian perdamaian antara Amerika dengan Eropa !! Maka
sebagian rakyat Amerika menjalani kehidupan dengan tenang.
Demikian pula
kehidupan di kota kecil Franklin, masih berlangsung dengan tenang dan damai.
Hingga suatu hari, saat Will Fitch mendapat panggilan untuk membantu proses
kelahiran anak kelima Maggie Wintrop – kenalan semasa kecilnya. Pasangan Jim
Tom dan Maggie sudah terbiasa dengan proses kelahiran, namun kali ini Will
melihat sesuatu yang menyebabkan hatinya berdebar, ada yang tidak beres dengan
kondisi Maggie. Ia sudah terlalu lama menunggu, air ketuban sudah kering namun
sang bayi belum ada tanda-tanda akan ‘keluar’ ... dan akhirnya setelah menunggu
sekian lama dengan penuh penderitaan, seorang bayi perempuan pertama di
keluarga itu lahir dengan selamat – meninggalkan sang ibu meninggal karena
kehabisan darah.
Will Fitch
sangat terganggu dengan kematian Maggie. Meski semua orang menghiburnya bahwa
itu bukan kesalahannya, adalah wajar seorang dokter akan mengalami kehilangan
pasiennya, bahkan keluarga Jim Tom tidak juga menyalahkan dirinya, bersedih
dengan kematian Maggie namun berusaha bersyukur atas kehadiran bayi perempuan
di keluarga mereka ... tetapi Will tetap merasa bersalah. Dan hal ini membawa
dirinya pada keputusan untuk berangkat ke Eropa, menyumbangkan tenaga dan
pikirannya membanto korban perang.
Emma, sang
pengantin muda sangat kecewa dan marah pada keputusan Will. Ia berkali-kali
mengatakan bahwa tidak semestinya Will ‘berkorban’ menyambung nyawa demi
membalas kematian Maggie. Tapi Will tak bisa dicegah, ia meminta waktu 6 bulan
pada Emma untuk melakukan ‘panggilan-hatinya’ ... dan ketika surat permohonan
sebagai sukarelawan turun, maka Will Fitch berangkat ke London, Inggris,
menyeberangi benua, meninggalkan pengantin mudanya.
Dan pada
masa-masa penantian selama berbulan-bulan, Emma senantiasa menanti surat dari
Will, yang seringkali sangat pendek, tak mampu memberikan kepuasan pada
kerinduan dirinya, betapa kesepian ia tanpa Will, apalagi sepeninggalan
suaminya, ia mendapati dirinya hamil. Emma tidak terlalu suka bergaul dengan
penduduk sekitar, sehingga ia lebih banyak mengurung diri di rumah dan
melakukan kunjungan rutin di kantor pos, membuatnya mau tidak mau berhubungan
denga Iris James. Tanpa Emma ketahui, Will menjelang keberangkatannya,
menitipkan sesuatu pada Iris, dengan mandat hanya diberikan kepada Emma jika
dirinya dinyatakan telah meninggal dan tidak dapat kembali pada sang istri
tercinta.
Di tengah
berbagai pergolakan yang terjadi, kehidupan insan-insan yang berbeda ini
bertemu di persimpangan, berbenturan dan saling mempengaruhi kehidupan
masing-masing. Meski terpisah jarak yang sangat jauh, meski terjadi pada seting
waktu yang berbeda, namun jika kita mampu melihat semua adegan yang terjadi
pada waktu yang bersamaan di layar yang sama ... maka akan nampak bahwa
perbuatan dan tindakan satu akan membawa seseorang pada jalur kehidupan yang
berbeda, bahwa apa yang kita lakukan, yang kita ucapkan, secara tidak langsung
berpengaruh pada kehidupan orang lain.
Bagaimana sosok
Frankie Bard yang menjadi narator di awal kisah, membawa perjalanan sebuah
surat pendek – surat terakhir bagi kekasih hati yang tak pernah tersampaikan
akibat kecelakaan tragis yang tak pernah diketahui siapa pun. Bagaimana
kejadian itu turut membawa petualangan Frankie menelusuri jalur para pengungsi
yang melarikan diri keluar Jerman. Ia menempuh perjalanan darat, berusaha
mendokumentasikan kehidupan singkat para pengungsi semenjak perjalanan jauh
kereta api mulai Lisbon menuju jalur akses keluar Berlin ke Prancis.
“Aku
menunduk memandangnya dan menyadari bahwa bocah laki-laki itu adalah
tetanggaku. Namamya Billy dan baru berulang tahun yang ke tujuh seminggu yang
lalu. Ia dan ibunya tinggal di ujung jalan. Aku memandang ke sekeliling tempat
perlindungan. Dan dimana ibumu? Mummy pergi menjemput Nenek, jawabnya. Ayo aku
antar pulang, kataku sembari menggandeng tangannya.”
“Tapi
ketika kami berbelok di ujung jalan, asap tebal bergulung-gulung naik ke langit
yang biru luar biasa, dan bocah lelaki itu melepaskan diri dari genggamanku dan
berlari mendahului. Bom tersebut telah membelah dan membentuk jalan setapak
miring di blok kami dan membakar semua atap-atap rumah.”
“Jantungku
berdentam keras. Aku mengikuti anak laki-laki itu, memandangi bagian depan
gedung apartemenku yang terkena bom. Jendela-jendela hancur, dan aku bisa
melihat tempat yang tadinya dapur kami. Aku menengadah keatas , berharap
melihat wajah teman serumahku – Harriet Mendelsohn. Tapi tidak apa-apa di
sana...”
“Bocah
laki-laki itu berlari menaiki tangga rumahnya yang hancur, dan berhenti di
ambang pintu. Mum ! Ia memanggil ! Mum ... ia memanggil ke dalam rumah. Aku
sudah pulang. Mum ? ia memanggil lagi dengan keyakinan seorang anak. Ibunya
selalu akan turun ke bawah ketika ia
memanggil ; ibunya akan segera turun ; atau keluar melalui sudut ; atau melalui
lorong dapur. Mummy !! Sekarang ia bertanya-tanya. Dari trotoar, aku mendengar
sesuatu berubah dalam nada suara bocah itu, walalupun punggungnya masih tegak
berdiri di ambang pintu ...”
(
from The POSTMITRESS at p. 122-124 )
Narasi serta
dokumentasi yang diwakili sosok Frankie ini mengingatkan dirinya akan film-film
perang, meski diriku membaca di terang siang hari nan panas terik, tanpa terasa
tubuhku menggigil demi mengutip kata-kata serta percakapan dalam benak Frankie
... Ini memang bukan dokumentar perang, tapi kisah yang berusaha ditampilkan
oleh penulis merupakan kompilasi dari surat-surat peninggalan kerabatnya semasa
Perang Dunia.
Masih terbayang
di benakku tentang penggambaran perjuangan para pengungsi yang “antri” dan
berusaha memasuki gerbong kereta api yang merupakan satu-satunya jalan keluar
dari kemungkinan terburuk dengan tetap tinggal di wilayah yang telah diinvasi
oleh Jerman. Hanya ada satu kereta yang diperbolehkan beroperasi untuk umum,
yang lain disita untuk keperluan perang. Jadi bisa dibayangkan, meskipun Anda
memiliki tiket kereta api, tapi butuh kekuatan dan perjuangan untuk berhasil
memasuki gerbong di setiap stasiun.
Perbandingan
antara kereta yang ada dengan jumlah calon penumpang sungguh tidak masuk akal.
Dan bagi para keturunan Yahudi, jika mereka berhasil naik di satu stasiun, pada
stasiun berikutnya bisa saja mereka disuruh turun oleh tentara Nazi, dan
berusaha berjuang untuk masuk kembali dalam antrean panjang ke dalam kereta
yang sebelumnya mereka tinggalkan. Kereta yang tidak akan kembali dalam
berminggu-minggu !!! Itu pun jika tidak kebetulan bernasib ‘sial’ dengan
bertemu perwira Nazi yang dengan seenaknya menembak mati siapa pun yang tidak
disukai – tanpa alasan jelas. Sungguh kemungkinan diriku bisa ‘gila’ jika
menyaksikan itu semua – dan sosok Frankie yang penuh dan idealis, berubah dalam
perjalanannya beberapa minggu ini.
Tentang penulis :
Sarah taught high school and
college English for many years in Colorado and New York. She has taught
fiction workshops at the Fine Arts Works Center in Provincetown, MA, The
Writer’s Center, in Bethesda MD, The University of Maryland, and The
George Washington University. She lives in Washington DC with her
husband, the poet Joshua Weiner, and their two sons. Find her at http://www.sarahblakebooks.com
Best Regards,
* HobbyBuku *