Books “RUMAH NO.
33”
Judul Asli : THE ANGEL AT NO. 33
Copyright © Polly Williams, 2011
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Alih Bahasa : Barokah Ruziati
Editor : Primadona Angela
Cover by Fiona Franny
Cetakan I : Mei 2013 ; 472 hlm
Rate : 3 of 5
“Seberapa besar kau mencintaiku, dalam skala sepuluh?” tanya Ollie. “Sembilan setengah.” “Waktu kita baru bertemu nilainya sebelas.” “Itu sebelum kita berbagi kamar mandi.” “Jam berapa kau pulang, Cantik?” “Tidak sampai larut.” “Aku cinta kalian,” seru Sophie kepada Ollie dan Freddie.
Sophie Brady keluar dari rumah no. 33 pada tanggal 6 Januari untuk
menghabiskan waktu bersama sahabatnya Jenny Vale, sebagaimana kebiasaan mereka
selama 15 tahun terakhir. Perbedaannya, kali ini Sophie tidak akan kembali
kepada keluarganya. Ia tewas ditabrak bus ketika berusaha memanggil taxi
menjelang tengah malam setelah mabuk berat bersama Jenny. Sophie Brady yang
lincah dan periang, ibu dan teman bermain Freddie – putranya yang paling
disayanginya, istri dan kekasih hati Ollie, sahabat serta satu-satunya orang
yang memahami Jenny, tewas di usia 35 tahun.
Kisah bergulir dengan menghadirkan kondisi keluarga serta kerabat yang
ditinggalkan. Uniknya, sosok Sophie juga muncul dalm kisah ini, walau ia
berwujud hantu yang mengikuti perkembangan kehidupan keluarga serta kenalannya.
Tapi jangan berharap sebuah kisah ala ‘The Ghost’ karena hantu Sophie tidak
dapat berkomunikasi dengan manusia, kecuali si kecil Freddie yang terkadang
masih merasakan bahwa ibunya masih berada di dalam rumah, mendampingi dirinya
(yang memang benar adanya).
Kisah ini juga beralih fokus pada kehidupan pribadi Jenny. Mulai dari
perasaan bersalah karena ‘jika ia tidak menahan Sophie menemaninya sepanjang
malam, ia tidak akan mabuk berat sehingga ditabrak bus’ hingga rasa hampa dalam
dirinya bagaikan sebagian jiwanya ikut lenyap bersama Sophie. Pasangan
Sophie-Jenny merupakan duo wanita yang memiliki sifat serta karakter yang
berbeda. Sophie suka menarik perhatian, lincah, modis, mudah bergaul dan sangat
terbuka terhadap siapa saja. Sedangkan Jenny lebih tertutup, kurang berani
dalam mengambil resiko dan tidak memiliki rasa percaya diri, tidak memiliki
selera seni apalagi mode.
Sophie adalah istri dan kekasih Ollie semenjak mereka bertemu saat Sophie
berusia 22 tahun, pasangan ini merupakan contoh ideal yang menimbulkan rasa iri
pasangan lainnya, sedangkan Jenny tidak mampu menimbulkan minat lebih pada
pasangannya Sam setelah menreka tinggal bersama selama bertahun-tahun, apalagi
berbicara soal pernikahan. Sophie juga ibu rumah tangga super, ia mampu menjadi
keseimbangan jadwal sehari-hari mulai memasak, aktif dalam perkumpulan para
ibu, menemani Freddie setiap saat, dan tetap memiliki waktu bagi Ollie, dan
Jenny serta lingkungan sosial lainnya. Jenny bahkan tidak mampu memasak apalagi
membuat kue. Kehidupannya hanya seputar pekerjaan dan rumah, yang berarti
bersama Sam, dan tentu saja bercengkerama dengan Sophie.
Selain memberikan gambaran tentang kondisi Jenny, kehidupan Ollie dan si
kecil Freddie juga menjadi topik sepanjang kisah ini. Bagaikan menonton kisah
melodrama ala ‘Desperate Housewife’ tentang duda tampan dan menarik yang
terpuruk dalam kesedihan akibat kematian pujaan hatinya, serta kelabakan dalam
mengatur kehidupan rumah tangga yang biasanya ditata dengan teratur dan manis
oleh sang istri, pembaca akan melihat perjuangan Ollie dalam mengatasi ‘kejaran
dan tawaran godaan’ dari berbagai wanita yang mengaku sebaagi teman dan sahabat
Sophie hanya untuk menarik perhatian Ollie dan berusaha mengambil posisi
sebagai pengganti Sophie. Sungguh kocak saat baik Ollie dan Freddie menjadi
‘muak’ dengan berbagai hantaran makanan yang dibuat oleh wanita-wanita
tersebut, hingga akhirnya makanan tersebut dihabiskan oleh Ping Pong – kucing
peliharaan mereka.
Dengan memberikan berbagai pilihan karakter yang unik, seharusnya kisah
ini bisa mengundang daya tarik tersendiri. Namun entah mengapa setelah
menghabiskan hampir separuh bacaan, kisahnya menjadi terasa ‘hambar’ dan
sedikit membingungkan. Bukan saja cara penuturan yang menggunakan sudut pandang
orang pertama (dengan menggunakan istilah ‘aku’) namun anehnya bisa
berpindah-pindah karakter dalam beberapa paragraf tanpa petunjuk yang lebih
jelas, sehingga diriku harus menduga-duga siapakah yang sedang ‘berbicara’
apakah Sophie atau Jenny atau Ollie ?
Dan dengan membangun konflik yang terjadi
antara Jenny dan Ollie, Sophie dan Sam, serta tambahan karakter penunjang
lainnya, seperti Suze, Liz, Lindsay dan Tash, seharusnya kisahnya ini bisa menjadi melodrama yang
penuh intrik. Sayangnya semuanya menjadi ‘mentah’ dan kisahnya pun berakhir
dengan ending yang sangat bisa diduga. It’s too easy and predictable. Or maybe
my expectation are too high ... Satu-satunya yang sangat kusukai dalam buku ini
adalah desain sampulnya, karya Fiona Franny ini sungguh berkesan dengan kombinasi
warna hijau pastel yang sangat lembut dan menawan, sungguh layak dikoleksi (I
mean untuk desain sampulnya (^_^) ... tentang isinya, well ... it’s just ok )
[ more about the author and her related works, just ceheck on here :
Polly Williams | Polly’s Books | on Her FanPage | on Goodreads ]
Best Regards,
Hobby Buku
sama Mbak, saya juga suka banget sampulnya. belum baca, tapi setelah baca review ini kayaknya ekspektasi saya juga terlalu tinggi. tetep penasaran juga sih, hehe... ternyata desain sampulnya memang manis ya, yang edisi asli maupun terjemahan...
ReplyDeleteIya, suka banget dengan covernya, warnanya apalagi :D
DeleteSebenarnya ide ceritanya sangat menarik, tapi cara penyampaian dan alurnya yang aq kurang suka, klo pernah baca novelnya Jane Green atau Helen Fielding kurang lebih seperti itu, kurang greget ...