Books “YANG PERNAH
ADA”
Judul Asli : THE AGE OF MIRACLES
Copyright © 2012 by Karen Thompson Walker
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Alih Bahasa : Cindy Kristanto
Editor : Primadonna Angela
Cover by Martin Dima
Cetakan I : Juni 2013 ; 344 hlm
Rate : 5 of 5
“Kami tidak langsung menyadarinya. Kami tidak bisa merasakannya. Mula-mula, kami tidak merasakan tambahan waktunya, yang menggembung dari setiap hari seperti tumor tumbuh di bawah kulit. Saat itu perhatiankami teralihkan oleh cuaca dan perang. Kami tidak tertarik pada masalah perputaran bumi.bom terus meledak di jalanan negara-negara jauh. Badai datang dan pergi. Musim panas berakhir. Tahun ajaran baru dimulai. Jam berdetik seperti biasa. Detik mengumpul jadi menit. Menit tumbuh menjadi jam. Dan tidak ada tanda-tanda bahwa jam tidak lagi mengumpul jadi hari, yang panjangnya sama dengan yang diketahui setiap manusia.”
Sebuah paragraf pembuka yang mencekam sekaligus menimbulkan rasa
penasaran, hendak dibawa kemana alur kisah dengan tema ‘akhir dunia’ ini,
terombang-ambing antara rasa takut, ngeri dan keingin-tahuan tentang hal yang
dasar : kehidupan dan kematian. Melalui sosok gadis cilik berusia 11 tahun
bernama Julia, yang berperan sebagai narator sekaligus pemeran utama, pembaca
akan dibawa menjalani hari demi hari perjalanan hidup manusia saat
kenyamanan dan keamanan dalam kehidupan
mereka terancam terganggu bahkan musnah. Jika dalam sejarah dunia kita
mempelajari tentang evolusi, bagaimana kehidupan lama mengalami kepunahan,
untuk memberi kesempatan munculnya kehidupan lain yang sama sekali baru,
pernahkah kita menyimak lebih dalam tentang topik yang serupa namun menimbulkan
reaksi berbeda ? Bahwa dimana ada kehidupan baru, maka disana ada pula kematian
kehidupan lama.
Tema akhir dunia atau ‘armageddon’ atau ‘doomsday’ kali ini bukan karena
serangan alien atau hujan meteor hingga melelehnya es di kutub yang menyebabkan
arus pasang. Sebagaimana kita ketahui, planet Bumi berputar pada porosnya
dengan kecepatan tertentu yang membuatnya selaras dengan perputaran planet
lainnya, termasuk bulan dan sumber energi matahari. Bagaimana jika suatu saat,
kecepatan itu mulai menurun, bagaikan baterai dalam jam dinding yang
mempengaruhi keakuratan penunjuk waktu. Dan inilah yang terjadi pada kisah ini,
tiada yang mengetahui secara pasti, namun para ilmuwan menemukan bahwa
hari-hari akan bertambah panjang 56 menit pada malam hari ... atau setidaknya
itulah perkiraan mereka. Maka tolak ukur waktu normal dalam sehari yaitu 24 jam
tidak dapat dijalani secara normal. Dimulai dengan kegelapan yang panjang
hingga siang hari, dan terang muncul pada waktu sebaliknya. Pemerintah berusaha
menjaga keteraturan dengan menetapkan peraturan 24 jam dilaksanakan dengan
kondisi apapun, demi efisiensi kerja dan menjaga stabilitas kelangsungan hidup
manusia. Maka sekolah, kantor, pabrik tetap dibuka sesuai ‘jam’ meski saat itu
gelap gulita karena malam menjelang. Mereka tidur dan istirahat tepat saat
jarum jam menunjukkan pukul 10 malam, meski dunia di luar terang benderang oleh
sinar matahari.
~ Dutch Edition ~ [ source ] |
Tema kisah semacam ini seharusnya bernuansa muram dan mencekam. Alih-alih
reaksi yang kurasakan setelah selesai membaca adalah : Speechless !! Karena
penulis memberikan pilihan bagi siapa saja untuk menentukan sikap dalam
menghadapi masalah maupun tragedi. Melalui sosok Julia – gadis yang tak pernah
diperhitungkan dan diperhatikan baik oleh kedua orang tuanya maupun kenalan
dekat. Ia membungkus kekecewaan dalam hatinya dengan berusaha hidup mandiri
tanpa tergantung atau mengganggu siapa pun juga. Dan pada perjuangan menjalani
perubahan dalam kehidupannya, Julia mendapati dirinya membutuhkan bantuan orang
lain. Demikian pula dengan Seth yang menarik diri semenjak penderitaan panjang
sang ibu akibat penyakit kanker. Jika penarikan diri Julia justru menjadikan
dirinya sasaran ‘gangguan’ anak-anak lain, maka Seth justru menarik perhatian
karena bertingkah laku seenaknya. Dua remaja ini menemukan satu sama lain,
kebutuhan untuk dipahami dan memahami, karena dunia sedang dalam kondisi kacau
balau.
~ Spanish Edition ~ [ source ] |
Sebuah kisah tentang komunikasi yang terjalin dalam kerumitan, tentang
pertemuan dan perpisahan, serta perjuangan dalam kehidupan serta kematian. Jika
dapat kuungkapkan dalam untaian kata-kata, tak cukup hanya dengan satu atau dua
halaman saja. Sejauh mana kita akan bersedia melangkah dalam suatu dunia tanpa
masa depan yang menjanjikan ? Sekuat apa kita berjuang bukan saja demi orang
yang kita cintai tetapi juga demi keberadaan jati diri kita sendiri di dalam
alam semesta yang sangat luas ini ? Di akhir kisah, mau tak mau diriku
berpikir, apa jadinya jika dunia ini dipenuhi dengan pikiran anak-anak yang
masih polos dan jujur terhadap diri masing-masing, alih-alih kedewasaan yang
juga membawa pada pilihan-pilihan buruk bagi masa depan. Terlepas dari itu
semua, tiada penyesalan yang cukup besar dari berbuat kesalahan, tanpa mau
beranjak dan bangkit kembali, belajar dari kepedihan dan sakit hati, untuk sesuatu
yang baru. Alam semesta bergerak mengikuti diri kita, selaras dan seimbang,
jika ada yang salah dalam prosesnya, hendaklah kita bercermin terlebih dahulu
sebelum melimpahkan kesalahan pada dunia, bisa jadi kitalah penyebabnya ...
Note : I really love the book design cover by Martin Dima, sangat sesuai
dengan penggambaran kisahnya. Melalui sosok seorang gadis yang menatap jenazah
seekor burung yang tewas akibat perubahan rotasi bumi, dimana keduanya berada
dalam lingkaran yang membatasi sekaligus merupakan bagian dari bumi yang pernah
‘hijau’ dan dunia yang terus berputar menuju ke arah yang tak pernah akan
diketahui ...
“Kecepatan dari perlambatan telah berkurang dalam beberapa tahun terakhir, tetapi tidak pernah berhenti. Kerusakan sudah terjadi, dan kami mulai mencurigai bahwa kami sedang sekarat. Kami bertahan, bahkan ketika sebagian besar ahli hanya memberi kami beberapa tahun untuk hidup. Kami menyampaikan cerita dan kami jatuh cinta. Bertengkar dan berbaikan. Sebagian masih berharap dunia mungkin akan memperbaiki dirinya sendiri. Bayi masih terus lahir. Hanya merupakan masalah waktu sebelum bahan bakar yang membuat kami tetap hidup akan habis ... mungkin seribu tahun yang akan datang, setelah semua manusia lenyap, semua aspal hancur dan mengelupas, di antara benda-benda yang akan hancur lama sebelum seseorang dari suatu tempat muncul – ada sepetak trotoar di jalanan California __tempat dimana dua remaja pernah menuliskan nama dan tanggal dengan kata-kata berikut : Kami pernah ada di sini.”
Tentang Penulis :
Karen Thompson Walker adalah lulusan UCLA serta program Columbia MFA.
Penerima Sirenland Felloship 2011 dan hadiah fiksi majalah Bomb. Pernah menjadi
editor di Simon & Schuster, ia menulis The Age of Miracles pada pagi hari
sebelum berangkat kerja. Lahir dan dibesarkan di San Diego, sekarang tinggal di
Brooklyn dengan suaminya. The Age of Miracles adalah buku pertamanya, dan
mendapat tanggapan serta penghargaan sebagai salah satu Buku Terbaik 2012 versi
Publishers Weekly, O : The Oprah Magazine, People Magazine, Kirkus Reviews
hingga Booklist. Untuk mengenal beliau lebih dalam, silahkan berkunjung ke
situs resminya : The Age of Miracles
Best Regards,
* Hobby Buku *
Aku udah pengen samber bukunya waktu liat di Gramedia. Penasaran banget sama novel ini.
ReplyDeleteayo cari lagi dan 'nyamber' bukunya :D
DeleteOmina, omina, omina (ala-ala Squidward xD )
ReplyDeletelangsung memasukkan buku ini ke wishlist! Meski kata kak Maria covernya pas dengan cerita, saya malah nggak terlalu suka dengan cover terbitan GPU. Gimana ya, suramnya sih dapat, tapi... entahlah, nggak sreg aja. Tapi... untung saya lebih mengutamakan "taste" ketimbang bungkusnya :p
mmm...klo dibandingkan langsung dgn edisi luar memang keliatan biasa, tapi sesuadh baca, pas banget dengan inti ceritanya, makanya aq suka :D
DeleteSerem ya. Buku2 dystopia yang deket banget dengan kenyataan kayak gini selalu bikin aku penasaran tapi takut bacanya. Takut kepikiran..
ReplyDeletehaha...bukan serem horor begitu sih, cmn memang bikin kita mikir 'what-if-this-thing-happen-in-the-future' __tapi kisah ini juga bukan melulu soal 'malapetaka' tetapi lebih ke humanrelationships menurutku, jadi pesan moralnya bagus karena ditinjau dari sudut pandang preteen-girl.
DeleteCover-cover dari berbagai negara lain juga nggak kalah menarik ya. Sudah punya buku ini sebagai kado ultah. *lirik BBI Joglosemar* Saya berencana membacanya tahun depan. :)
ReplyDelete