Books
“LARASATI”
Judul Asli : LARASATI
by Pramoedya Ananta
Toer
Copyright © Pramoedya
Ananta Toer 2003
Penerbit Lentera
Dipantara
Desain
buku : M. Bakkar Wibowo & Ong Hari Wahyu ; kulit muka : Ong Hari Wahyu
Cetakan
V : Februari 2010 ; 180 hlm ; ISBN 978-979-97312-9-6
Rate : 3.5 of 5
“Kalau mati dengan berani ; kalau hidup dengan berani. Kalau keberanian tidak ada – itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita.” – Pramoedya Ananta Toer
Sepanjang sejarah
bangsa Indonesia, kisah-kisah tentang penjajahan serta perjuangan untuk
memperoleh kebebasan demi harkat dan martabat serta kesetaraan setiap manusia,
senantiasa muncul melalui keberhasilan maupun kegagalan para pemimpin hingga
orang-orang yang akhirnya menjadi sosok pahlawan nasional. Pelajaran sejarah
teus terang bukan hal yang kusukai semasa sekolah. Menurutku, perjalanan serta
detail tanggal-tanggal peristiwa penting yang wajib dihafalkan, demi memperoleh
nilai tinggi dalam laporan akhir (raport), sangat-sangat membosankan dan tidak
memiliki kegunaan yang layak sebagai bekal menjalani kehidupan di masa kini.
Uniknya, hal ini
berubah ketika diriku memulai masa kuliah, dimana salah satu mata kuliah wajib
adalah mempelajari sejarah melalui bangunan serta perkembangan kota. Kini
kusadari, bukanlah ‘mata pelajaran sejarah’ yang membosankan, melainkan cara
penuturan serta metode sang pendidik yang tidak menarik, sehingga makna penting
yang seharusnya muncul dalam pembahasan sejarah masa lalu, apalagi perjuangan
terwujudnya suatu bangsa yang bebas dan merdeka, haruslah diresapi dan
dipahami, alih-alih sekedar menghafalkan aneka tanggal serta lokasi
tempat-tempat bersejarah. Dan melalui studi literatur saat mengenal karya
sastra pujangga hingga penulis era perjuangan, sekelumit percikan kehidupan
masa lalu, menjadi wujud nyata di benakku, buka sekedar hafalan belaka.
Pramoedya Ananta
Toer, dikenal sebagai pujangga dan pelopor kebebasan melalui setiap goresan
penanya. Harus kuakui, diriku baru mengenal ‘beliau’ dalam kurun waktu 2 tahun
terakhir ini, dan kesan pertama saat membaca karya beliau ‘GADIS PANTAI’ , kini
menjadikan diriku salah satu penggemar yang berusaha mencari-membaca-menikmati
karya-karya lainnya yang cukup sulit ditemukan dimasa kini. Kisah kali ini
merupakan perpaduan antara drama roman dengan fakta-fakta sejarah pada masa
peralihan kekuasaan Jepang ke Belanda di Indonesia. Alih-alih mengambil sosok
pahlawan terkemuka, Pram menyoroti dari sudut pandang yang berbeda. Tokoh utama
kisah ini adalah wanita muda nan elok, bintang film ternama yang terjebak dalam
dunia peperangan, antara kaum pemberontak dengan kaum penjajah, antara pria dan
wanita, antara kaum tua hingga kaum remaja.
Larasati namanya,
namun ia lebih dikenal dengan panggilan ‘Ara’ – bintang film Indonesia, pemain
drama berbakat yang bukan saja memiliki keelokan paras serta tubuh, tetapi juga
kecerdasan serta keberanian dalam menempuh kehidupan yang berat. Dibesarkan
sebagai putri mandor perkebunan tebu di Deli, hingga kematian ayahnya mendorong
sang ibu hijrah ke pulau Jawa membawa putri kecilnya, hingga ia bekerja sebagai
pelayan keluarga Inggris. Kehidupan masa kecil, memberikan bekal sera
pengetahuan pada si Ara, sehingga ia mampu bergaul dan menjalani kehidupan di
kalangan para petinggi dan pejabat setelah beranjak dewasa. Keputusan untuk
mengikuti rombongan seniman, yang tak pelak membuatnya menjadi sosok primadona,
diperebutkan oleh kaum pria ‘berdompet tebal’ yang bersedia memberikan ‘hadiah
termahal’ bagi dirinya, demi menikmati kemolekan Larasati.
Bahkan dengan
berkuasanya Jepang pada masa itu, Larasati mampu menempatkan diri sebagai
primadona sekaligus simpanan para pejabat Jepang. Hingga Sekutu datang untuk ‘membebaskan’
Indonesia dari cengkeraman penjajaha Jepang. Pada masa peperangan tersebut,
Larasati harus mengambil cuti panjang, karena tidak ada produksi film, meski
demikian ia menjalani kehidupan yang cukup nyaman sebagai orang ternama.
Kemudian Jepang menyerah pada Sekutu, dan Belanda muncul, membentuk NICA
sebagai perwakilan sementara untuk membenahi pemerintahan Indonesia yang
porak-poranda. Rakyat Indonesia sempat terpedaya, hingga akhirnya menyadari
keberadaan NICA merupakan pengganti yang tak kalah buruknya dengan penjajah
Jepang. Perjuangan melawan tekanan dan deraan, memakan jutaan korban jiwa, dan
sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata yang tak pernah diingat atau
dikenang sebagai pahlawan nasional. Inilah sekelumit kisah mereka melalui
tuturan Larasati.
“Rupa-rupanya di bumi jajahan ini setiap orang hidup atas dasar hancur-menghancurkan. Dan siapa tidak dihancurkan di bumi penjajajahan ini ? Siapa yang tidak dihancurkan ? Siapa ? Mereka yang tidak dihancurkan, mereka yang tidak menghancurkan, adalah yang jadi landasan hidup binatang ini.” ~ [ p. 42-43 ]
Dari kota Yogyakarta
yang terkenal sebagai tempat bernaung kaum seniman, kebebasan berkreasi dan
mengungkapkan pikiran, mulai membelenggu kala Belanda menerapkan undang-undang
khusus, dimana kaum seniman harus tetap berkarya hanya saja mereka
diperkenankan untuk menampilkan satu hal : kisah-kisah yang merupakan
propaganda menunjukkan Belanda sebagai sekutu dan sahabat Indonesia, terutama
bagi pandangan dunia luar. Larasati adalah salah satu dari sekian pemain yang
menolak melakukan hal tersebut. Sebagai artis yang menginjak usia 27 tahun, ia
sadar masa depannya harus dijalani dengan seksama, terutama saat memutuskan
langkah mana yang hendak ia ambil. Ketika ia memilih untuk kembali ke Jakarta,
menemui ibunya yang hidup seorang diri, Larasati dihadapkan pada kenyataan yang
mengerikan sekaligus menakutkan dalam sepanjang perjalanan antara Yogya dan
Jakarta.
Jakarta – ibukota yang
gemerlap dan penuh keramaian, berubah menjadi medan perang, dengan bangunan
runtuh serta hancur, mayat bertumpuk, benteng-benteng serta kaveleri hingga
meriam yang disimpan oleh kaum ‘inlander’ – bangsa Indonesia yang bekerja dan
memihak pada NICA. Permainan politik demi keuntungan pribadi, perebutan
kekuasaan hingga harta milik orang lain, memecah-belah bangsa Indonesia, kala
pemerintah Belanda memberikan ‘perlindungan-khusus’ bagi mereka yang bersedia
menjadi mata-mata di antara bangsa Indonesia sendiri. Para pejabat berwenang
yang masih bertahan, tak pelak merupakan ‘perpanjangan tangan’ penjajah
Belanda, yang mengeruk-menguras-menghabisi bangsa mereka sendiri. Kaum pria dan
pemuda yang kuat secara fisik dan mental, menjadi tahanan seumur hidup atau
hingga mereka tewas akibat siksaan tiada henti. Hingga yang tersisa hanya kaum
tua, anak-anak remaja yang memilih mengangkat senjata turut berperang dan tewas
secara mengenaskan.
“Seluruh kedudukan yang enak diambil orang-orang tua. Mereka hanya pandai korupsi ... angkatan tua itu sungguh bobrok. Hanya angkatan tua yang korup dan mengajak korup ! Angkatan muda membuat revolusi melahirkan sejarah.” – Pramoedya Ananta Toer
Melalui kisah yang
terbilang cukup pendek ini, Pram mengajak pembaca untuk ‘menjelajahi’ berbagai
kemungkinan akan aneka keputusan yang diambil menyangkut kehidupan di masa
depan. Dengan menggunakan sosok Larasati – wanita yang dianggap lemah, obyek
eksploitasi kaum pria, sebuah pesan penting terpampang sepanjang pergulatan
kehidupan Larasati. Bukan banyaknya simpanan harta benda atau uang yang
dimiliki, meski kekuasaan dapat diperoleh dari hal-hal tersebut. Bukan pula
kepemilikan senjata yang mutakhir, ataupun ribuan pasukan alteri dengan
meriam-meriam yang siap merobek bangunan hingga tubuh manusia. Namun ‘keberanian’
untuk mengambil sikap berdasarkan prinsip serta keyakinan, yang akhirnya
membawa kemenangan atas pengorbanan jutaan nyawa manusia dari usia kanak-kanak
hingga kaum tua. Larasati – dengan bangga menyandang status sebagai pelacur,
namun menolak menjadi boneka propaganda Belanda, atau menyerah ketika disekap
sebagai budak seks orang Arab – antek-antek Belanda. Revolusi sebuah bangsa,
dimulai dengan munculnya sosok yang bersedia menentang ketidak-adilan dalam
wujud apapun, meski nyawa pribadi taruhannya.
“Biar aku kotor, perjuangan tidak aku kotori. Revolusi pun tidak ! Negara pun tidak ! Rakyat apa lagi ! Yang aku kotori hanya diriku sendiri. Bukan orang lain.” ~ [ p. 44 ]
Sebelum menutup
sekelumit ulasan ini, ada sedikit perbedaan yang kudapati, kala membaca ‘Gadis
Pantai’ penulis menggunakan gaya bahasa yang sangat indah nan elok, menunjukkan
latar belakang serta nuansa kehidupan kaum ‘priyayi’ ...sedangkan dalam kisah ‘Larasati’
gaya bahasa mengikuti situasi, menyoroti perbedaan antara kaum penjajah
(beserta antek-anteknya) dengan masyarakat jelata. Makian dan umpatan turut
memberikan warna tersendiri, kemunculan karakter-karakter pendukung dengan
berbagai latar belakang yang cukup beragam (bahkan ada sosok penulis puisi
ternama bernama Chaidir – bisa diduga, siapa gerangan tokoh yang dimaksud),
maka Larasati cukup layak menempati posisi tersendiri bagi penikmat buku maupun
penggemar karya Pram. Pujian serta salut akan bukti ‘Keberanian’ patut
diberikan pada penulis, terutama dalam menggambarkan secara detil dan gamblang,
komedi permainan politik para pejabat Indonesia maupun bangsa asing, yang
mengatas-namakan kepentingan umum demi melontarkan maklumat perang, meski
justru rakyat jelata yang menjadi korban pertama, deraan dan siksaan hingga
kematian merenggut dan membebaskan mereka dari penderitaan panjang.
[ more about this
author and related works, just check at here : Pramoedya Ananta Toer
| on
Goodreads ]
~ This Post are
include in ~
&
2014 Reading Challenge
7th Book
in What’s A Name Challenge
16th Book
in TBRR Pile
Best Regards,
Hobby Buku
Jadi pengen baca. Aku cuma pernah baca karya Pramoedya yang Gadis Pantai dan Midah.. Yang ini kayaknya lebih menarik. Tapi udah jarang ya bukunya.
ReplyDeleteHoh, sejujurnya, aku baru pertama kali denger judul buku ini makanya jadi penasaran dan semakin penasaran setelah selesai baca reviewnya.
ReplyDeleteMempertimbangkan masuk ke wishlist ah xD
Aku tadi kayaknya udah subumit,kok gak ada *mewek*
ReplyDeleteEh malah curhat, haha..
Iya, aku baru denger judul ini :D
aku sampai sekarang belum baca pram lagi mbak XD pernah punya buku ini malah aku hibahkan hahaha... mungkin kapan2 bakal pinjem aja :p
ReplyDeleteToss mbak, untuk postbar hisfic aku juga baca buku ini, cuma beda penerbit. Aku penasaran sama Gadis Pantai, apalagi mbak Maria bilang bahasanya lebih indah.
ReplyDeleteToss, mbak. Untuk postbar hisfic aku juga baca buku ini. Penasaran sama Gadis Pantai, apalagi mbak Maria bilang bahasanya indah.
ReplyDeleteCover Larasati yang ini bagus banget.
Larasati..berkelana.. *nyanyi
ReplyDeleteaku baru tahu ada buku ini, beneran, mbak. *nodong dion buat nyariin
Reviewnya bagus, Mbak, jadi penasaran sama bukunya :)
ReplyDeleteSejujurnya akupun baru tahun terakhir SMA kemarin bener-bener suka sama pelajaran Sejarah, mungkin karena waktu itu baru 'terbuka' pikirannya bahwa kadang sejarah yg kita pelajari di sekolah nggak semuanya bener, sebagian justru diceritakan yg 'bagus-bagus'nya aja, padahal ada sisi lain yg mungkin beda versi. Jadi tertarik deh sm pelajarannya :)
banyak yang baca bukunya Pram dalam posbar kali ini dan aku belum pernah sekali pun baca --"
ReplyDeleteAku juga punya Larasasti, tapi baru Midah Bergigi Emas yang kureview, Larasati bakal masuk postinganku posbar tema perempuan. Terobsesi mau koleksi semua karyanya Pram ;)
ReplyDelete@lucktygs
http://luckty.wordpress.com/2014/02/27/review-the-jacatra-secret/
aku jadi mikir, kenapa banyak tokoh dalam novel Pram itu perempuan ya
ReplyDeleteseperti Larasari, Midah, Kartini,
*pikir*