Judul Asli : BORN UNDER A MILLION SHADOWS
Copyright © by Andrea Busfield
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Alih Bahasa : Septina Ferniati
Editor : Rini Nurul Badariah
Cover by Eduard Iwan Mangopang
Cetakan I : Mei 2012 ; 376 hlm
Rate : 4 of 5
Rate : 4 of 5
Sinopsis :
Fawad – bocah laki-laki berusia 11 tahun adalah salah satu dari sekian
banyak penduduk Afganistan yang mengalami penderitaan bertahun-tahun. Hidup
berdua dengan sang ibu yang harus bekerja sebagai pembersih di kediaman
orang-orang kaya, Fawad tahu bahwa ia juga harus membantu dengan menawarkan
jasa di Chicken Street pada para turis asing. Apalagi mereka berdua menumpang
di kediaman bibi Fawad, saudara ibunya. Sebuah kediaman kecil dan sempit,
apalagi diisi oleh sang bibi, suaminya serta anak-anaknya, tempat yang kotor
dan penuh sarang penyakit. Namun hal itu jauh lebih baik daripada hidup
terlantar di jalanan.
Fawad masih ingat akan kisah-kisah masa lalu, kisah-kisah saat kehidupan
kedua orang tuanya masih bahagia. Mereka menikah dan memiliki putra pertama
bernama Bilal. Tiga tahun kemudian, pasukan Rusia meninggalkan Afghanistan
setelah kalah perang melawan pasukan Mujahidin. Kemudian dalam masa transisi
perpindahan kekuasaan yang penuh gejolak serta keributan, masuklah kaum Taliban
yang memberikan ‘aturan-aturan’ baru bagi penduduk Afghanistan. Dan pada saat
itu lahirlah Mina – putri satu-satunya dan kakak Fawad. Menyusul kelahiran
Yosef beberapa tahun kemudian, lalu terakhir Fawad lahir. Yosef meninggal
sewaktu kecil karena digigit seekor anjing. Kematian Yosef disusul oleh kepergian
sang ayah yang mengikuti pasukan pemberontak melawan kekuasaan rezim Taliban.
Dan beliau tewas, meninggalkan jandanya yang cukup cantik, dua orang putra dan
putri yang masih kecil, serta seorang bayi, berjuang mempertahankan hidup
dengan penuh ketakutan akan bencana lain.
Hingga malapetaka yang paling ditakuti akhirnya datang. Kediaman mereka termasuk salah satu korban pasukan Taliban yang berkeliling untuk membobol kediaman penduduk, menjarah harta benda, membunuh para penghuninya, seringkali disiksa terlebih dahulu, dan kaum wanita tak pernah luput dari pemerkosaan. Sang ibu yang mengalami hal itu sempat berteriak agar si kecil Fawad melarikan diri ketika rumah mereka dibakar habis, Bilal sang kakak terbaring tak sadarkan diri akibat pukulan, dan Mina – kakak perempuannya yang berusia sekitar 11 tahun, dibawa dalam truk yang berisi anak-anak gadis jarahan. Maka ketika sang ibu berhasil lari, ia mencari putranya yang terkecil, seraya membawa putra lainnya yang terluka Bilal. Bilal tak pernah pulih dari kondisinya, saat mendapati ia tak mampu melindungi keluarganya sebagai pengganti ayahnya. Ia berubah, penuh kesedihan dan rasa dendam. Maka pada usia 14 tahun, ia pergi tanpa pamit meninggalkan sisa keluarganya, bergabung dengan pasukan Aliansi Utara melawan kaum Taliban. Dan semenjak itu, Fawad dan ibunya tak pernah lagi bertemu dengannya, hidup mereka hanya tinggal berdua.
Hingga suatu hari kehidupan Fawad dan ibunya mengalami perubahan besar.
Sang ibu memperoleh pekerjaan tetap sebagai pengurus rumah ( memasak,
bersih-bersih, mencuci pakaian, dan segala urusan rumah tangga ) di kediaman
yang dihuni oleh 3 orang asing. Yang pertama Georgie – wanita cantik dan
menarik asal Inggris, sudah berpengalaman tinggal di Afghanistan dan menjalin
persahabatan dengan penduduk asli. Kemudian ada May – wanita asal Amerika, yang
selalu tampak sedih bahkan Fawad yakin ia sering menangis. Dan terakhir adalah
James – satu-satunya pria asing di kediaman itu, pria ramah dan suka bercanda,
bekerja sebagai jurnalis dan koresponden asing.
“Jadi kau lesbian, ya?”
“Ampun, kau tidak malu-malu bicara langsung, ya?”
“Kenapa?” “Entah kenapa, pokoknya begitulah aku.”
“Tapi bagaimana kau akan mendapatkan seorang suami kalau kau hanya mencintai perempuan?”
“Fawad, aku takkan pernah punya suami.”
“Parasmu tidak sebegitu jeleknya.” “Apa?” “
“Maksudku kau tak secantik Georgie.” “Tapi tidak semua laki-laki setampan Haji Khan.”
“Tampangku bukanlah pokok permasalahannya, Fawad. Pokok masalahnya, intinya, adalah aku tidak mau punya suami.”
“Jadi bagaimana kau bisa punya anak kalau tidak menikah?”
“Kau tidak perlu punya suami untuk punya anak.”
“May, menurutku kau sangat pintar dan tahu banyak hal, tapi sungguh , ini salah satu hal paling bodoh yang pernah kudengar dari mulutmu, atau dari mulut siapa pun.”
(~ “Born Under a Million Shadows” by Andrea Busfield | p. 113 – 115 )
Maka dimulailah perkenalan Fawad pada berbagai hal baru, tentang minuman
beralkohol yang tampaknya digemari oleh Georgie, May, apalagi James, sesuatu
yang terlarang bagi umat muslim, jadi bagaimana jika Fawad ditawari minuman
segar oleh James yang ternyata bir ?? Dan bagaimana dengan May yang menyebut
dirinya ‘lesbian’ – sesuatu yang sangat baru bagi Fawad dan tidak begitu ia
pahami. Mengapa May memilih jalan yang tidak membuatnya bahagia, tak heran jika
ia selalu sedih dan menangis. (berdasarkan pemahaman akan kehidupan masa depan
yang cerah dan bahagia bagi Fawad, sudah menjadi garis hidup bahwa seorang
wanita harus menikah dengan pria saleh yang menjadi suaminya, memiliki anak
sehingga terbentuk keluarga sesuai dengan ajaran agama). Tapi yang lebih membuatnya heran, hubungan
yang terbentuk antara Georgie dengan Haji Khalid Khan – pengusaha kaya raya,
yang memiliki pengaruh serta kekuasaan hingga tampak selalu dikawal pasukan
bersenjata lengkap. Meski demikian Fawad adalah bocah yang sangat cerdas, ia
mampu menangkap berbagai informasi baru serta kejadian demi kejadian di
sekitarnya. Dengan pandangan polos serta jujur seorang bocah, yang telah
mengalami kepahitan serta tragedi, namun mampu senantiasa melihat ‘sisi’ lain
yang lebih cerah – serta mengejar Impian masa depannya dan berjuang demi
orang-orang yang dikasihinya.
Kesan :
Saat melihat sinopsis buku ini, yang terbayang adalah kisah perjuangan
seorang bocah dalam masa peperangan di Afghanistan, dan yang kudapat setelah
mulai membaca halaman demi halaman ... tidak persis sama sesuai harapan. Dengan
memakai sudut pandang sosok bocah, yang terlahir dalam lingkup kekuasaan rezim
Taliban, sosok Fawad mampu mengundang rasa ingin tahu pembaca akan kenyataan
yang terjadi di Afghanistan. Namun jangan terlalu berharap mendapati suasana
peperangan yang brutal dan ganas, meski digambarkan sekilas dalam latar
belakang masa lalu keluarga Fawad, entah bagaimana diriku tak mampu menyelami
lebih dalam kesedihan maupun kepahitan yang dialami oleh Fawad dan ibunya.
Justru kesan yang kudapat setelah selesai membaca, kisah ini lumayan ‘menghibur’ dengan berbagai ketidak-tahuan Fawad akan kehidupan dunia luar setelah sekian lama terkungkung dalam berbagai larangan rezim Taliban. Hingga ia mampu melihat adanya perbedaan serta kesempatan untuk kehidupan yang benra-benar berbeda, saat tinggal bersama orang-orang asing yang menjadi majikan ibunya. Kesan lain yang cukup kuat adalah persahabatan Fawad dengan orang-orang di sekelilingnya, baik yang sebaya dengannya, maupun dengan orang-orang dewasa, terutama dengan Georgie – yang menjadi semacam ‘pujaan hati’ Fawad ketika pertama kali bertemu.
Tampaknya penulis berusaha untuk menyajikan sisi lain dari kehidupan
masyarakat Afghanistan. Jika pendapat umum menyatakan hal-hal terburuk yang
terjadi di sana, maka lewat kisah ini, penulis tidak menutupi bahwa memang
tragedi mengerikan terjadi setiap hari di wilayah tersebut, tapi keajaiban
serta kebahagiaan juga terjadi di berbagai sudut wilayah Afghanistan, sebagai
contoh kehidupan bocah Fawad beserta keluarga dan sahabat-sahabat barunya. Di
tengah berkecamuknya perang tiada henti, kebencian ‘buta’ terhadap orang-orang
asing, pendapat negatif tentang pengusaha kaya pastilah dari hasil usaha ilegal
(dalam hal ini berdagang opium). Dan semuanya ternyata tidak benar, karena
Fawad menemukan orang-orang dengan deskripsi tersebut, justru memiliki sifat
dan karakter yang bertolak-belakang, sehingga lambat-laun ia justru menaruh
respek dan rasa hormat serta kasih sayang layaknya mereka sebagai keluarganya.
Di Afghanistan kami punya peribahasa : ”Suatu hari kau bertemu teman, esok harinya kau bertemu seorang saudara.” Setelah nyaris setahun tinggal dengan orang-orang asing itu, sekarang aku punya dua saudara perempuan dan satu saudara laki-laki, dan meski cara hidup mereka kadang-kadang terasa aneh dan perilaku mereka pun tidak patut ditiruoleh seorang Muslim yang baik, aku amat mencintai mereka semua, satu per satu dan semuanya.
( ~ “Born Under a Miilion Shadows” by Andrea Busfield | p. 328 – 329 )
Jika Anda mencari bacaan yang menyegarkan, cukup ringan, namun tetap
memiliki bobot serta pesan tersendiri, maka ini adalah bacaan yang harus Anda
simak. Dengan berbagai kepolosan dan kejujuran pikiran Fawad yang diungkapkan
sebagai sudut pandang orang pertama, maka kita pembaca ditempatkan dalam posisi
untuk turut berpikir sebagai ‘sosok’ Fawad. Yang dapat kukatakan, ini adalah
bocah yang muda usia, namun cukup matang dalam pola pikir bak orang dewasa,
mungkin karena kondisi serta tragedi yang menimpanya telah memaksa dirinya
menjadi ‘cepat-dewasa’. Dan ia menemukan persahabatan unik dari orang-orang
dewasa di sekelilingnya. Hanya sedikit penyesalanku, penulis membuat kisah ini
dari paragraf demi paragraf yang terpisah-pisah, sehingga pada beberapa adegan,
yang seharusnya sangat menyentuh dan mengharukan, atau justru sangat mengerikan
karena ‘seharusnya’ terjadi sangat brutal ... justru berkesan ‘hambar’ dan
kurang mendalam. Maka setelah selesai dengan buku ini, hanya kesan bahwa ini
kisah yang lumayan menghibur, tidak ada nilai lebih yang mampu kuberikan ...
sungguh sayang sekali.
Tentang Penulis :
Andrea Busfield lahir di Warrington, Inggris, dan saat ini tinggal di Bad
Ischl, Austria. Ia bekerja sebagai seorang jurnalis selama 15 tahun, dalam 9
tahun di antaranya ia bekerja untuk The
Sun dan the News of the World,
sebelum akhirnya meninggalkan London dan hidup serta bekerja di Afghanistan.
Pengalamannya selama di Afghanistan membawa perubahan baru dalam kehidupannya,
terutama saat ia memiliki seekor anjing kesayangan, memperoleh seorang kekasih
dan penawaran dari penerbit untuk buku-buku yang ditulisnya.
Novel ‘Born Under a Million Shadows’ merupakan novel pertama yang
ditulisnya, dan hingga saat ini telah diterjemahkan dalam 18 bahasa. Novel keduanya
berjudul ‘Aphrodite’s War’ diterbitkan pada tahun 2010, berkisah tentang
keluarga Yunani di Cyprus, semasa peperang sekitar tahun 1955, satu demi satu
anggota keluarganya tewas, hingga tertinggal yang termuda, dan ia berangkat
bergabung dengan kawanan teroris melawan rezim pemerintahan, hingga perang
mendekati usai, ia kembali hanya untuk mendapati kehidupan baru buaknlah
sesuatu yang diharapkan olehnya.
Jika ingin mengetahui lebih lanjut tentang Andrea Busfield beserta
karya-karyanya, silahkan kunjungi websitenya di Andrea Busfield | akun FB Andrea Busfield | akun Twitter Andrea Busfield
Best Regards,
* Hobby Buku *
belum pernah baca novel bersettingkan tempat dan budaya timur tengah, wah sepertinya ini menarik.. :)
ReplyDeleteMbak, ini aku baru mau baca. Emang menarik banget sinopsisnya.
ReplyDelete