Judul Asli : ALL THE FLOWERS IN SHANGHAI
Copyright © by Duncan Jepson, 2012
Penerbit Serambi
Alih Bahasa : Istiani Prajoko
Editor : Dian Pranasari & Sidik
Nugraha
Desain Sampul : IG Grafix
Cetakan I : Juni 2012 ; 476 hlm
Pada musim panas 1932, di Shanghai,
Cina, seorang gadis belia bernama Xiao Feng, putri kedua keluarga Feng yang
baru berusia 17 tahun, masih menikmati kesenangan layaknya remaja
seusianya....meski ia tak pernah terlalu diperhatikan oleh kedua orang tuanya,
yang memilih mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada putri pertama, yang
diharapkan akan menjadi menantu keluarga kaya dan terhormat demi mengangkat harkat
keluarga mereka. Maka Xiao Feng, memilih lebih dekat dengan sang kakek yang
dengan senang hati menemani cucunya, apalagi setelah kematian sang istri.
Xiao Feng seorang gadis tinggi dan
langsing, yang gemar berjalan-jalan di alam bebas, menikmati pemandangan,
mengamati berbagai jenis tumbuhan serta nama-namanya, sebuah pelajaran menarik
yang diperolehnya dari sang kakek. Jika ia berada di luar sana, maka kesibukan
dan keributan di rumahnya akan terlupakan. Ia sudah terbiasa diabaikan dan
diperolok oleh ibu maupun kakak perempuannya, namun menjelang hari pernikahan
sang kakak dengan calon suami yang berasal dari keluarga kaya-raya dan
terpandang di wilayah tersebut, Xiao Feng terjepit antara rasa tertarik melihat
berbagai kesibukan dan takut melihat kemarahan sang kakak yang sewaktu-waktu
timbul.
Tiada rasa iri dalam hati Xiao Feng melihat berbagai kemewahan serta benda-benda yang akan diperoleh sang kakak, karena di dalam hatinya, ia tahu bahwa dirinya tak pernah menyukai hal-hal itu. Berdandan dan bertingkah laku sopan, mempelajari adat-istiadat, semuanya berada jauh dari benaknya. Apalagi saat ia bertemu dengan Bi – pemuda menarik dan periang yang dijumpainya di luar kediamannya. Rasa tertarik satu sama lain segera terjalin, dan Xiao Feng telah memimpikan menjadi pasangan hidup Bi, meski tidak kaya, namun mereka akan bisa hidup dengan bahagia, seperti kisah cinta kakek dan neneknya. Pertemuan sejenak antara keduanya, harus berakhir saat Bi kembali ke desa asalnya, menemani sang ibu yang telah selesai menunaikan tugasnya, mmebuat pakaian pengantin bagi kakak Xiao Feng. Dengan janji untuk saling berhubungan kembali, mereka berpisah membawa sebagian jiwa masing-masing.
“Aku tahu kami masih belia dan kekanakan, tetapi pemuda itu tetap memegangi blusku seakan-akan memelukku. Meskipun dia tak menyentuh kulitku, aku tetap bisa merasakan sentuhannya. Aku ingin dia menyentuhku dan bukannya kain bajuku, tetapi itu keliru dan tak pantas dilakukan.” ( p. 75 )
“Itulah ciuman pertamaku. Aku mengingatnya kembali agar bisa menceritakannya kepadamu. Ciuman itu begitu lembut dan penuh kasih sayang, tetapi saat itu aku belum mengenal perasaan semacam itu. Ciuman itu begitu lembut dan menyenangkan, membuatku ingin merasakannya lagi. Ciuman itu hanya terjadi sesaat, tetapi tetap kukenang sepanjang hidupku. “ ( p. 76 )
Impian bisa dibentuk, rencana bisa
dibuat, persiapan pernikahan akbar telah dilakukan selama berbulan-bulan
ternyata berubah menjadi bencana besar. Sang kakak mendadak jatuh sakit secara
aneh, berbagai spekulasi dan rumor tersebar dalam keluarga mereka, namun pada
akhirnya diagnosa datang justru pada
saat yang tidak diharapkan. Putri pertama keluarga Feng – yang menjadi tumpuan
Impian keluarganya, akhirnya meninggal akibat kanker ganas yang tak terdeteksi.
Dunia sekitar serasa runtuh bagi sang ibu yang teramat ambisius. Putri yang
dirawat, dijaga dan benar-benar menjadi tumpuan hidup serta masa depan yang
gemerlap, telah direnggut oleh sang ajal. Xiao Feng turut bersedih, namun ia
tak mampu merasakan kehilangan lebih dalam, karena meski hanya dua bersaudara,
mereka tak pernah dekat satu sama lain. Ia hanya berharap kehidupan di rumahnya
akan kembali seperti semula, berjalan sebagaimana kegiatan sehari-hari yang ia
jalani.
Dan Xiao Feng tidak memperkirakan kekuatan
atau boleh dikatakan ‘keegoisan’ sang ibu yang sedemikian besar keinginannya
untuk berada pada status sosial yang lebih tinggi. Dan demi tercapainya hal
itu, beliau ‘memaksa’ kehendaknya agar Xiao Feng menjadi pengganti sang kakak,
menjadi menantu keluarga Sang yang terpandang.
Xiao Feng tak mampu melawan meski segenap hatinya menjerit, menolak
kehendak sang ibu. Hatinya semakin patah melihat sang ayah bahkan kakek yang
sangat mencintainya dan tidak setuju
dengan rencana baru ini, justru terdiam, tak berkutik melawan kekerasan hati
ibu Xiao Feng. Ia segera dipersiapkan dengan penuh ketergesaan, harus belajar
sedemikian banyak hal menjelang pernikahan hingga otaknya tak mampu berpikir
jernih. Kebebasannya segera direnggut, bukan oleh orang lain, melainkan oleh
keluarganya sendiri. Ia bahkan tak bisa bebas menikmati pemandangan di taman,
karena senantiasa dijaga dan diawasi secara ketat oleh para pelayan yang
diperintah oleh sang ibu. Maka pada hari sekitar seminggu sebelum ulang
tahunnya yang ke-18, Xiao Feng diboyong sebagai pengantin Sang Xiong Fa – putra
tunggal, penerus keluarga Sang yang pandai
dan handal dalam mengelola usaha keluarganya....dan babak baru kehidupan
Xioa Feng dimulai !!
Kesan :
Kisah drama tentang sosok gadis
keluarga Cina yang masih terikat tradisi, sungguh menarik sekaligus membuat
miris membayangkan betapa terbatasnya kehidupan mereka pada saat itu. Kebebasan
akan hak pribadi adalah sesuatu yang sangat mahal harganya, dan alih-alih
memperjuangkan hak tersebut, rata-rata justru memilih berdiam diri, menerima
perlakuan yang dianggap layak untuk diterima.
Lewat karakter Xiao Feng – gadis belia
yang direnggut kebebasan serta Impiannya, penulis memberikan gambaran
pergulatan serta perjuangannya dengan memakai sudut pandang orang pertama,
yaitu Xiao Feng. Bak membaca buku harian yang berisi perjalanan hidupnya,
diriku terpaku semenjak halaman pertama yang sungguh menggugah keingin-tahuan,
karena ‘sebuah-jeritan’ samar jelas terungkap dalam kalimat-kalimat yang
tertera, bagai suara yang tak mampu mengeluarkan bunyi apa pun ...
“Aku masih ingat wajahmu. Aku melihatnya dengan jelas seperti ketika pertama kali aku melihatmu, bukan seperti wajahmu setelah aku menyakitimu. Aku tak mau melihat binar kehidupan di matamu saat kau dilahirkan atau saat aku memeluk tubuhmu yang hangat erat ke dadaku, dan sekarang aku menyesal tak melakukannya. Seandainya saja saat itu aku memandangmu ... tapi aku tak melakukannya karena bagiku kau terlahir mati. Bagiku saat itu kau bukanlah anak yang hidup, melainkan sebuah objek kebencian yang tercipta untuk disakiti dan dilukai.” ( from ‘All the Flowers in Shanghai’ by Duncan Jepson | chapter 1 ; p. 9 )
Xiao Feng merupakan perwujudan gadis
remaja dengan impian muluk dan kekanak-kanakan, seharusnya ia bisa dibimbing
dalam menjalani kehidupan barunya. Namun tak satu pun orang yang pernah dekat dengannya (dalam hal ini
keluarganya) memberikan bantuan moral dan kasih sayang. Ia justru mendapatkan
hal itu dari seorang pelayan yang menaruh belas kasih pada gadis ini. Sang
suami yang sebenarnya baik hati, namun tak memiliki keberanian menentang kedua
orang tuanya, justru membuat hubungan mereka berdua semakin menjauh.
Semenjak awal kedatangannya di kediaman
keluarga Sang, gadis ini telah diingatkan (dan selalu diingatkan dengan
berbagai cara yang tidak menyenangkan oleh sang ibu mertua), bahwa dirinya tak
lebih sebagai alat untuk melahirkan seorang ahli waris bagi keluarga itu.
Ketidak-sukaan dan ketakutan yang dialaminya, semakin lama semakin menumpuk
hingga menjadi sebuah kebencian – kemarahan yang terpendam kepada siapa saja
yang telah menyakiti dirinya secara fisik maupun jiwanya. Melihat penggambaran
hubungan badan yang tidak pernah
berhasil kecuali melalui ‘pemaksaan’ yang bisa dikatakan sebagai pemerkosaan
dalam konteks yang berbeda, tidak heran jika pada akhirnya Xiao Feng menaruh
kebencian pada janin yang terkandung di dalamnya.
“Rumah ini telah merampas jam-jamku setiap malam dengan tamak sampai serpihan terkecilnya, hanya Yan yang bisa mengembalikan kehidupanku dengan kebaikan hatinya. Aku merasa tak memiliki tubuhku sendiri ; hanya sekerat daging yang merupakan alat bagi otakku untuk kugunakan saat aku memiliki kendali penuh, tetapi semuanya – kulitku, bibirku, kakiku, tanganku, pantatku – bisa digunakan atau diperintah oleh orang lain kapan saja demi kesenangan mereka. Setiap malam, keluarga ini memasukiku dari segala arah, meninggalkanku kesakitan dan berdarah. Siang dan malamku luluh lantak.”
( from "All The Flowers in Shanghai" by Duncan Jepson | p. 217 )
Tampaknya penulis sengaja membiarkan
beberapa topik berkembang dan menjadi buah pemikiran yang bisa diperdebatkan,
siapakah yang benar dan siapakah yang bersalah, apakah tindakan serta
penyesalan Xiao Feng mampu menutup kisah ini ? Tiada jawaban yang pasti, pasti
ada pihak yang pro maupun kontra, namun yang mampu kupetik dari kisah
ini...apapun tindakan kita, pasti membawa sebuah konsekuensi yang harus
dipertanggung-jawabkan di kemudian hari, entah kita menyukai atau justru
sebaliknya. Dan sungguh ironis, bahwa Xiao Feng sungguh sangat mendendam dan
membenci tindakan yang dilakukan oleh keluarganya, sang ibu, ayah maupun
kakeknya – namun justru kelak ia melakukan hal yang sama terhadap keluarganya,
suatu keputusan yang disesali seumur hidupnya, dan ia memilih cara sama seperti
yang dilakukan sang kakek – Xiao Feng lari dari kenyataan pahit, memilih bersembunyi
di tempat yang jauh.
“.....Aku tidak berhak meminta apa pun darimu, tapi bacalah baris-baris kalimat dan kata-kata ini jika mungkin, dan ketahuilah bahwa aku selalu menyayangimu. Jangan sampai kau mengalami penderitaan dan memendam kebencian seperti aku. Aku berharap bahwa dengan segala hal yang telah hilang dan yang masih tersisa bagiku, kakiku yang tidak dapat digunakan lagi, otot-ototku yang robek, dan wajahku yang terasa panas, akau hanya perlu membuka mataku malam itu dan membiarkan diriku mencintai, seperti yang harus dilakukan semua orang....” ( -ending- )
Tentang Penulis :
Duncan Jepson adalah seorang penulis merangkap sutradara
dan produser yang telah meraih penghargaan untuk tiga film cerita dan dua film
dokumenter. Jepson juga memproduksi film dokumenter untuk Discovery Channel
Asia dan National Geographic Channel. Tidak hanya berprestasi sebagai insan
film, Jepson pernah menjadi editor majalah mode West East yang ditetapkan
sebagai Majalah Terbaik oleh The Society of Publishers in Asia pada tahun 2003.
Jepson kemudian mendirikan Asia Literary Review dan menjabat sebagai redaktur
pelaksana. Sehari-hari Jepson menetap di Hongkon dan bekerja sebagai pengacara.
Kini dia sedang menyelesaikan film dokumenternya yang ketiga : A Devil’s Gift.
Info selengkapnya tentang beliau dan
novel perdananya ini, silahkan langsung berkunjung ke : http://www.alltheflowersinshanghai.com/
Best Regards,
* Hobby Buku *
sad ending yak????
ReplyDeleteantara sad ending dan happy ending :D
Deletesuka ma cover yang versi indonesia, lebih elegan. salah satu buku yang masuk daftar wishlist nih
ReplyDelete