Translate

Wednesday, February 26, 2014

Books "LARASATI"

Books “LARASATI”
Judul Asli : LARASATI
by Pramoedya Ananta Toer
Copyright © Pramoedya Ananta Toer 2003
Penerbit Lentera Dipantara
Desain buku : M. Bakkar Wibowo & Ong Hari Wahyu ; kulit muka : Ong Hari Wahyu
Cetakan V : Februari 2010 ; 180 hlm ; ISBN 978-979-97312-9-6
Rate : 3.5 of 5
“Kalau mati dengan berani ; kalau hidup dengan berani. Kalau keberanian tidak ada – itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita.” – Pramoedya Ananta Toer
Sepanjang sejarah bangsa Indonesia, kisah-kisah tentang penjajahan serta perjuangan untuk memperoleh kebebasan demi harkat dan martabat serta kesetaraan setiap manusia, senantiasa muncul melalui keberhasilan maupun kegagalan para pemimpin hingga orang-orang yang akhirnya menjadi sosok pahlawan nasional. Pelajaran sejarah teus terang bukan hal yang kusukai semasa sekolah. Menurutku, perjalanan serta detail tanggal-tanggal peristiwa penting yang wajib dihafalkan, demi memperoleh nilai tinggi dalam laporan akhir (raport), sangat-sangat membosankan dan tidak memiliki kegunaan yang layak sebagai bekal menjalani kehidupan di masa kini.


Uniknya, hal ini berubah ketika diriku memulai masa kuliah, dimana salah satu mata kuliah wajib adalah mempelajari sejarah melalui bangunan serta perkembangan kota. Kini kusadari, bukanlah ‘mata pelajaran sejarah’ yang membosankan, melainkan cara penuturan serta metode sang pendidik yang tidak menarik, sehingga makna penting yang seharusnya muncul dalam pembahasan sejarah masa lalu, apalagi perjuangan terwujudnya suatu bangsa yang bebas dan merdeka, haruslah diresapi dan dipahami, alih-alih sekedar menghafalkan aneka tanggal serta lokasi tempat-tempat bersejarah. Dan melalui studi literatur saat mengenal karya sastra pujangga hingga penulis era perjuangan, sekelumit percikan kehidupan masa lalu, menjadi wujud nyata di benakku, buka sekedar hafalan belaka.

Pramoedya Ananta Toer, dikenal sebagai pujangga dan pelopor kebebasan melalui setiap goresan penanya. Harus kuakui, diriku baru mengenal ‘beliau’ dalam kurun waktu 2 tahun terakhir ini, dan kesan pertama saat membaca karya beliau ‘GADIS PANTAI’ , kini menjadikan diriku salah satu penggemar yang berusaha mencari-membaca-menikmati karya-karya lainnya yang cukup sulit ditemukan dimasa kini. Kisah kali ini merupakan perpaduan antara drama roman dengan fakta-fakta sejarah pada masa peralihan kekuasaan Jepang ke Belanda di Indonesia. Alih-alih mengambil sosok pahlawan terkemuka, Pram menyoroti dari sudut pandang yang berbeda. Tokoh utama kisah ini adalah wanita muda nan elok, bintang film ternama yang terjebak dalam dunia peperangan, antara kaum pemberontak dengan kaum penjajah, antara pria dan wanita, antara kaum tua hingga kaum remaja.

Larasati namanya, namun ia lebih dikenal dengan panggilan ‘Ara’ – bintang film Indonesia, pemain drama berbakat yang bukan saja memiliki keelokan paras serta tubuh, tetapi juga kecerdasan serta keberanian dalam menempuh kehidupan yang berat. Dibesarkan sebagai putri mandor perkebunan tebu di Deli, hingga kematian ayahnya mendorong sang ibu hijrah ke pulau Jawa membawa putri kecilnya, hingga ia bekerja sebagai pelayan keluarga Inggris. Kehidupan masa kecil, memberikan bekal sera pengetahuan pada si Ara, sehingga ia mampu bergaul dan menjalani kehidupan di kalangan para petinggi dan pejabat setelah beranjak dewasa. Keputusan untuk mengikuti rombongan seniman, yang tak pelak membuatnya menjadi sosok primadona, diperebutkan oleh kaum pria ‘berdompet tebal’ yang bersedia memberikan ‘hadiah termahal’ bagi dirinya, demi menikmati kemolekan Larasati.

Bahkan dengan berkuasanya Jepang pada masa itu, Larasati mampu menempatkan diri sebagai primadona sekaligus simpanan para pejabat Jepang. Hingga Sekutu datang untuk ‘membebaskan’ Indonesia dari cengkeraman penjajaha Jepang. Pada masa peperangan tersebut, Larasati harus mengambil cuti panjang, karena tidak ada produksi film, meski demikian ia menjalani kehidupan yang cukup nyaman sebagai orang ternama. Kemudian Jepang menyerah pada Sekutu, dan Belanda muncul, membentuk NICA sebagai perwakilan sementara untuk membenahi pemerintahan Indonesia yang porak-poranda. Rakyat Indonesia sempat terpedaya, hingga akhirnya menyadari keberadaan NICA merupakan pengganti yang tak kalah buruknya dengan penjajah Jepang. Perjuangan melawan tekanan dan deraan, memakan jutaan korban jiwa, dan sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata yang tak pernah diingat atau dikenang sebagai pahlawan nasional. Inilah sekelumit kisah mereka melalui tuturan Larasati.
“Rupa-rupanya di bumi jajahan ini setiap orang hidup atas dasar hancur-menghancurkan. Dan siapa tidak dihancurkan di bumi penjajajahan ini ? Siapa yang tidak dihancurkan ? Siapa ? Mereka yang tidak dihancurkan, mereka yang tidak menghancurkan, adalah yang jadi landasan hidup binatang ini.” ~ [ p. 42-43 ]
Dari kota Yogyakarta yang terkenal sebagai tempat bernaung kaum seniman, kebebasan berkreasi dan mengungkapkan pikiran, mulai membelenggu kala Belanda menerapkan undang-undang khusus, dimana kaum seniman harus tetap berkarya hanya saja mereka diperkenankan untuk menampilkan satu hal : kisah-kisah yang merupakan propaganda menunjukkan Belanda sebagai sekutu dan sahabat Indonesia, terutama bagi pandangan dunia luar. Larasati adalah salah satu dari sekian pemain yang menolak melakukan hal tersebut. Sebagai artis yang menginjak usia 27 tahun, ia sadar masa depannya harus dijalani dengan seksama, terutama saat memutuskan langkah mana yang hendak ia ambil. Ketika ia memilih untuk kembali ke Jakarta, menemui ibunya yang hidup seorang diri, Larasati dihadapkan pada kenyataan yang mengerikan sekaligus menakutkan dalam sepanjang perjalanan antara Yogya dan Jakarta.

Jakarta – ibukota yang gemerlap dan penuh keramaian, berubah menjadi medan perang, dengan bangunan runtuh serta hancur, mayat bertumpuk, benteng-benteng serta kaveleri hingga meriam yang disimpan oleh kaum ‘inlander’ – bangsa Indonesia yang bekerja dan memihak pada NICA. Permainan politik demi keuntungan pribadi, perebutan kekuasaan hingga harta milik orang lain, memecah-belah bangsa Indonesia, kala pemerintah Belanda memberikan ‘perlindungan-khusus’ bagi mereka yang bersedia menjadi mata-mata di antara bangsa Indonesia sendiri. Para pejabat berwenang yang masih bertahan, tak pelak merupakan ‘perpanjangan tangan’ penjajah Belanda, yang mengeruk-menguras-menghabisi bangsa mereka sendiri. Kaum pria dan pemuda yang kuat secara fisik dan mental, menjadi tahanan seumur hidup atau hingga mereka tewas akibat siksaan tiada henti. Hingga yang tersisa hanya kaum tua, anak-anak remaja yang memilih mengangkat senjata turut berperang dan tewas secara mengenaskan.
“Seluruh kedudukan yang enak diambil orang-orang tua. Mereka hanya pandai korupsi ... angkatan tua itu sungguh bobrok. Hanya angkatan tua yang korup dan mengajak korup ! Angkatan muda membuat revolusi melahirkan sejarah.” – Pramoedya Ananta Toer
Melalui kisah yang terbilang cukup pendek ini, Pram mengajak pembaca untuk ‘menjelajahi’ berbagai kemungkinan akan aneka keputusan yang diambil menyangkut kehidupan di masa depan. Dengan menggunakan sosok Larasati – wanita yang dianggap lemah, obyek eksploitasi kaum pria, sebuah pesan penting terpampang sepanjang pergulatan kehidupan Larasati. Bukan banyaknya simpanan harta benda atau uang yang dimiliki, meski kekuasaan dapat diperoleh dari hal-hal tersebut. Bukan pula kepemilikan senjata yang mutakhir, ataupun ribuan pasukan alteri dengan meriam-meriam yang siap merobek bangunan hingga tubuh manusia. Namun ‘keberanian’ untuk mengambil sikap berdasarkan prinsip serta keyakinan, yang akhirnya membawa kemenangan atas pengorbanan jutaan nyawa manusia dari usia kanak-kanak hingga kaum tua. Larasati – dengan bangga menyandang status sebagai pelacur, namun menolak menjadi boneka propaganda Belanda, atau menyerah ketika disekap sebagai budak seks orang Arab – antek-antek Belanda. Revolusi sebuah bangsa, dimulai dengan munculnya sosok yang bersedia menentang ketidak-adilan dalam wujud apapun, meski nyawa pribadi taruhannya.
“Biar aku kotor, perjuangan tidak aku kotori. Revolusi pun tidak ! Negara pun tidak ! Rakyat apa lagi ! Yang aku kotori hanya diriku sendiri. Bukan orang lain.” ~ [ p. 44 ]
Sebelum menutup sekelumit ulasan ini, ada sedikit perbedaan yang kudapati, kala membaca ‘Gadis Pantai’ penulis menggunakan gaya bahasa yang sangat indah nan elok, menunjukkan latar belakang serta nuansa kehidupan kaum ‘priyayi’ ...sedangkan dalam kisah ‘Larasati’ gaya bahasa mengikuti situasi, menyoroti perbedaan antara kaum penjajah (beserta antek-anteknya) dengan masyarakat jelata. Makian dan umpatan turut memberikan warna tersendiri, kemunculan karakter-karakter pendukung dengan berbagai latar belakang yang cukup beragam (bahkan ada sosok penulis puisi ternama bernama Chaidir – bisa diduga, siapa gerangan tokoh yang dimaksud), maka Larasati cukup layak menempati posisi tersendiri bagi penikmat buku maupun penggemar karya Pram. Pujian serta salut akan bukti ‘Keberanian’ patut diberikan pada penulis, terutama dalam menggambarkan secara detil dan gamblang, komedi permainan politik para pejabat Indonesia maupun bangsa asing, yang mengatas-namakan kepentingan umum demi melontarkan maklumat perang, meski justru rakyat jelata yang menjadi korban pertama, deraan dan siksaan hingga kematian merenggut dan membebaskan mereka dari penderitaan panjang.

[ more about this author and related works, just check at here : Pramoedya Ananta Toer | on Goodreads ]

~ This Post are include in ~
 & 
2014 Reading Challenge
7th Book in What’s A Name Challenge
16th Book in TBRR Pile

Best Regards,

Hobby Buku

11 comments :

  1. Jadi pengen baca. Aku cuma pernah baca karya Pramoedya yang Gadis Pantai dan Midah.. Yang ini kayaknya lebih menarik. Tapi udah jarang ya bukunya.

    ReplyDelete
  2. Hoh, sejujurnya, aku baru pertama kali denger judul buku ini makanya jadi penasaran dan semakin penasaran setelah selesai baca reviewnya.
    Mempertimbangkan masuk ke wishlist ah xD

    ReplyDelete
  3. Aku tadi kayaknya udah subumit,kok gak ada *mewek*
    Eh malah curhat, haha..
    Iya, aku baru denger judul ini :D

    ReplyDelete
  4. aku sampai sekarang belum baca pram lagi mbak XD pernah punya buku ini malah aku hibahkan hahaha... mungkin kapan2 bakal pinjem aja :p

    ReplyDelete
  5. Toss mbak, untuk postbar hisfic aku juga baca buku ini, cuma beda penerbit. Aku penasaran sama Gadis Pantai, apalagi mbak Maria bilang bahasanya lebih indah.

    ReplyDelete
  6. Toss, mbak. Untuk postbar hisfic aku juga baca buku ini. Penasaran sama Gadis Pantai, apalagi mbak Maria bilang bahasanya indah.

    Cover Larasati yang ini bagus banget.

    ReplyDelete
  7. Larasati..berkelana.. *nyanyi
    aku baru tahu ada buku ini, beneran, mbak. *nodong dion buat nyariin

    ReplyDelete
  8. Reviewnya bagus, Mbak, jadi penasaran sama bukunya :)
    Sejujurnya akupun baru tahun terakhir SMA kemarin bener-bener suka sama pelajaran Sejarah, mungkin karena waktu itu baru 'terbuka' pikirannya bahwa kadang sejarah yg kita pelajari di sekolah nggak semuanya bener, sebagian justru diceritakan yg 'bagus-bagus'nya aja, padahal ada sisi lain yg mungkin beda versi. Jadi tertarik deh sm pelajarannya :)

    ReplyDelete
  9. banyak yang baca bukunya Pram dalam posbar kali ini dan aku belum pernah sekali pun baca --"

    ReplyDelete
  10. Aku juga punya Larasasti, tapi baru Midah Bergigi Emas yang kureview, Larasati bakal masuk postinganku posbar tema perempuan. Terobsesi mau koleksi semua karyanya Pram ;)

    @lucktygs
    http://luckty.wordpress.com/2014/02/27/review-the-jacatra-secret/

    ReplyDelete
  11. aku jadi mikir, kenapa banyak tokoh dalam novel Pram itu perempuan ya
    seperti Larasari, Midah, Kartini,
    *pikir*

    ReplyDelete

Silahkan tinggalkan pesan dan komentar (no spam please), harap sabar jika tidak langsung muncul karena kolom ini menggunakan moderasi admin.
Thanks for visiting, your comment really appreciated \(^0^)/

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...