Books “GINKO”
Judul Asli : BEYOND THE BLOSSOMING FIELDS
Published by Alma Books, London, 2008
Copyright © Jun’ichi Watanabe, 1970
Translate from Japan by Deborah Iwabuchi & Anna Isozaki from original tittle ‘Hanauzumi’
Penerbit Serambi Ilmu Semesta
Alih Bahasa : Istiani Prajoko
Editor : Anton Kurnia & Dian Pranasari
Cetakan I : Oktober 2012 ; 576 hlm
[ Period : at the end of 19 Century ; Meiji era ] ~ [ Setting : Japan ] ~ [ History : Ginko Ogino – the first female physian di Japan ]
Desa Tawarase, Saitama Utara, yang subur dan makmur, dipimpin ole Ayasaburo Ogino – Kepala Desa yang merupakan keturunan klan Ashikaga yang terhormat, sehingga meskipun merupakan keluarga petani, mereka memiliki hak istimewa serta berhak menyandang pedang. Di usia yang ke-52, Ayasaburo lebih banyak menghabiskan waktu di tempat tidur, sehingga seluruh urusan rumah tangga harus ditanggung oleh Kayo – sang istri yang berusia 45 tahun, terutama karena putra tertua : Yasuhei yang sudah berusia 24 tahun, tidak berminat menekuni usaha keluarga. Dan saat itu penduduk desa sedang bergunjing dengan peristiwa pulangnya putri bungsu Ogino yang bernama Gin, tanpa didampingi keluarga sang suami. Kepulangan dirinya yang telah menikah selama 3 tahun dengan Kanichiro – putra tertua petani Inamura yang kaya raya, bukan untuk melahirkan ataupun kunjungan penghormatan kepada orang tuanya, tanpa membawa apa pun, menjadi topik hangat bagi masyarakat desa yang tak memiliki hiburan dalam kesehariannya.
Gin Ogino yang cantik, pulang ke kediaman orang tuanya dalam keadaan kurus dan sakit keras. Ia melarikan diri dari kediaman keluarganya suaminya, tanpa membawa apa pun selain buntelan kecil, berjalan pulang demi mencari ketenangan serat pemulihan. Gin terkena penyakit ‘norin’ (istilah pengobatan Cina untuk penyakit kelamin ‘gonorrhoea’) yang dideritanya selama 2 tahun lebih akibat perbuatan sang suami. Kini Gin berusaha memulihkan kekuatan dirinya, karena dokter keluarga mereka hanya bisa membantu mencegah kondisi agar tidak bertambah parah. Diagnosa untuk penyakit ini fatal dan belum ada cara penyembuhannya pada waktu itu. Dan kaum wanita yang mayoritas terkena penyakit ini tak mampu memiliki keturunan seumur hidupnya. Gin baru menikah saat ia berusia 16 tahun, dan kini menjelang usia 20 tahun, ia tidak memiliki bayangan bagaimana masa depan yang harus ia jalani. Namun satu hal yang pasti, ia tak mau kembali ke kediaman keluarga sang suami.
[ source ] |
Pada jaman itu Jepang, terutama di kalangan masyarakat yang masih memegang teguh adat-istiadat lama, perbuatan Gin dianggap tercela dan mencoreng nama keluarganya. Tidak layak bagi seorang istri lari bahkan meminta perceraian terhadap sang suami. Nasib Gin akan semakin parah, jika dituntut untuk kembali ke keluarag sang suami, untunglah sang ibu, Kayo Ogino bersedia membantu agar perceraian dapat terlaksana. Melalui perundingan antar keluarga, disepakati bahwa perceraian dapat dilakukan. Dengan syarat, diberitakan bahwa alasan perceraian karena Gin tidak mampu memiliki keturunan, sehingga ia ‘dikembalikan’ ke kediaman orang tuanya. Sungguh ironis, karena Gin memang tidak bisa memiliki keturunan, tetapi penyebabnya justru dari sang suami.
Kisah perjuangan seorang wanita demi mencapai Impiannya, bukanlah suatu hal yang baru. Namun jika ia juga harus melawan arus deras dan kuat, berupa adat-istiadat, pola pikir masyarakat kuno serta prasangka, sangatlah berat hal itu untuk dilaksanakan. Terlebih jika hanya seorang diri, tanpa ada teman atau pun keluarga yang mau memahami Impian tersebut. Ginko Ogino adalah wanita muda yang menderita akibat penyakit kelamin yang ditularkan oleh sang suami. Yang membuat dirinya berbeda, ia memiliki harga diri yang tinggi sehingga tidak bersedia menerima begitu saja nasib buruk yang ditimpakan kepadanya. Ia memilih bercerai, menimbulkan gunjingan buruk tentang dirinya (padahal ia adalah korban, bukan pelaku kejahatan) dan sembari mengisi waktu, ia menekuni ilmu-ilmu yang didapatkan dari berbagai bacaan, dan hal ini juga disoroti oleh masyarakat karena tidak pantas seorang wanita banyak menghabiskan waktu dengan membaca (wah, beruntung sekali diriku tidak hidup di jaman seperti ini).
“...memandang perempuan hanya dari kemampuannya menghasilkan anak tanpa melihat nilai-nilai lainnya adalah penghinaan. Suaminya tidak hanya merusak kesehatannya, tetapi juga telah merampok harkatnya sebagai perempuan. Masyarakat tidak akan menganggapnya sebagai perempuan sejati. Yang dilakukan semua laki-laki hanya meminta maaf. Lantas bagaimana dengan perempuan ? Menerimanya sebagai takdir dan menyerah begitu saja ?” [ p. 34-35 ]
Pada awalnya Gin – panggilan akrab dari keluarganya, tidak memiliki bayangan khusus apa yang akan ia lakukan setelah bercerai. Keberadaan dirinya di kediaman orang tuanya tidak lain karena kebaikan sang ibu yang menaruh iba atas kondisinya. Sedangkan saudara-saudaranya, terutama yang tertua, tidak ambil pusing dengan kondisinya, bahkan turut menganggap Gin telah mencoreng nama keluarga Ogino. Hingga suatu hari, ketika ia dan sang ibu berobat ke rumah sakit khusus di Tokyo, sebuah pengalaman tak terlupakan terjadi pada diri Gin, yang akan merubah masa depannya. Gin menderita ‘gonorrhea’ penyakit kelamin yang belum ada penyembuhannya pada waktu itu. Berbekal saran serta surat pengantar dari dokter keluarganya, Dr. Mannen, Gin ditemani sang ibu, berobat pada dokter Sato yang dikabarkan mampu menyembuhkan penyakitnya.
[ source ] |
Dr. Sato adalah dokter yang mempelajari ilmu pengobatan ala Barat, namun pendekatan dan cara pemeriksaan yang ia lakukan pada sang pasien, justru membuat Gin trauma dan merasa dilecehkan. Rasa malu yang tak tertahankan setiap kali dilakukan pemeriksaan oleh para dokter itu yang mendorong Gin memiliki Impian baru : ia ingin menjadi seorang dokter wanita demi membantu wanita-wanita lain yang berada pada posisinya sebagai korban kaum pria. Sebuah cita-cita yang luhur, namun bisakah ide tersebut diterapkan saat tiada satu hal pun yang bisa mendukung terwujudnya hal itu ?? Melalui sahabat-sahabatnya, Dr. Mannen serta putrinya Ogie, ia memutuskan meneruskan pendidikan untuk menjadi seorang dokter. Ini berarti ia harus menentang keluarganya, dan pergi seorang diri ke kota demi cita-citanya.
Jangan membayangkan bahwa Gin langsung mendaftar masuk sekolah kedokteran. Pertama-tama ia harus lulus pendidikan formal, yang berarti mencari guru yang bersedia membimbingnya (ingat pada jaman ini, tidak ada pendidikan lanjutan apalagi sekolah bagi kaum perempuan). Kemudian jika ia dinyatakan lulus, maka barulah ia diperbolehkan mendaftar di sekolah kedokteran. Kesulitan-kesulitan awal dirasakan oleh Gin, jauh dari semua kenalannya, tiada support dana yang memadai, ditambah dengan sang guru yang berniat memperistri dirinya ... Namun Gin tak kenal lelah, berusaha sekuat tenaga mencari jalan keluar setiap permasalahan yang harus dihadapi.
Dan ketika usaha memasuki sekolah kedokteran akhirnya diijinkan oleh pihak berwenang (meminta ijin masuk sulit luar biasa), pengalaman Gin sebagai satu-satunya perempuan di sekolah yang berisi kaum pria, diganggu, dihina, hingga dilecehkan (terutama jika ia hendak ke kamar kecil, yang tersedia hanyalah urinal bagi kaum pria), bahkan diancam diperkosa beramai-ramai oleh gerombolan yang tidak senang akan kehadirannya.
Saat membaca bagaimana Gin berusaha mempelajari anatomi tubuh manusia, dirinya yang tak pernah tahu tentang hal ini, ditambah dengan ilustrasi yang digambarkan oleh seniman, cukup unik jika hati digambarkan seperti sebuah payung, dan rahim bagaikan alat pemetik dawai samisen (lumayan lucu membayangkannya), dan guna mengetahui posisi organ-organ tubuh manusia, ia harus mencoret-coret tubuhnya sendiri dengan tinta dan kuas, serta berhadapan dengan cermin. Bahkan demi mempelajari bagian-bagian tulang, ia dan beberapa temannya harus membongkar dan mencuri dari pemakaman. Jangan harap ada sesi bedah anatomi bagi para siswa sekolah kecil seperti yang dimasuki oleh Gin, karena hal tersebut hanya diperuntukan bagi para ahli bedah ternama atau universitas terkenal. Saat-saat inilah Gin mulai membandingkan perbedaan nyata antara perkembangan ilmu kedokteran Barat dengan cara tradisional yang serta tertutup.
Penulis mampu menyajikan dengan baik gambaran kehidupan sosok Ginko Ogino, lewat narasi dan sudut pandang Ginko, seakan-akan ia sendiri yang mengisahkan perjalanan serta pergulatan dalam hidupnya. Halangan demi halangan, tiada henti menghadang setiap langkahnya. Kesulitan mencari guru, kesulitan memasuki sekolah, kesulitan untuk belajar sembari mancari nafkah bagi kebutuhan hidupnya, kesulitan memperoleh ijin praktek dari pemerintah– meski ia termasuk salah satu lulusan dengan nilai terbaik. Saat ia sudah bisa membuka praktek pribadi, kesulitan meyakinkan pasien untuk berobat pada seorang dokter perempuan, dan kesulitan menemukan pasien yang bisa membayar biaya-biaya pengobatan. Semua cobaan diterima dan dijalani tanpa kenal lelah. Hingga Ginko berkenalan dengan agama Kristen. Dan jatuh cinta pada pemuda yang usianya jauh lebih muda 13 tahun dari dirinya. Sebuah kisah kehidupan seorang perempuan yang penuh dengan lika-liku, dan kini namanya tercatat dalam sejarah dunia karena telah membuka jalan bagi kaum perempuan untuk bebas memilih jalan hidupnya sendiri.
My Random Though :
~ Ginko Ogino ~ [ source ] |
It’s a touching stories about woman named Ginko Ogino, who like others women live in Meiji’s era, struggling between her life, dreams and the right as human-being. Ginko’s life start when her engagement with wealthy and powerful family. Married with the heirs and give a honorable named for her family, but her dreams was ‘crushed’ when her husband give her ‘Gonorrhea’ – a dissease that infected most of the woman in those era, without proper medication or even knowledge how to cure it. Being sick for almost two years, deglected by her husband family’s and treated as a common servant, Ginko decided to runaway, walking with fever to her parents. Her coming home without proper announcement, makes the entire village’s fill with negative-issue. If not because her mother’s care, she will immediately sent-back to his husband.
Ginko’s mind changes through her suffer in marriage that not like her dreams as a young bride. And she persisted not coming-back to her husband, despite all ‘the-talking’ among villager. With her mother helps, she divorce and offiacially separeted with her husband. Ginko had to live the hummilation and negative-talks about her being single, ‘cause she cannot have a child for the heir her husband’s family. She really angry and heart-broken, when the guilty one : her husband, who give her dissease that cannot be cure and makes her infertile too, can escape from all the negative accusasion. But Ginko never want to be treated as a victim. She choose to reach another life, but that was a hard thing to do because of her condition.
Her life becoming very different when she had to face an ugly-discourage-exploitation and sexual hummiliation, when being treated di Tokyo’s Hospital. That traumatic episode, makes her thinking, what if there is a female doctor who examine and treating all the female victim / pasient not only with the cure but also gentle approach and honor their dignity as a woman. Her dreams become more and more stronger while she facing the suffer on the treatment in those hospital. And when she finally makes her mind, she had through all the hardest way to pursue her dreams. Rejected by her family because her action consider as traitor and dishonor family’s named, rejected by the society who thinks woman never had to be smart, reads a lot or even go to school and gets high education. This is a true story about Ginko Ogino – the first female doctor in Japan, who had suffer, through hummiliation and sexual harrasment almost all her life, to open a door for women’s rights in Japan, to get recognise as a human-being and an equal position in life.
Tentang Penulis :
[ source ] |
Junichi Watanabe dilahirkan di Hokkaido, Jepang pada tahun 1933. Dia mulai tertarik menulis semasa di bangku sekolah menengah. Ketika menjadi mahasiswa kedokteran di Universitas Sapporo, dia bereksperimen dengan tulis-menulis dan mulai menerbitkan tulisannya di sejumlah majalh sastra. Setelah lulus sebagai seorang dokter, dia sempat membuka praktek sebagai ahli bedah ortopedi, tapi kemudian memilih untuk mengundurkan diri, hijrah ke Tokyo dan menekuni dunia menulis sepenuhnya. Maka mulai tahun 1969, dia dikenal sebagai penulis yang produktif dan karya-karyanya mayoritas berupa novel biografis dan berlatar belakang dunia kedokteran, seperti ‘Hanauzumi’ (judul asli buku ini) dan Shitsuraken (A Lost Paradise) yang menjadi salah satu buku laris di Jepang dan negara Asia lainnya. Ia telah menghasilkan lebih dari 50 novel, beberapa di antaranya telah diadaptasi ke layar lebar. Berbagai penghargaan dalam bidang sastra dan penulisan juga diterimanya, antara lain Naoki Award (1970) untuk novel ‘Hikari to kage’ (Light and Shadow) serta Eiji Yoshikawa Award (1979) untuk novel ‘Toki rakujitsu’ (The Setting Sun in the Distance)
[ more about the author and his related works, check on here : Jun'ichi Watanabe | IMDb Database | Ginko Ogino ]
Best Regards,
No comments :
Post a Comment
Silahkan tinggalkan pesan dan komentar (no spam please), harap sabar jika tidak langsung muncul karena kolom ini menggunakan moderasi admin.
Thanks for visiting, your comment really appreciated \(^0^)/