Books
“SALAHKAN BINTANG-BINTANG”
Judul Asli : THE FAULT IN OUR STARS
Copyright ©2012 by
John Green
Pernerbit Qanita
Alih Bahasa : Ingrid Dwijani
Nimpoeno
Editor : Prisca Primasari
Proofreader : Yunni Yuliana M.
Desain cover : BLUEgarden
Cetakan I : Desember 2012 ; 424
hlm
Rate :
4 of 5
Salah satu alasan ‘PENTING’
mengapa diriku akhirnya memutuskan untuk membaca kisah ini tidak lain karena
desakan serta rayuan plus propaganda teman-teman disertai ‘label’ Goodreads
Choice Awards 2012. Tanpa ini semua, kisah sejenis ini tidak bakalan masuk
dalam daftar bacaanku. Mengapa ? Pertama : kisah tentang penderita kanker yang
tak mungkin sembuh – sesuatu yang berbau kesedihan dan keputus-asaan merupakan
hal-hal yang kuhindari (bikin depresi soalnya). Kedua : kisah tentang anak
remaja, berarti termasuk ABG, dugaan awal ini merupakan tipikal kisah romansa
remaja yang sekali lagi ‘not-my-cup-a-tea’. Ketiga : asli desain sampul edisi
terjemahan ini sama sekali tidak menarik (apakah ini alasan penting, well, bisa
dikatakan sebagai salah satu pertimbangan). Dan akhirnya setelah melalui
pertimbangan masak-masak, maka disinilah hasil dari proses membaca buku yang
direkomendasikan oleh berbagai kalangan pecinta buku populer ...
Ok, semenjak awal kisah, sosok
Hazel Grace Lancaster menarik minatku untuk menelusuri lebih jauh perjalanan
kisah manusia yang ditulis dengan gaya yang cukup unik oleh sang penulis. Hazel
adalah gadis remaja penderita kanker tiroid yang telah berkembang hingga
menyerang paru-parunya. Ia kini berusia 16 tahun, berusaha menjalani hari demi
hari sebagaimana layaknya remaja seusianya. Sedikit perbedaan (menurut Hazel)
dengan anak-anak yang ‘normal’ – Hazel telah memperoleh ijazah SMU dan sedang
mengikuti kelas khusus setaraf universitas (yang berarti ia anak yang cerdas,
kanker tidak berpengaruh pada otaknya), dan ia disarankan untuk selalu
mengikuti Pertemuan Kelompok Pendukung (bertemu dengan sesama penderita kanker,
saling berbagi ‘kisah’ masing-masing setiap minggunya), meskipun sangat enggan
tetapi demi kedua orang tuanya (terutama sang ibu) Hazel bersedia melakukan itu
semua. Dan disinilah suatu hari, Hazel bertemu dengan Augustus Waters, pemuda
berusia 17 tahun penderita osteosarkoma.
Bak kisah ala Shakespeare
‘Romeo & Juliet’ , kedua remaja ini saling menyukai bahkan dapat dikatakan
saling memiliki satu sama lain. Sosok Hazel yang berkesan cuek, moody dan
blak-blakan, bertemu dengan Augustus yang atletis (sebelum ia kehilangan salah
satu kakinya akibat kanker), periang sekaligus cukup romantis jika berhubungan
dengan Hazel. Dari sekedar saling bertukar buku bacaan (cocok sekali dengan
pecinta buku ya), dimana Hazel mencurahkan salah satu keinginannya untuk
bertemu muka dengan penulis kesukaannya. Karena sang penulis tampaknya hanya
menghasilkan satu buku yang menjadi bestseller, kemudian lenyap tanpa jejak,
tiada yang mengetahui dimana gerangan ia berada. Hingga Augustus berhasil
melacak dan menghubungi perwakilan sang penulis, yang kini menetap di Belanda.
Yang paling kusukai adalah cara
penulis yang menampilkan sosok Hazel dan Augustus apa adanya, sebagai gambaran
remaja Amerika di dunia modern, yang harus berusaha menyeimbangkan kehidupan
mereka sehari-hari dengan kondisi kesehatan tanpa ada jaminan untuk pulih
seratus persen. Di antara kesan cuek dan tak ambil peduli, pembaca diajak
menelusuri sudut terdalam hati mereka yang disembunyikan cukup baik. Bagaimana
mereka bersikap agar tabah dan kuat bukann saja karena penyakit yang diderita
melainkan demi orang-orang yang mereka cintai, para orang tua yang ikut
‘menderita’ karena tak mampu membantu lebih jauh dalam masalah penyakit
anak-anaknya. Atau situasi yang terjadi dalam pertemuan Kelompok Pendukung saat
mendapati setiap minggu ada seseorang yang bisa jadi tidak muncul kembali
karena ‘kematian’ telah menjemput mereka, para remaja yang masih sangat muda
dan mengalami penderitaan serta sakit silih berganti.
“Apa yang kuperangi? Kankerku. Dan, apakah kankerku itu? Kankeku aalah aku. Tumor-tumor itu adalah bagian dari diriku. Mereka adalah bagian dari diriku, sama seperti otak dan jantungku adalah bagian dari diriku. Ini perang saudara, Hazel Grace, dengan pemenang yang sudah ditentukan sebelumnya.” [ p. 291 ]
Sepanjang kisah penulis
menghantarkan alunan nada yang membuat emosi naik-turun, tertawa bersama canda
serta gurauan antara Hazel serta Augustus, sedih dan tak berdaya saat mendapati
Isaac – sahabat Hazel dan Augustus harus kehilangan satu-satunya mata yang yang
masih tersisa akibat kanker mata yang langka, sekaligus takjub dan penasaran
akan perjalanan panjang yang akan ditempuh oleh Hazel bertemu sang penulis
favoritnya di Belanda. Yep, Augustus Waters pemuda yang luar biasa, bahkan
berhasil membuat serangkaian rencana yang akhirnya menerbangkan dirinya serta
Hazel dan sang ibu untuk melancong ke Belanda (fuihh...jadi bertanya-tanya
apakah para pasangan yang masih dalam kondisi sehat-wal’afiat bersedia
berkorban dan mencari dengan segala cara untuk memenuhi Impian pasangannya ?).
“Jika kau pergi ke Rijksmuseum, sesuatu yang ingin sekali kulakukan__dan kuharap suatu hari nanti kau akan ke sana, kau akan melihat banyak lukisan orang mati. Kau akan melihat Yesus disalib, dan kau akan melihat seorang lelaki ditusuk lehernya, dan kau akan melihat orang-orna yang mati di lautan dan dalam pertempuran, dan sederet martir. Tapi Tidak. Ada. Satu pun. Anak. Pederita. Kanker. Tidak ada seorang pun yang mati akibat wabah atau cacar air atau demam kuning atau apa pun, karena tidak ada kejayaan dalam penyakit. Tidak ada makna di dalamnya. Tidak ada kehormatan di dalam kematian yang diakibatkannya” [ p. 291-292 ]
Jika pada awalnya diriku harus
‘didorong’ untuk memulai membaca kisah ini, kini justru semakin mendekati
halaman terakhir, perasaan berat menggantungi diriku, karena hal ini berarti
kisah perjalanan Hazel serta Augustus harus berakhir, berhenti. Kurasa tiada
satu pun manusia yang menyukai perpisahan apalagi kematian karena itu berarti
SELESAI-FINISHED-DONE, sama sekali tidak ada kelanjutan kisah yang membuat kita
penasaran. Namun melalui kedua sosok manusia Hazel dan Augustus, kita, para
pembaca, diajak untuk menjalani prosesnya dan menikmati setiap detik selama
kita masih dapat bernafas di dunia yang juga semakin sekarat ini ...
Favorite Qutes :
“Hampir semua orang terobsesi untuk meninggalkan tanda di dunia. Meninggalkan warisan. Hodup lebih lama daripada kematian. Kita semua ingin diingat. Aku juga. Itulah yang paling menggangguku, menjadi korban lain yang tidak diingat dalam perang kuno dan hina melawan penyakit. AKU INGIN MENINGGALKAN TANDA.”“Tapi, Van Houten : tanda-tanda yang ditinggalkan oleh manusia sering kali berupa bekas luka. Kita menyerupai sekumpulan anjing yang mengencingi hidran air. Kita meracuni air tanah dengan kencing beracun kita, menandai segala sesuatunya sebagai MILIKKU dalam upaya konyol untuk bertahan hidup dari kematian. Aku tidak bisa berhenti menngencingi hidran air. Aku tahu itu konyol dan tak berguna – benar-benar tidak berguna dalam keadaanku saat itu – tapi aku hewan, sama seperti siapa pun lainnya. ““Hazel berbeda. Dia berjalan dengan ringan, sobat Lamaku. Dia berjalan dengan ringan di dunia. Hazel mengetahui kebenarannya : Mungkin kita juga melukai alam semesta ketika membantunya, dan kemungkinan kita tidak melakukan keduanya. Orang akan mengatakan betapa sedihnya karena Hazel meninggalkan lebih sedikit bekas luka, karena lebih sedikit orang yang mengingatnya, karena dia dicintai secara mendalam, tapi tidak secara luas. Tapi, itu tidak menyedihkan, Va Houten. Itu kemenangan. Itu heroik. Bukankah itu kepahlawanan sejati? Seperti kata dokter : Pertama-tama, jangan menyakiti.”“Aku benar-benar berpikir Hazel akan mati sebelum aku bisa memberitahunya, bahwa aku juga akan mati. Aku hanya memegangi tangan Hazel dan berupaya membayangkan dunia tanpa kami. Dan, selama kira-kira sedetik aku menjadi orang yang cukup baik, berharap dia mati sehingga tidak akan pernah tahu kalau aku juga akan mati. Tapi kemudian, aku menginginkan lebih banyak waktu, sehingga kami bisa jatuh cinta. Kurasa aku mendaptkan keinginanku itu. Aku telah meninggalkan bekas lukaku. Kau tidak bisa memilih apakah kau akan terluka di dunia ini, Sobat Lama, tapi kau bisa ikut menetukan siapa yang melukaimu. Aku menyukai pilihan-pilihanku. Kuharap Hazel menyukai pilihan-pilihannya. Aku menyukai pilihan-pilihananku, Augustus. Sungguh.”
Tentang Penulis :
John Michael Green, lahir pada 24 Agustus 1977 di Indianapolis, Indiana, adalah penulis
terlaris versi New York Times yang telah memenangkan berbagai penghargaan
seperti Printz Medal, Printz Honor dan Edgar Award, dan telah dua kali menjadi
finalis LA Times Book Prize. Bersama dengan saudaranya, Hank Green, mereka
adalah bagian dari Vlogbrothers [ http://youtube.com/vlogbrothers ] -
salah satu proyek video online terpopuler di dunia. Saat ini dia tinggal di
Indianapolis, Indiana bersama Sarah Urist - istri serta putranya.
[ more about the author, books
and related works, check on here : John Green | on Wikipedia | on Twitter |
Movies Adaptation ]
Best Regards,
Hobby
Buku
No comments :
Post a Comment
Silahkan tinggalkan pesan dan komentar (no spam please), harap sabar jika tidak langsung muncul karena kolom ini menggunakan moderasi admin.
Thanks for visiting, your comment really appreciated \(^0^)/