Judul Asli : VEIL OF ROSES
Copyright © 2007 by Laura Fitzgerald
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Alih Bahasa : Rahmani Astuti
Editor : Rini Nurul Badaria
Cover by Marcel A.W.
Cetakan I : Mei 2012 ; 376 hlm
Rate : 4 of 5
Rate : 4 of 5
Saat pertama kali melihat judul novel yang akan rilis ini, diriku
tergelitik untuk mencari tahu lewat sinopsis dan review dari luar, ternyata
cukup untuk menarik perhatian diriku untuk membeli dan membacanya ... dan
rekan-rekan sesama penikmat buku, boleh kusampaikan terlebih dahulu bahwa
harapanku akan bacaan yang bukan saja menarik tapi juga mampu menggerakkan
‘sesuatu’ di dalam hatiku, benar-benar terpenuhi ...
Sinopsis :
Kisah ini tentang gadis bernama Tamila Soroush yang tinggal di Republik
Islam Iran bersama kedua orang tuanya. Dilahirkan sebagai seorang wanita yang
sangat dibatasi kebebasan serta pemikirannya secara hukum di negara tersebut,
tidak menghalangi kedua orang tua Tamila dalam memberikan pendidikan yang cukup
bagi anak gadisnya. Kedua orang tua Tamila menempuh pendidikan di Amerika sekitar
tahun 1970-an, dan Tamila lahir serta dibesarkan di sana hingga usia 2 tahun,
ketika keluarganya memutuskan pulang ke negara asal pada masa gejolak perebutan
kekuasaan dari Shah Iran ke Ayatollah Khomeini. Berharap akan perubahan suasana
dan ‘udara segar’ pada pergantian rezim itu, justru mendapati bahwa mereka
berdua tak akan pernah bisa keluar dari Iran, paspor mereka yang bertanda
“Amerika” ditandai dan ditahan, harapan serta impian akan hidup yang lebih baik
perlahan mulai redup.
Tamila memiliki Impian serta pengharapan besar, ia tak puas dengan
keadaan di sekelilingnya. Ia haus akan pengetahuan serta memiliki keinginan
untuk melakukan suatu perubahan. Ia memulai dengan mengajar gadis-gadis cilik
berbagai pengetahuan yang diharapkan dapat menjadi bekal bagi mereka di
kemudian hari, hingga ia mengalami sakit akibat depresi. Dan saat ini, pada
usianya ke -27 tahun, ia mencapai suatu kegelisahan bahwa hidup serta Impiannya
akan ‘mati’ – tak rela untuk menempuh
jalan hidup yang sudah ditetapkan : dijodohkan-menikah-melahirkan-melayani
suami serta keluarga, tapi sekali lagi apa yang bisa ia lakukan ?? Masa
depannya sudah ditentukan semenjak ia terlahir sebagai seorang wanita yang
menjalani hidup di negara tersebut.
Kedua orang tua Tamila ternyata
memiliki rencana lain. Mereka sadar bahwa Impian serta kebebasan yang pernah
dirasakan tidak akan pernah bisa diperoleh kembali. Maka keduanya menyerahkan
Impian tersebut, memberikan pilihan kepada Tamila untuk meraih kebahagiaan
dengan caranya sendiri. Mereka memberikan hadiah ulang tahun bagi Tamila :
sebuah paspor dan tiket sekali jalan dari Iran menuju Amerika !!
“Aku sangat, sangat sayang padamu. Dan ketahuilah bahwa dunia di luar sana sangat, sangat indah.” Kata-katanya seolah tercekat di leher dan dia tak bisa berbiacara lagi sampai bisa menguasai dirinya kembali. “Pergi, dan kejarlah keberuntunganmu,” dia memerintah. “Berjanjilah padaku kau akan melakukannya.” “Aku berjanji , Maman Joon,” aku balas berbisik. “Aku berjanji akan pergi dan mengejar keberuntunganku.” ( p.19 )
Maka tiga minggu kemudian, Tamila Soroush berangkat seorang diri menempuh
perjalanan jauh menuju suatu tempat yang menjanjikan kebebasan dan terwujudnya
berbagai Impian : ia terbang ke Amerika. Tepatnya menuju Tucson, Arizona, tempat di mana Maryam
– kakak perempuannya yang telah menetap selama lima belas tahun setelah menikah
dengan Ardishir – dokter bedah ortopedi asal Iran yang telah menjadi warganegara
Amerika. Tamila memiliki ijin visa selama 3 bulan untuk berkunjung ke Amerika,
dan selama 3 bulan itu ia harus mencari seorang suami Iran yang bersedia
menjadi sponsor dirinya menjadi warga negara Amerika.
“Anda baru saja datang dari Iran?” Aku mengangguk. “Berapa lama Anda akan tinggal?” “Aku pindah ke sini.” “Betul ? Bagaimana caranya ?” “Aku akan menikah,” kataku sembari tersenyum.
“Selamat ya! Apakah Anda bertemu dengannya di Iran, dulu ?” Aku, menggeleng, menelan ludah dengan sulit. “Aku belum bertemu dengannya.” “Oh,” dia tampak kaget. “Dijodohkan ?” “Ya, dalam budaya kami, itu bukan hal yang aneh.”
“Wow, aku tidak bisa membayangkannya.” Dia menggeleng dan tertawa. “Tapi toh aku sudah bercerai dua kali, padahal umurku belum genap empat puluh. Siapa bilang cara Anda tidak lebih baik?” Mataku melotot. Bercerai, dua kali ! Dia pastilah kambing hitam keluarganya, dan perilakunya pasti begitu buruk sehingga tidak hanya satu pria yang sudah menceraikannya. ( p.23-25 )
Dan petualangan Tamila menuju Amerika dimulai saat ia berada di dalam
pesawat seorang diri, melihat para penumpang wanita segera melepas penutup
kepala setelah terdengar pengumuman bahwa pesawat telah meningglakan wilayah
Iran ... menikmati sajian minuman dan makanan, bahkan mendapat ‘saran’ dari
seorang wanita asing yang membuatnya ngeri ... hingga akhirnya mendarat di
bandara, disambut oleh kakaknya dan langsung ‘didandani’ karena di kediaman
Maryam telah berkumpul berbagai prospek calon suami yang dipilih oleh kakaknya.
"sequel to VEIL OF ROSES" |
Tamila mendapati berbagai kejutan demi kejutan, mulai dari operasi plastik yang
dilakukan oleh Maryam, berbelanja pakaian dalam di Victoria Secret, dan
mengikuti kursus bahasa Inggris di area University Avenue yang dimentori oleh
Danny – seorang anggota Peace Coprs Amerika. Tami kemudian berkenalan dengan
rekan-rekan lainnya : Edgard – seorang dokter
dari Peru, Agata dari Polandia, Josef dari Cekoslovakia, Nadia dari
Rusia, serta Eva yang periang dari Jerman. Bukan hanya berbagai pengalaman,
tapi diantara mereka yang sama-sama jauh dari negara asal, jauh dari sanak
keluarga, mereka saling mengisi dan berbagi, menjadi sebuah keluarga baru yang
unik dan menarik, sekaligus saling menyayangi.
“Apa yang kalian tunggu ? Kalau kalian punya keberanian untuk mengharapkan sesuatu yang lebih baik untuk hari esok, berarti kalian sudah punya keberanian.”
“Jika yang bisa kalian lakukan hanyalah berharap bahwa segala sesuatu akan menjadi lebih baik di masa mendatang untuk anak-anak kalian, dengan melupakan tentang diri kalian sendiri, berarti kalian menjual murah diri kalian sendiri di mata Tuhan. Kalian mengabaikan isyarat kebesaran yang telah dikaruniakan Tuhan dalam diri kalian, dan bukankah itu hal yang paling menyedihkan ?” ( p. 244 )
Selain mereguk kenikmatan serta kebebasan barunya, Tamila menghadapi
setiap hari merupakan hari baru, dimana ia akan selalu menemukan berbagai hal
baru, yang menyenangkan maupun menakutkan. Tamila juga disibukan dengan program
khusus yang diatur oleh Maryam, yaitu mencari dan bertemu dengan berbagai calon
yang diangggap layak dan dapat menyediakan fasilitas agar Tamila bisa tinggal
di Amerika seterusnya. Ada yang semula dianggap sangat cocok bahkan calon ibu
mertua sangat menyukai Tamila, masalahnya sang pria sudah bertunangan dengan
wanita lain yang bukan orang Iran. Kemudian ada juga sangat menarik, kaya, baik
dan sopan, tapi memiliki ‘obsesi’ terhadap kebersihan dan kuman ... hingga
calon yang sangat sempurna luar-dalam, hingga ia menyatakan sebagai gay dan
mengajukan perjanjian pra-nikah, membuat perjuangan Tamila semakin berat,
sedangkan waktu terus berpacu dan tanpa terasa batas waktu tiga bulan sudah diambang
mata. Tamila harus memutuskan mana yang lebih penting : keinginan untuk tinggal
dan menetap di Amerika dengan menghalalkan segala cara, atau memilih kehendak
hatinya, mencapai kebebasan serta Impian “jatuh-cinta-kemudian-menikah” dengan
resiko besar : ia harus kembali ke Iran.
“Kau adalah pria Amerika pertama yang kuajak bicara, tahu tidak ?” “Iya ! Dan aku begitu ketakutan. Aku harus mengumpulkan seluruh keberanianku pada hari itu untuk meminta sesuatu yang begitu sederhana seperti segelas air.” Dia menyengir. “Dan aku membuatkanmu es teh yang begitu kaubenci.” “Dan sekarang di sinilah kau, memintaku untuk menikah denganmu. Berani sekali.” ( p. 364 )
Kesan :
First impression – I love the cover (^_^) thanks to Marcel A.W. ‘cause
I’m become hugh-fan on every work and design cover ... Keep up the good-work
!!! Next impression – on the first,
second, third pages I already ‘caught’ by every words on each paragraph,
continue on pages after pages, whoaaa ... can’t and won’t stop at all, not
until the last pages, the last word, no wonder this book only took me one night
to finished it ( about 3-4 hours nonstops ).
Jangan membayangkan ini sebuah kisah tragis tentang gadis yang tertindas atau
terbelenggu oleh adat hukum tertentu ... meski memang keadaannya seperti itu,
tapi penulis mampu menyajikannya dalam suatu kemasan yang bukan saja sangat
menghibur dengan berbagai adegan serta kalimat konyol dan sangat lucu, tapi
sekaligus mampu mengetuk ‘hati dan pikiran’ kita akan suatu realita kehidupan
yang sering terlihat namun diabaikan begitu saja.
“Air mata mengambang di mataku ketika mendengarkan serenade yang sumbang ini, ketika aku melihat mereka menutup dada dengan tangan. Karena ini, lagi-lagi, membuatku sadar betapa kami telah ditolak di negeri sendiri. Selama bertahun-tahun, wanita dilarang menyanyi di depan umum, karena hal itu dianggap terlalu provokatif. Nyanyian This Land is Your Land – tanah ini adalah tanahmu ... membuat aku gemetar. Kemarahan menyulut hatiku karena aku terpaksa meninggalkan tanah air guna mencari kegembiraan yang tidak boleh kunikmati di Iran. Karena bahkan dalam keadaan yang paling baik sekalipun, Amerika, negeri untuk semua orang, tidak bisa menjadi lebih dari sekedar pengganti. Aku menginginkan tanah airku sendiri. Berani-beraninya mereka melarang wanita untuk menyanyi ? Berani-beraninya mereka mencekik suara kami ?” ( p.76-77 )
Jika mau menuruti kata hati, ingin ku-coret dan garis-bawahi dengan 'highlight’ pada setiap kata dan kalimat, bahkan setiap paragraf seakan sengaja disusun
sehingga membentuk berbagai pemikiran baru, tentang sesuatu yang sudah kita
sadari selama ini tapi entah mengapa jadi ‘sengaja’ terlupakan dengan berbagai
dalih dan alasan. Lewat sosok Tamila yang sangat cerdas, jujur dan memiliki kekuatan
Impian yang terpendam di dalam hatinya, tanpa sadar diriku turut merasakan
perang-batin yang berkecamuk dalam setiap tindakan, langkah dan keputusan yang
harus diambilnya.
“Jika satu-satunya jawaban yang pernah diterima gadis kecil adalah tidak, dari orangtuanya atau guru-gurunya atau dunia sekelilingnya, akhirnya kami berhenti meminta apa yang kami inginkan. Dia mulai belajar untuk tidak mengharapkan apa-apa, supaya dia tidak kecewa ketika itulah yang akhirnya dia daptakan.” Aku menghembuskan napasku, tergetar oleh kesadaran sendiri. “Padahal,” kataku, “ternyata, aku punya keinginan.” “Aku punya banyak keinginan.” ( p. 367 )
Kisah ini memberi peringatan sehingga diriku berharap bahwa setiap orang,
terutama kaum wanita, agar jangan pernah
membiarkan siapa pun membelenggu keinginan serta Impian, dan terutama jangan
pernah memberikan batasan pada diri sendiri – tantang terus diri kita
masing-masing setiap hari, manusia diberikan karunia untuk berkarya dan
menciptakan sesuatu tanpa memandang apakah ia seorang pria atau wanita. Jangan
pernah mengatakan “Aku Tidak Bisa” , selalu katakan berulang-ulang “Aku Pasti Bisa!” Dan jangan pernah
mengatakan bahwa Anda telah Gagal, karena sesungguhnya kegagalan hanya bisa
bisa dicapai jika Anda SUDAH melakukannya berkali-kali ( bukan hanya sekali
atau tidak pernah sama sekali ) ... maka jika bisa di-interpretasikan Kegagalan
hanyalah sebuah Kesuksesan yang Tertunda (^_^)
- yuk sama-sama kita berusaha lebih baik dalam setiap karya dan usaha
setiap saat !!!
Tentang Penulis :
Laura Fitzgerald menikah dengan pria Amerika keturunan Iran dan membagi
waktunya antara Arizona dan Wisconsin. Kelanjutan kisah tentang Tamila Soroush
dapat kita ikuti lewat novelnya “Dreaming In English” yang berkisah bagaimana
kehidupan Tamila sebagai warga negara Amerika, sembari berusaha menyesuaikan
dengan kehidupan dan keluarga baru yang dimilikinya. Selain itu, Laura juga
menulis kisah tentang perjuangan seorang wanita yang mengalami pelecehan
seksual dan sebagai wanita single-parents, ia harus berjuang seorang diri,
sampai seorang pria keturunan Iran mampu menyentuh hatinya serta putranya,
lewat novel “One True Theory of Love”. Untuk keterangan lebh lanjut mengenai
tulisannya, kunjungi www.laurafitzgerald.com
Best Regards,
* Hobby Buku *
aku udah baca buku ini,
ReplyDeleteAku suka kemampuan penulis menggambarkan kegelisahan Tami yang menyelipkan kondisi kehidupan perempuan di Iran, jadi bikin alur gak sekadar berisikan cerita cinta.