Books “PUING-PUING KEHIDUPAN”
Judul Asli : THE REMAINS OF THE DAY
Copyright © Kazuo Ishiguro 1989
Penerbit Hikmah
Alih Bahasa : Femmy Syahrani
Penyelaras Aksara : Ifah Nurjany
Pewajah Sampul : Windu Tampan
Cetakan III : Agustus 2007 ; 338 hlm
Rate : 3,5 of 5
[ Conclusion at the bottom in English ]
Sebuah pepatah lama mengatakan “Gajah mati meninggalkan Gading, Macan mati meninggalkan Belang, Manusia mati meninggalkan Nama” __entah mengapa hal ini yang terngiang di benakku setelah selesai membaca kisah ini, tentang perjalanan hidup sosok manusia yang mencari ‘sesuatu’ yang dianggap sebagai tujuan hidupnya, namun pada titik tertentu ia justru kehilangan arah. Seperti biasa, Kazuo Ishiguro mampu menuangkan buah pikirannya dalam untaian kalimat yang menarik sekaligus ‘indah’ secara keseluruhan dengan narasi yang unik dan sangat sederhana namun memiliki makna cukup dalam.
Kisah ini tentang sosok yang dikenal sebagai Mr. Stevens – Kepala Pelayan di Darlington Hall, salah satu kediaman khas bangsawan Inggris milik keluarga Darlington selama ratusan tahun. Beliau telah mengabdi selama hampir 35 tahun dan melayani langsung Lord Darlington hingga Perang melawan Nazi berimbas pada penurunan status serta perekonomian Lord Darlington. Dan pada akhirnya di tahun 1956 Darlington Hall dijual kepada Mr. Farraday – pengusaha kaya raya dari Amerika yang memiliki ketertarikan akan segala sesuatu yang ‘berbau’ Inggris Kuno. Maka Darlington Hall memiliki pemilik baru dan Mr. Stevens merupakan salah satu bagian dari ‘paket-penjualan’ Darlington Hall, harus mempersiapkan diri melayani majikan yang sama sekali berbeda.
Mr. Stevens merupakan salah satu contoh Kepala Pelayan yang telah menjalani masa kuno, karena ayah kandungnya juga merupakan Kepala Pelayan yang telah melayani keluarga bangsawan Inggris dari kalangan terhormat, dan telah mendidik putranya semenjak usia dini untuk merintis usaha yang sama : mengabdi pada keluarga bangsawan terhormat. Dan ketika tiba waktunya ia memlih tempat untuk menetap dan mengabdikan tujuan hidupnya bagi seseorang yang terhormat, Mr. Stevens memilih untuk mengabdi pada Lord Darlington. Tiada yang dapat menduga apa yang akan terjadi di masa depan, dan meskipun Mr. Stevens memberikan dirinya sepenuh hati demi keluarga tersebut, tiba saatnya ia mengalami ‘moment’ melihat kilas-balik perjalanan hidupnya.
Dimulai ketika Mr. Farraday bermaksud kembali ke Amerika Serikat selama 5-6 minggu pada bulan Agustus dan September 1956, maka ia memberikan cuti penuh kepada pada staf Darlington Hall, termasuk kepada Mr. Stevens, bahkan menawarkan agar dirinya berlibur keliling Inggris sambil membawa kendaraan Mr. Farraday. Bagi Mr. Stevens yang tak pernah mengambil kesempatan ‘menyenangkan’ dirinya (termasuk mengambil cuti liburan), ia akhirnya bersedia menerima penawaran itu untuk bepergian atau istilahnya ‘bertamasya’ menikmati pemandangan pedesaan Inggris di wilayah West Country membawa mobil. Selain itu ia memiliki tujuan khusus, untuk sekaligus singgah mengunjungi ‘kenalan’ lama, sosok yang dikenalnya sebagai Miss Kenton – salah satu mantan pelayan Darlington Hall yang pernah cukup dekat dengannya. Perjalanan yang diperkirakan memakan waktu 5 – 6 hari itu memberikan kesempatan pada Mr. Stevens untuk merenung dan mengingat perjalanan kehidupan yang telah dialami sejauh ini.
Melalui narasi Mr. Stevens, kita akan diajak menelusuri kehidupan kaum aristokrat Inggris yang sangat terkenal, adat serta kebiasaan yang tak tertulis namun merupakan aturan baku yang wajib dilaksanakan dengan penuh kesempurnaan. Sebuah keluarga bangsawan yang terhormat dan layak mendapat pengakuan bukan saja karena reputasi Lord dan Lady yang Terhormat, melainkan juga tindak-tanduk para pelayan serta reputasi pelayanan no. 1 yang harus dijaga kelangsungannya dalam keseharian. Dan aturan pertama untuk menjaga keselarasan dan kelangsungan aturan tersebut adalah sosok Kepala Pelayan yang mengawasi keseluruhan pekerjaan dan memastikan bahwa Majikan mereka terpuaskan.
Cukup menarik menyimak pendapat serta kemelut yang dihadapi oleh sosok Mr. Stevens. Sebagai contoh saat ia mencoba menelaah apa yang dibutuhkan sebagai sosok Kepala Pelayan yang baik. Jika menurut aturan Hayes Society yang hanya menerima anggota kehormatan tidak pernah lebih dari 30 orang, maka Kepala Pelayan No. 1 adalah yang melayani Keluarga Bangsawan Keturunan Terhormat. Demikian pula pendapat sang ayah, namun Mr. Stevens memiliki pendapat tersendiri, bahwa bukan hanya status sosial Keluarga yang mereka layani tetapi Kepala Pelayan No. 1 harus memiliki ‘martabat’ dalam memperlakukan orang lain termasuk diri sendiri.
Prinsip ‘martabat’ ini juga mengalami perdebatan diantara kalangan para Kepala Pelayan. Apalagi ketika jaman semakin berubah, kaum bangsawan lama terpuruk dalam kondisi perekonomian yang semakin memburuk ditambah dengan kemunculan kalangan OKB (Orang Kaya Baru) yang mayoritas merupakan pengusaha. Standarisasi dan tolak ukur pelayanan kelas satu juga merupakan topik yang menarik sekaligus unik untuk disimak. Jika ada semacam anekdot bahwa kaum bangsawan Inggris sangat kaku dan dingin dibandingkan ‘kerabat’ mereka, bangsawan Prancis, maka hal ini tercermin pula pada perilaku Kepala Pelayan serta para staf-nya. Bisa dibayangkan bagaimana perilaku Mr. Stevens – Kepala Pelayan Inggris yang terhormat berhadapan dengan Mr. Farraday yang notabene orang Amerika, bahkan cara bergurau mereka sangat berbeda alias satu sama lain ‘tidak-nyambung’ (gurauan ala Inggris dengan gurauan ala Amerika jelas sangat berbeda).
Secara garis besar, proses perjalanan tamasya selama hampir 1 minggu itu memberikan kesempatan bagi Mr. Stevens untuk ‘merenungkan’ makna pekerjaan bagi dirinya, yang tanpa disadari selama bertahun-tahun telah menjadi satu-satunya pedoman serta tujuan hidupnya, yang memberikan status serta harkat secara sosial namun kurang mendalam jika berkaitan dengan masalah pribadi. Hal ini tercermin dalam kenangan hubungannya dengan Miss Kenton, satu-satunya pelayan yang berani menentang dan melawan wewenang serta perintah dirinya sebagai tangan kanan Lord Darlington. Mr. Stevens telah mengorbankan kepentingan keluarganya sendiri seperti ketika ayahnya jatuh sakit hingga meninggal dunia terkena serangan stroke, hingga mengabaikan ‘curahan-hati’ Miss Kenton sebelum ia keluar dari jajaran staf Darlington untuk menikah dengan pria yang tak dicintainya.
Hal ini sedikit mengingatkan diriku akan sebuah penelitian bahwa mayoritas kaum pekerja (dalam hal ini para pria) yang selalu disibukkan sepanjang hidupnya untuk mengejar ‘prestise’ dan status dalam bidang pekerjaan serta sosial, dan suatu saat ketika mereka ‘kehilangan’ hal tersebut, lenyap pula Impian serta tujuan hidup, bahkan banyak yang kehilangan harkat serta martabat diri sendiri. Sebagaimana sosok Mr. Stevens yang ‘mempercayakan’ hidupnya kepada Lord Darlington, kemudian mendapati bahwa beliau pun manusia biasa yang bisa jatuh dalam kondisi terpuruk dan diabaikan dalam status sosialnya, bagaimana pula ia sebagai bawahan beliau mampu ‘mempertahankan’ harkat serta jati dirinya ?
“Jangan melihat masa lalu terus, Anda pasti depresi. Dan memang, Anda tidak bisa mengerjakan tugas Anda sebaik dulu. Tetapi semua orang juga begitu, kan? Kita semua harus bertumpang kaki pada suatu saat. Memang, kita berdua sudah tidak muda lagi, tetapi Anda harus terus melihat ke depan. Anda harus menikmati hidup. Malam adalah bagian hari yang terbaik. Anda sudah merampungkan pekerjaan siang hari. Sekarang Anda bisa bertumpang kaki dan menikmatinya. Begitulah saya memandang hidup.” [ p. 333 ]
Kisah ini bukanlah sebuah drama ‘cengeng’ yang membuat kita termangu-mangu menyesali masa lalu yang telah terjadi. Sejarah telah terukir, kesalahan telah terjadi, penyesalan tidak akan membawa kemajuan kecuali disertai tekad untuk tetap melangkah maju menyongsong kehidupan baru, apapun yang akan terjadi. Penyesalan serta rasa malu yang dialami oleh Mr. Stevens membawanya pada sebuah pemikiran bahwa sepanjang hidupnya ia tak pernah ‘berhasil’ sesuatu tolak-ukur kesempurnaan yang selama ini menjadi pedoman utama kehidupannya. Ia merasa ‘palsu’ saat orang-orang melihat penampilannya bak pria terhormat, namun di dalam hati kecilnya ia merasa tak layak menerima penghargaan tersebut. Dan sebuah perjumpaan dengan sosok tak dikenal, mengingatkan dirinya bahwa kehidupan itu sangat sederhana dan sangat berharga untuk dihabiskan menyesali masalah ‘sepele’ (seperti masa lalu) ... Hidup itu harus dinikmati sebagai Sesuatu yang Terbaik setiap saat.
“Apakah yang bisa kita peroleh dengan selalu melihat ke belakang dan menyalahkan diri sendiri, jika kehidupan kita tidak berjalan persis seperti yang kita inginkan ? Apa gunanya terlalu mencemaskan apa yang mungkin bisa atau tidak bisa kita lakukan untuk mengendalikan alur kehidupan kita ? Tentunya sudah cukup bagi orang-orang seperti saya dan Anda, untuk setidaknya mencoba memberi sumbangan kecil bagi sesuatu yang benar dan berharga. Dan jika sebagian orang siap mengorbankan banyak hal dalam hidup demi mengejar aspirasi itu, tentunya itu sendiri, apa pun hasilnya, merupakan alaan untuk merasa bangga dan puas.” [ p. 334 - 335 ]
Conclusion :
This a story about a man trying to find the purpose of his life. Mr. Steven are the perfect example of a boy who taught and educated by his father to follow the foot-step of him, dedicated his life on the job as the main-purpose to serve his master. Eventually, Mr. Steven follow and achieve the hightlight on his life when he become ‘Butler’ in Darlington Hall by the honorable owner Lord Darlington him-self. Day-by-day, week after week, months become years, he continue his works without any mistake, he really proud of the whole achievement. Then something happen that changing the good-steady-calm living-style he already adapted and used to-be for many years. War and politics follow by the bangcrupcy and the issue surrounding the society that ruin the good name and the honorable position of Lord Darlington.
But Mr. Steven still maintain his manners and good works, even thou the world are changing into something he never knew. His new master are a wealthy man, but he is not like Lord Darlington at all. He even not a real Englishman Royalty, just a kind and gentle rich man from America. Suddenly he just remembering all those days that already gone-by, when finally after years he accepted the offer from his master to take a holidays, enjoy it the time for him-self. When he decided to going-on picnic for a week by travelling with his master’s car (it is a generous suggestion from his master), he had new mission, to meet an old acquintance he known many years ago, while he and she still at young age, serving at Darlington Hall.
The whole stories are merely going on the journey inside Mr. Stevens mind, while on the way to meet someone that he thinks are go-to-be his future, his past also come-back, flashing all the memories, the good ones, the bad ones and even the worse ones. The author really good capturing the life-style of an English people, specially on what we know as the honorable and respected society, many of them are royalties, an heirs from their ancestors, but many of them are vanished within the following more modern society, more rich and wealthy even not born from the heir of royalty. At the end, readers are ask to consider a moment of its life, did you already achieving anything in your life and are you proud enough on those, or you regret it many of your choices ? Despite of all the worse and negative side-of-the-story, I think we also ask not to be burden by our past, accepted and move-on, but never-ever stuck on only one way, there is so many choices, just take the risk, do harder and again, never regret the mistake but learrn from it (quickly) ...
Tentang Penulis :
Kazuo Ishiguro lahir di Nagasaki, Jepang pada tahun 1954 dan pindah ke Inggris pada usia lima tahun. Berbagai penghargaan diterima atas karya-karyanya yang dikenal dunia internasional, seperti : A Pale View of Hills (1982, Winifred Holtby Prize). An Artist of the Floating World (1986, Whitbread Book of the Year Award, Premio Scanno, Shorlisted Booker Prize), The Remains of the Day (1989, Booker Prize Award), The Unconsoled (1995, Cheltenham Prize), When We Were Orphans (2000, Shorlited Booker Prize), dan Never Let Me Go (2005).
Selain itu beliau juga menerima lencana Order of the British Empire untuk pengabdian pada sastra di tahun 1995, dan tanda jasa Chevalier de L’Ordre des Arts et des Lettres di tahun 1998. Karya Kazuo Ishiguro telah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa, dan The Remains of the Day telah terjual lebih dari 1 juta copy untuk edisi bahasa Inggris, bahkan diangkat ke layar lebar dibintangi oleh aktor ternama Sir Anthony Hopkins sebagai Mr. Stevens dan Emma Thompson sebagai Miss Kenton. Kini beliau menetap di London, Inggris bersama istri dan putrinya.
Best Regards,