Translate

Wednesday, February 27, 2013

Books "GADIS PANTAI"




Judul Asli : GADIS PANTAI
Copyright © by Pramoedya Ananta Toer 2003
Penerbit Lentera Dipantara
Desain sampul : Tugas Suprianto
Cetakan VII : September 2011 ; 272 hlm
Rate : 4 of 5

Kemarin malam ia telah dinikahkan. Dinikahkan dengan sebilah keris. Detik itu ia tahu : kini ia bukan anak bapaknya lagi. Ia bukan anak emaknya lagi. Kini ia istri sebilah keris, wakil seseorang yang tak pernah dilihatnya seumur hidup. [ p. 12 ]
Gadis Pantai berusia 14 tahun ketika ia diambil sebagai selir seorang pembesar Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Semua penduduk desa nelayan menganggapnya beruntung karena terpilih dari sekian banyak gadis-gadis kalangan bangsawan. Namun Gadis Pantai ketakutan dan tak menyukai bahwa ia harus hidup terpisah dari keluarganya, karena kaum ningrat tidak boleh hidup berdampingan dengan golongan rakyat jelata. Hidup dalam gelimang harta benda serta tak boleh lagi bekerja agar kulitnya yang kuning langsat semakin putih dan halus, segala sesuatu disiapkan oleh para pelayan, bisa memperoleh apa pun yang diinginkan, itu adalah Impian setiap orang, maka sungguh bodoh jika menolak rejeki di depan mata – demikianlah pandangan umum.
“Perempuan ini diciptakan ke bumi, Mas Nganten, barangkali memang buat dipukul lelaki. Karena itu jangan bicarakan itu, Mas Nganten. Pukulan itu apalah artinya kalau dibandingkan dengan segala usahanya buat bininya, buat anak-anaknya.” [ p. 95 ]
Namun realita kehidupan sungguh sangat berbeda. Pernikahan yang terjadi bukanlah suatu ‘pernikahan’ antara pria dan wanita yang saling mengasihi dan berjanji sehidup-semati. Gadis Pantai hanyalah alat untuk memenuhi tujuan Bendoro Agung, dan jika tujuan itu telah tercapai maka ia akan dipindahkan ke tempat lain, demikian pula jika terjadi kegagalan, maka ia akan dikembalikan ke pihak keluarganya. Gadis Pantai yang cantik dan ceria, harus merubah seluruh kebiasaan serta pola pikir mengikuti aturan serta tata krama kaum ningrat. Yang menyakitkan bukan hanya proses pembelajaran yang sulit, melainkan perlakuan serta pandangan para penghuni kediaman Bendoro. Kerabat Bendoro memandang rendah dirinya, meski kini ia dipanggil Bendoro Putri, tetapi asalnya tetap gadis dusun yang bodoh. Sedangkan para pelayan sebagian besar iri dan dengki melihat salah satu anggota miskin mampu naik ke posisi terhormat.
“mBok apa yang salah pada diriku?”
“Salah Mas Nganten seperti salah sahaya, salah kita, berasal dari orang kebanyakan. Kita sudah ditakdirkan oleh yang kita puji dan kita sembah buat jadi pasangan orang atasan. Kalau tidak ada orang-orang rendahan, tentu tidak ada orang atasan.”
“Aku ini, mBok, aku ini orang apa? Rendahan? Atasan?”
“Rendahan Mas Nganten, maafkan sahaya, tapi menumpang di tempat atasan.” [ p. 99 ]
[ source ]
Gadis Pantai kesepian dan ketakutan, hanya ada satu orang yang cukup perhatian dan mengasihinya, bujang pelayan yang dengan setia mendampingi serta memberi petunjuk bagaiman ia harus melakukan tugasnya sebagai Bendoro Putri. Hingga suatu saat, terjadi peristiwa yang menyebabkan pertengkaran dan konfrontasi antara Gadis Pantai dan kerabat Bendoro. Sebuah pencurian. Siapa yang telah melakukannya ? Pasti bukan orang luar karena terjadi di dalam kamar Bendoro Putri. Namun bagaimana Gadis Pantai mampu melawan ‘konspirasi’ yang dibuat untuk menyingkirkan dirinya ? Satu-satu orang yang berani berkata tentang kebenaran, membela dirinya, akhirny disingkirkan jauh-jauh, tak pernah lagi ia jumpai. Seorang diri, Gadis Pantai atau Bendoro Putri, tertatih-tatih menemukan jalan keluar setiap hari dalam kehidupannya, berusaha mencari kebahagiaan yang sedikit demi sedikit direnggut oleh kehidupan kaum ningrat. Ia harus waspada karena ‘musuh dalam selimut’ berada di sekelilingnya.
“Kelahiran sahaya sudah satu hukuman! Ia meradang – apakah dosa suatu kelahiran di tengah-tengah orang kebanyakan? Mengapa? Pelayan itu telah pergi. Kini ia harus berpikir sendiri. Dan dalam usia tidak lebih dari 16 tahun. Ia mengerti semua itu dengan perasaannya, dengan tubuhnya, dengan jantungnya.” [ p. 133 ]
Sebuah kisah yang cukup sederhana tentang perbedaan derajat dan jenjang sosial antara kaum miskin dan kaum bangsawan di kehidupan masyarakat Jawa. Sebagai keturunan bangsawan atau ningrat, acapkali mereka dianggap memiliki kelebihan – berdarah biru, yang berarti tidak boleh bercampur dengan golongan rakyat jelata. Gadis Pantai, adalah sosok yang memiliki perbedaan, dikarunia paras yang cantik dan menawan, ia bagaikan berlian di tengah kehidupan nelayan miskin, yang bersinar terang hidup dengan penuh kegembiraan di tengah kesulitan dan tantangan kehidupan. Seorang pembesar berniat ‘mengambil’ berlian itu untuk disimpan dalam kotak tertutup. Tiba-tiba sinar terang yang cemerlang itu semakin lama semakin redup, meski dirawat, dibersihkan dan diletakkan dalam perlindungan kotak yang mewah. Bagi Gadis Pantai, kerasnya kehidupan sebagai nelayan miskin lebih kuat ia tanggung daripada kehidupan mewah yang terkukung di dalam ‘kotak-besar’ kediaman sang pembesar. 

Bukan hanya kebebasannya dirampas, harkat serta martabat dirinya sebagai seorang wanita, sebagai manusia yang sederajat, direndahkan dan diinjak-injak hari demi hari. Jika pertama kali ia masuk sebagai gadis lugu yang bodoh, perlahan ia mulai memahami bahwa perbedaan antara yang terlahir sebagai rakyat jelata dan terlahir sebagai kaum ningrat, tak akan mampu dijembatani. Hati nuraninya berontak keras, meski ia tidak mampu membaca atau menulis, tapi ia mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Akan tetapi hukum serta tata krama mengikat dirinya untuk ‘mengeluarkan-suara-kebenaran’ – ia berada di tengah-tengah, terjepit antara kaum jelata dengan kaum ningrat, karena statusnya tidak diakui di kedua belah pihak. Dan yang lebih mengerikan, kaum wanita seperti dirinya, hanya merupakan komoditas – sarana bagi kaum pria, terutama bangsawan untuk memperoleh keturunan. Setelah melahirkan, ia akan ‘dibuang’ dan anaknya akan dirampas sebagai bagian dari keluarga bangsawan. Bahkan sapi perah masih lebih diakui keberadaannya daripada wanita-wanita seperti ini. 

Pram menuliskan kisah ini sebagai dedikasi atas perjuangan kehidupan sang nenek yang dikasihinya. Figur nenek yang berjuang demi kelangsunga kehidupan keluarganya, membanting tulang mencari nafkah dengan segala cara yang diangggap halal, merupakan pahlawan tanpa tanda jasa yang meninggalkan jejak dalam di hati Pram. Dan sorotan keras terhadap gaya kehidupan feodal bangsawan Jawa, mewarnai setiap dialog dan argumentasi dalam kisah ini. Dengan gaya narasi yang acapkali digambarkan sebagai jeritan hati Gadis Pantai, kita dibawa menelusuri kehidupan mewah di balik tembok tinggi menjulang dan tertutup. Meski disana-sini beliau menggunakan bahasa daerah, namun nampak suatu kehalusan tutur kata serta budi pekerti lewat sosok sederhana Gadis Pantai dan pelayan setianya. 

Yang patut disayangkan, ksaih yang merupakan trilogi ini, sempat lenyap-hilang tanpa bekas akibat larangan pemerintah dan vandalisme Angkatan Darat pada era tahun 60-an. Dan hanya bagian pertama dari trilogi ini yang berhasil diselamatkan oleh Universitas Nasional Australia (ANU) di Canberra, melalui dokumentasi Savitri P.Scherer – seorang mahasiswi yang mengambil tesis seputar proses penulisan Pram. Bagaimana kehidupan Gadis Pantai setelah dibuang oleh kaum bangsawan, tak mampu kembali ke dunia keluarganya, meninggalkan anak yang telah dikandung dan dilahirkan dengan susah payah, kemudian dirampas dan disembunyikan dalam tembok tinggi tertutup ? Tanpa dapat mengetahui secara pasti kelanjutan kisahnya, diriku yang baru pertama kali membaca karya Pram ini, tak meragukan bahwa apa pun yang terjadi, tulisan Pram akan menimbulkan jejak yang dalam di benak pembacanya – salah satunya adalah diriku. 

[ source ]
[ more about the author and related works, visit at here : Pramoedya Ananta Toer ]

EVENT POSTING BERSAMA BBI - Tema : PRAM's ANNIVERSARY

List of Participants : 
Best Regards,
* Hobby Buku * 

Monday, February 18, 2013

Books "THE LAST CONCUBINE"



Judul Asli : THE LAST CONCUBINE
Copyright © 2008 by Lesly Downer
Penerbit Matahati
Alih Bahasa : Yusliani Zendrato
Editor : Nadya Andwiani
Cetakan I : November 2008 ; 660 hlm
Cover by Abdul Latief
~ Re-Blogged from HobbyBuku's Classic ~

Dengan latar belakang Jepang sekitar tahun 1800-an, dimana kehidupan masyarakat Jepang berpusat pada 3 kota besar yakni Osaka, Edo dan Kyoto-kota suci danibukota resmi negara Jepang serta kediaman sang Kaisar di wilayah barat. Namun kekuasaan dijalankan terbagi antar daimyo (=bangsawan agung) yang memerintah provinsi-provinsi, dimana mereka bertanggung jawab danbersumpah setia terhadap shogun. 

Dan kisah ini berpusat di wilayah timur, yakni kota Edo (sekarang disebut Tokyo), tepatnya dimulai dari kehidupan dalam Kastil Edo, kediaman penguasa Lord Iemochi sebagai keturunan shogun Klan Tokugawa beserta para wanita – 3000 selir Sang Shogun Muda.

( Lembah Kiso, 1861 )
Gadis cilik bernama Sachi (=kebahagiaan) telah menginjak usia sebelas tahun, namun dirinya masih terlihat berbeda dibandingkan dengan anak-anak seusianya. Jika anak-anak lain bermata cokelat atau hitam, warna mata Sachi hijau tua, tubuhnya begitu ringkih dan kurus dengan warna kulit putih bening dan pucat, sedangkan anak-anak lain tampak kuat dengan kulit kecokelatan layaknya anak-anak petani. Namun Sachi tidak terlalu memperdulikan hal tersebut apalagi kedua orang tua angkatnya sangat menyayangi dirinya. 

Jiroemon – ayah Sachi sebagai keturunan samurai yang menjabat sebagai kepala Desa Kiso, sibuk dengan persiapan menyambut kedatangan rombongan Yang Mulia Putri Kazu, adik Kaisar – Sang Putra Langit, yang akan melewati Nakasendo (jalan raya yang menghubungkan Kyoto dan Edo yang dibangun pada abad ke-7) menuju Kastil Edo untuk menjadi pengantin sang Shogun. Tanpa ada yang menduga bahwa pada hari kedatangan Sang Putri di penginapan milik Jiroemon, maka saat itu pula nasib dan masa depan Sachi telah menanti. Sachi diambil sebagai dayang Putri Kazu yang akan menetap selamanya di Kastil Edo. Sachi harus meninggalkan Jiroemon dan Otawa, kedua orang tua beserta kedua adiknya yang masih kecil, menuju kehidupan yang sama sekali baru – saat itu ia berusia sebelas tahun.


( Kastil Edo, 1865 )
[ source ]
Tanpa terasa sudah empat tahun berlalu sejak Sachi diambil sebagai dayang. Saat ini kedudukannya sebagai dayang kesayangan Putri Kazu, membuat ia mengetahui seluk beluk kehidupan di Ooku-Aula Dalam, istana para perempuan terhormat Kastil Edo. Ia juga mengetahui bahwa sang putri terpaksa menjadi mempelai shogun dan meninggalka tunangan yang dicintainya, seorang pangeran kekaisaran. Namun Sachi masih muda dan polos, tidak mengetahui alasan sebenarnya saat ia - putri petani desa mendapat perhatian khusus dari sang putri dan dibawa masuk ke dalam Kastil Edo. Maka ia yang sekarang dipanggil sebagai Lady Yuri ( = berarti ‘bunga lili putih’ ) mengikuti semua petunjuk serta latihan keras yang diberikan dalam pengawasan Lady Tsuguko-kepala dayang Putri Kazu, untuk membentuk dirinya menjadi wanita terhormat layaknya penghuni Ooku

Dan pada saat yang telah tepat, Lady Yuri dipilih langsung oleh sang shogun sebagai selir-nya. Tanpa sepengetahuan Sachi/Lady Yuri, kepedihan hati Putri Kazu yang direnggut kebahagiaannya dengan menjadi mempelai shogun, tidak mampu merelakan dirinya untuk ‘berserah’ pada shogun, hingga ia melihat wajah Sachi di desa persinggahan. Maka direncanakan agar Lady Yuri diterima sebagai persembahan pengganti Putri Kazu pada sang shogun-Lord Iemochi. Hal tersebut sekaligus jalan guna membalas perlakuan dari Lady Tensho-in, sang Ibu Suri ( janda shogun terdahulu & ibu angkat shogun muda ), yang sejak awal kedatangan Yang Mulia Putri Kazu telah menunjukkan bahwa dirinya yang paling berkuasa di dalam istana perempuan Kastil Edo, bahkan merendahkan kedudukan Putri Kazu sebagai saudara Sang Putra Langit. 
 
Keberhasilan Sachi menjadi Lady Oyuri-Nyonya Ruang Samping, selir resmi Yang Mulia Shogun, membuat dirinya semakin kesepian dan harus senantiasa waspada terhadap orang-orang yang iri dan ingin menjatuhkan dirinya. Serangan dan tekanan baik mental maupun secara fisik harus diterima terutama saat kepergian Yang Mulia Shogun ke Osaka untuk memadamkan pemberontakan. Hanya didampingi oleh Lady Takiko ‘Taki’ dayang & sahabatnya serta bimbingan Haru – guru para dayang yang mampu membuat Sachi bertahan … dan ada sesuatu yang dapat dinantikan, kedatangan surat yang membawa kabar dari sang shogun muda : Kiku-sama, satu-satunya pria yang telah menempati hatinya. 

Dan suatu hari tanpa diduga – awan gelap menaungi Kastil Edo : sang shogun meninggal dunia karena penyakit misterius. Kematian yang tidak wajar menimbulkan desas-desus bahwa dalang utama dibalik peristiwa itu adalah Lord Yoshinobu, sepupu Lord Iemochi yang langsung mengganti kedudukan sebagai kepala Klan Tokugawa dan sebagai shogun baru.

( Kastil Edo, 1867 )
[ source ]
Sudah setahun berlalu sejak wafatnya Lord Iemochi, Sachi sekarang dijuluki Mantan Selir Lady Shoko-in. Dan pada tahun tersebut, Lord Yoshinobu sebagai shogun baru namun  berdiam di Osaka, mengejutkan banyak pihak terutama dari kalangan Klan Tokugawa saat mengundurkan dirinya dari status penguasa shogun dan menyerahkan kekuasaan kembali ke tangan sang Putra Langit-Tenno-sama, yang baru berusia limabelas tahun, putra Kaisar terdahulu yang mangkat dan merupakan kemenakan Putri Kazu. 

Kaisar baru yang masih belia serta mudah dipengaruhi, meninggalnya sang Shogun-Lord Iemochi sebagai penerus Klan Tokugawa yang berkuasa dan penyerahan kekuasaan oleh Lord Yoshinobu, membawa angin bagi pemberontakan-pemberontakan yang dipelopori oleh klan-klan dari wilayah selatan yang menentang pemerintahan di bawah Klan Tokugawa dan mereka merencanakan merebut kekuasaan dengan bantuan ‘kaum barbar’ (=bangsa Inggris) yang mempersenjatai mereka dengan senjata api (= pistol/senapan/meriam dengan mesiu). 

Peperangan pun tak dapat dielakkan, di mana-mana muncul kerusuhan yang menyusahkan rakyat, perang antar samurai membela tuan masing-masing bahkan bermunculan ronin-ronin (=samurai tak bertuan) yang mengatas-namakan pengembalian kekuasaan pada pihak yang berhak, antara sang Putra Langit dengan Klan Tokugawa. Dan para penghuni Kastil Edo pun, sebagai lambang kekuasaan Klan Tokugawa menjadi sasaran utama penyerbuan. 

Pada saat penyerangan, demi melindungi Putri Kazu yang hendak dijadikan sandera, maka Sachi/Lady Shoko-in menyamar menggantikan Putri Kazu keluar dari wilayah Kastil Edo guna menarik perhatian para pemberontak. Nyawa Sachi berada di ujung tanduk saat rombongan pengiringnya diserang, sebelum muncul pertolongan dari rombongan ronin pengikut Klan Tokugawa. Dan saat itulah titik balik dalam kehidupan Sachi dimulai, dengan munculnya Lady Takiko yang dengan setia diam-diam mengikutinya dan bersama-sama mereka menuju pelarian didampingi para ronin yang bernama Toranosuke, Shinzaemon dan Tatsuemon. 

Demikianlah kisah pembuka tokoh ‘Sachi’ : di mana pada awalnya dia adalah sosok rakyat jelata yang diangkat dalam kehidupan yang lebih tinggi dan dianggap bermartabat tinggi -sebagai selir pilihan shogun. Namun perang membawa pengaruh budaya yang berbeda dalam kehidupan adat-istiadat masyarakat Jepang yang masih membedakan manusia berdasarkan status sosial. Dalam perang baik rakyat jelata maupun bangsawan menjadi sosok-sosok yang tidak jelas, keserakahan, kegetiran, pengkhianatan bermunculan di mana-mana, namun juga mengeluarkan hal-hal terbaik dari manusia : kesetiaan, akal-budi dan kasih sayang mampu menjembatani perbedaan waktu dan jarak yang digambarkan lewat sosok wanita muda bernama Sachi.

[ source ]
Sekali lagi dalam budaya yang merendahkan derajat wanita di strata kehidupan sosial – sosok yang tampak tak berdaya ternyata mampu bertahan dalam kondisi terburuk sekalipun. Bagaimana Sachi mampu selamat dalam perang yang brutal, melihat kematian demi kematian orang-orang yang dikasihi, atau saat menghadapi kenyataan bahwa latar belakang dirinya ternyata rumit & membawa skandal yang dianggap ‘tabu’ pada jaman tersebut, namun dengan usia yang masih muda, dia mampu melihat dengan kebijakan danpemahaman yang berbeda. Bagaimana ia ‘jatuh-cinta’pada pria yang dianggap lebih rendah statusnya ( terutama pergolakkan batin antara tanggung jawabnya sebagai janda Terhormat Shogun dengan panggilan nalurinya sebagai wanita muda belia ). 

Bagaimana pula saat ayah kandungnya muncul setelah bertahun-tahun lenyap meninggalkan bayi Sachi yang baru lahir & ia bekerja sebagai sekutu pihak musuh Klan Tokugawa. Atau bagaimana ia berusaha ‘membantu’ Taki yang jatuh cinta pada pria yang ternyata berhubungan dengan pria lain ( ternyata homoseksual juga telah ada di era tersebut ).  Bagaimana pula saat era modernisasi akhirnya memasuki kehidupan masyarakat Jepang …  bahkan seorang pria asing dari Inggris – kaum yang disebutnya sebagai bangsa ‘barbar’ , ternyata memiliki pengetahuan serta daya tarik tersendiri bagi hati Sachi, hingga Edwards menawarkan ‘cincin pertunangan’ pada dirinya dengan kelembutan & kesopanan yang tak pernah ditemuinya pada pria-pria Jepang …

Dalam setiap bagian selalu muncul kejadian-kejadian yang mungkin pernah kita dengar, namun membaca ulasan yang disampaikan oleh penulis secara gamblang – mau tidak mau membuat pembaca akan terkesima. Misalnya saat gadis Sachi yang baru berusia lima belas tahun menjalani ‘malam pertama’ dengan shogun dengan dikelilingi minimal 4 wanita tetua yang wajib melihat / mendengarkan peristiwa tersebut (waduuh … no privacy at all, apalagi sebelumnya Sachi menjalani pemeriksaan fisik secara intensif terutama organ kewanitaannya , jika zaman sekarang bisa dianggap setengah pelecehan seksual). 

Bahkan setengah tuntas tugasnya (karena shogun segera berangkat ke medan pertempuran), Sachi senantiasa diingatkan berulang-kali bahwa dirinya bukan apa-apa melainkan sekedar rahim yang disewa ( dalam hal ini oleh perintah Putri Kazu-Permaisuri Pilihan Shogun yang tak rela memberikan keturunan secara langsung bagi Shogun ) dan nilai akan dirinya hanya akan diangkat lebih tinggi jika telah memberikan keturunan bagi sang Shogun (yang terjadi tak dapat terlaksana sehingga garis keturunan dari Lord Iemochi terputus). 
 
[ source ]
Juga keheranan Sachi terhadap Edwards yang mengaku diperintah oleh seorang wanita (Ratu Inggris), belum lagi perlakuan-perlakuan yang merupakan kesopanan semata seorang pria terhadap wanita : membantu naik kereta, memberi salam dengan mencium tangan, menuntun danmempersilahkan wanita berjalan di depan pria (di Jepang yang juga masih berlaku pada saat ini - dimana posisi wanita terhormat adalah di belakang pria, apalagi jika ia adalah suaminya) … jadi membayangkan pria tinggi besar berjalan di belakang wanita mungil vs pria kecil / lebih pendek dangempal berjalan dengan langkah-langkah panjang disusul oleh wanita mungil yang berusaha mengikuti langkahnya di belakang, tidak boleh terlalu dekat namun juga tidak boleh tertinggal (suatu pemandangan yang kontras)

Sungguh suatu kisah yang  mengharu-birukan, kisah sejarah yang dibawakan dengan lugas, manis, bahkan dengan gaya bahasa yang berkesan ‘sopan’ seakan-akan tokoh Sachi sendiri yang menulis kisah ini … maka segera buka lembaran buku ini, jangan khawatir dengan ketebalannya, karena dijamin anda tak akan dapat berhenti sebelum lembaran terakhir tuntas dibaca !!

~ syair perjumpaan-perpisahan-pertemuan dua insan manusia ~
“From long ago

Though I had heard to meet

Could only meant to part 

Yet I gave myself to you       

Forgetful of the coming dawn” 
"Hajime yori
Au wa wakare to
Kikinagara
Akatsuki shirade
Hito o koikeri"
“Dari dulu aku tahu

Bahwa pertemuan

Hanya bisa berarti perpisahan

Namun aku menyerahkan diriku padamu

Terlupa akan fajar yang datang menyergap”
Tentang Penulis :
Lesley Downer lahir dari ibu keturunan Cina-Canada dan ayah seorang professor bidang literature Cina. Maka tidak heran sejak kecil ia telah dikelilingi berbagai kebudayaan Asia. Namun Jepang-lah yang menjadi kecintaan pribadinya, sehingga sebagian besar waktunya dihabiskan tinggal atau pulang-pergi di Jepang. Saat ini Lesley telah menikah dengan Arthur I. Miller-seorang penulis pula danmereka tinggal di Inggris. The Last Concubine merupakan novelnya yang pertama. [ Website : Lesley Downer ]


Best Regards,


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...