Judul Asli : LINGKAR TANAH LINGKAR AIR
by Ahmad Tohari
Copyright ©
Penerbit Gramedia Pustaka Utama
Editor : Eka
Pudjawati
Desain sampul :
Marcel A.W.
Cetakan I :
September 2015 ; 168 hlm ; ISBN 978-602-03-1860-8
Harga Normal :
Rp. 45.000,-
Rate
: 3.5 of 5
Ahmad
Tohari kukenal melalui karyanya ‘Trilogi
Ronggeng Dukuh Paruk’ yang kental dengan penggambaran kehidupan
masyarakat kecil pada era masuknya Partai Komunis di Indonesia. Kesenjangan
status yang melingkupi mayoritas penduduk, membuat oknum-oknum politik mampu
mempermainkan dan menghasut penduduk demi kepentingan pribadi semata. Dan buku
‘Lingkar Tanah Lingkar Air’ memiliki persamaan dalam menyoroti gejolak dan
nasib rakyat kecil sebagai pion-pion yang mudah dikorbankan mengatas namakan
kepentingan negara.
Diawali
pada bulan Maret 1946, berita penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang kepada
pemerintah Belanda memicu berbagi reaksi, di kota besar hingga pelosok desa.
Rakyat gelisah, takut dan masih mengingat penderitaan semasa penjajahan Jepang,
apa yang berbeda dengan masuknya bangsa Belanda ke negeri tercinta ? Pemerintah
Indonesia yang masih dalam masa pemulihan, membentuk tentara Republik yang dipersiapkan
menghadapi Belanda.
“Berperang melawan tentara Belanda untuk mempertahankan negeri sendiri yang baru merdeka, wajib hukumnya bagi semua orang Islam. Dan siapa yang mati dalam peperangan melawan tentara Belanda yang kafir, dialah syahid.”
Dari
sekian banyak kelompok, muncul ide pembentukan pasukan Hizbullah yang rela
berkorban nyawa demi negara dan keyakinan sebagai pemeluk agama Islam. Remaja
usia belasan hingga kaum muda, berbondong-bondong ikut serta dalam tugas suci
ini. Demikian pula dengan Amid, Kiram, Jalal dan Kang Suyud – penduduk desa
kecil yang didorong oleh Kiai Umar, ustad haji yang disegani di desa, untuk
membentuk Barisan Pemuda yang diharapkan bergabung dengan tentara Republik.
Dari
niat tulus ‘bela negara’ dan mengusir penjajah, ternyata tidak cukup membuat
persatuan nan kokoh dalam kelompok-kelompok pejuang ini. Ketika ketidak-puasan
mulai menimbulkan perselisihan dan dibakar paham-paham idealisme serta
fanatisme, perpecahan pun terjadi. Situasi penuh ketegangan ini akhirnya pecah,
ketika Belanda mengakui kedaulatan Republik Pemerintah Indonesia pada Desember
1949.
Demi
menjaga kestabilan negara serta keamanan nasional, dikeluarkan perintah yang
menganjurkan ‘pembubaran’ pasukan Hizbullah agar mereka kembali ke kehidupan
normal dalam masyarakat, atau melebur jadi satu bagian dalam wadah tentara
Republik Indonesia. Melalui kisah ini, penulis menuturkan bagaimana
‘kesalah-pahaman’ dalam komunikasi berujung pada pertikaian sengit yang
berakhir pada pembantaian anggota ‘mantan’ Hizbullah di tangan tentara Republik
Indonesia.
“Kewajiban berjihad untuk memerangi kekuatan yang membuat rusak di negeri ini sesungguhnya bisa juga dilakukan melaui ketentaraan resmi. Tidak semata-mata harus melalui Hizbullah.”
Mereka
yang selamat dari pembantaian, melarikan diri karena dianggap sebagai musuh
negara. Satu-satunya jalan adalah bergabung dengan AOI (Angkatan Oemat Islam)
yang didirikan para mantan Hizbullah yang Anti Republik dan bercita-cita
membentuk negara baru berlandaskan Islam. Namun pilihan ini juga membuat mereka
dikenal sebagai ‘pengkhianat’ negara RI, dan hukuman mati adalah vonis yang
dijatuhkan pada mereka yang terlibat di dalamnya.
Buku
ini lumayan tipis, hanya 168 halaman, tapi ulasan dan fakta-fakta sejarah yang
terangkum di dalamnya sarat akan pesan-pesan moral yang membuatku
bertanya-tanya, sebenarnya apa yang disebut sebagai kebenaran dan kejahatan,
ketika garis batas antara keadilan dan penegakan hukum justru memakan
korban-korban yang tak bersalah. Pembaca diajak berpikir sekaligus merenungkan,
makna kehidupan di mata pemuda bernama Amid, pemuda yang santun, soleh dan taat
pada aturan serta adat yang menjadi pedoman kehidupan sehari-hari.
Amid
mengikuti saran dan nasehat orang yang ia hormati, namun ketika situasi berubah
menjadi sangat buruk, ia dihadapkan pada jalan keluar yang sama-sama sulit.
Membaca kisah ini membuatku terenyuh membayangkan perjalanan panjang sosok
Amid, yang bisa jadi pencerminan nasib sekian banyak manusia yang menjadi
korban ‘perang’ serta propaganda. Seperti kelahiran Darul Islam yang menjadi
‘momok’ sekaligus catatan hitam sejarah bangsa Indonesia, ternyata hasil
campur-tangan pihak komunis, yang menyusup dalam berbagai organisasi penting.
“... dulu orang Cina, Portugis, dan orang Inggris menyebut semua penduduk Indonesia dari Aceh sampai Sunda Kecil sebagai orang Selam – sebelum istilah ‘pribumi’ diperkenalkan oleh Ki Hajar Dewantara. Selam dan Tanah Air adalah dua sisi dari satu mata uang, seperti Pandawa dan Amarta. Orang-orang tua kita di sini, yang sembahyang atau tidak, yang santri atau yang abangan, bahkan juga orang dul-dulan, sama-sama merasa sebagai orang Selam. Mereka bersaksi bahwa Gusti Allah adalah Tuhan Yang Esa. Kanjeng Nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Mereka sejak lama hidup rukun dan bergotong royong dalam kebersamaan yang tak dapat diragukan. Nabi sendiri pernah mengikat perjanjian untuk bekerja sama dengan kaum Yahudi dan Nasrani dalam menyelenggarakan pertahanan kota Madinah.”
Wejangan
Kiai Umar – sosok mentor yang berusaha ‘menolong’ anak-anak asuhannya yang
tersesat, menunjukkan bahwa pola pemikiran yang maju tidak mudah dihasut oleh
fanatisme pihak-pihak tertentu yang memiliki tujuan jauh dari unsur agamis atau
kepercayaan lainnya. Sayangnya, mereka yang mampu berdiri di atas keyakinan dan
pengetahuan ini, merupakan kaum minoritas, hingga kekuatan suara pun nyaris
tidak terdengar oleh banyak orang.
Walau
kisah ini mengambil waktu jauh sebelum diriku lahir di dunia ini, entah mengapa
esensi dan kekuatan dalam kisah ini mudah meresap dan kupahami. Boleh jadi
karena ‘perang’ di masa lalu masih juga terjadi pada masa kini. Memakai alasan
dan ‘kedok’ yang berbeda, namun dasar yang menjadi penyebab nyaris selalu sama.
Melalui kisah pendek ini, penulis seakan hendak menegur kaum muda agar kembali
mengingat, mengapa perang bisa terjadi dan bagaimana kita menyikapi hal-hal
yang terjadi disekeliling kita, untuk membuat kehidupan yang jauh lebih baik.
Tentang
Penulis :
Ahmad Tohari,
lahir di desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas pada tanggal 13 Juni
1948. Pendidikan formalnya hanya mencapai SMTA di SMAN II Purwokerto. Namun
demikian beberapa fakultas seperti ekonomi, sospol, dan kedokteran pernah
dijelajahinya. Semuanya tak ada yang ditekuninya. Novel
pertamanya, ‘Di Kaki Bukit Cibalak’
ditulis pada tahun 1977. Menyusul kemudian ‘Kubah’
yang diterbitkan oleh PT Dunia Pustaka Jaya pada tahun 1980, dinyatakan sebagai
karya fiksi terbaik pada tahun itu oleh Yayasan Buku Utama. Gramedia
menerbitkan novelnya yang ketiga berjudul ‘Ronggeng
Dukuh Paruk’ (1981), yang segera disusul terbitnya ‘Lintang Kemukus Dini Hari’ – novelnya
ke-4, sekaligus bagiang dari rangkaian trilogi Ronggeng Dukuh Paruk.
Beliau tidak pernah melepaskan diri dari pengalaman hidup kedesaannya. Maka
warna pada hampir semua karyanya adalah lapisan bawah dengan latar alam. Beliau
memiliki kesadaran dan wawasan alam yang begitu jelas terlihat pada
tulisan-tulisannya. Boleh jadi karena rasa ketertarikanya dengan keaslian alam
maka ia tak pernah betah hidup di kota. Jabatannya dalam staf redaksi kelompok
Merdeka, Jakarta yang dipegangnya selama dua tahun ditinggalkannya. Kini, ia
kembali berada di tengah sawah di antara lumpur dan katak, di antara lumut dan
batu cadas di desanya.
[ more about
this author and related works, just check at here : Ahmad
Tohari | on Goodreads
| on
Wikipedia ]
Best
Regards,
@HobbyBuku
Ahmad Tohari, kalau kasih motivasi untuk penulis pemula benar-benar bikin menggebu-gebu. Gak perlu budaya lain diceritakan dan jauh2 riset ke sana. Kita bisa mencari sumber budaya lokal untuk dijadikan sebuah cerita novel :)
ReplyDelete