ARISANKLUBBUKU #1
Judul Asli : MY CUP OF TEA
Penulis : Nia Nurdiansyah
Penerbit GagasMedia
Editor : Jia Effendie
Proofreader : Mia
Penata Letak : Wahyu Suwarni
Desain Sampul : Dwi Anissa Anindhika
Ilustrasi Isi : Fajar Ramayel
Cetakan I : 2013 ; 354 hlm ; ISBN
979-780-632-4
Rate : 2,5 of 5
Ini adalah buku pertama hasil Arisan Klub
Buku yang disponsori oleh Penerbit GagasMedia. Melihat tampilan luarnya (khusus
desain sampul penerbit yang satu ini memang patut diacungi jempol) yang cukup
mengundang, maka tebakan pertamaku kisah ini berkaitan dengan topik kuliner yang
kebetulan juga salah satu kegemaranku (^_^). Ok tanpa berlama-lama sembari
‘menitikkan-liur’ karena membayangkan isi buku yang mengupas tentang topik
‘makanan’ inilah kisahnya ....
Sherren dan Dwipa Putra atau yang akrab
dipanggil Dipi, menjadi sahabat karib semenjak keluarga Dipi pindah sebagai
penghuni baru di kawasan tempat tinggal mereka. Kala itu Dipi baru duduk di
bangku kelas 3 SD sedangkan Shereen sudah di kelas 6 SD. Namun perbedaan usia
tidak menghalangi keduanya bermain bersama. Shereen bahkan acapkali berperan
sebagai kakak yang selalu mengkhawatirkan dan berusaha melindungi Dipi dari
segala macam gangguan. Hingga keduanya beranjak dewasa dan menempuh jalan hidup
masing-masing.
Perubahan mulai muncul kala Shereen duduk di
bangku SMA. Pergaulan serta kesibukan yang berbeda sedikit banyak tidak
menyisakan waktu luang bagi keduanya untuk sering bertemu dan menghabiskan
waktu bersama. Berlanjut hingga mereka menempuh kuliah di tempat serta jurusan
yang berbeda. Bagi Dipi, ia selalu mengingat Shereen, dan menyediakan waktunya
kapan saja gadis itu membutuhkan dirinya. Sedangkan Shereen yang menjalani
pergaulan serta masa-masa berpacaran dengan pria-pria yang menarik hatinya,
sembari sesekali tetap berhubungan dan rutin melakukan ‘curhat’ terhadap Dipi.
Tanpa disadari, peran sebagai pelindung dan
tempat curahan berbalik peran antar Dipi dan Shereen, karena meski selisih usia
ia lebih dewasa, secara karakter Shereen justru acapkali kekanak-kanakan, keras
kepala dan mudah dipengaruhi, dibandingkan karakter Dipi yang lebih dewasa
dalam memutuskan segala sesuatu, termasuk menentukan apa yang dimaui dalam
kehidupannya. Puncaknya ketika Shereen terlibat hubungan yang lebih ‘serius’
dengan pria bernama Artega – pria yang bukan saja tampan dan menarik, juga
terkenal di kalangan sosialita papan atas, yang imbasnya turut menyeret Shereen
dalam lingkup pergaulan yang berbeda.
Problematika asmara antara pria dan wanita,
dengan mengusung tema perbedaan usia dimana faktor kedewasaan bukannya diukur
dari kematangan berpikir serta perkembangan jiwa serta mental masing-masing,
bukan saja cukup menarik dan mengundang tanda tanya, sejauh mana permasalahan
tersebut akan disajikan dan bagaimana penyelesaiannya ? Jujur, kisah ini tidak
berjalan sesuai ekspektasiku. Bukan saja perkembangan karakter masing-masing
yang sangat tipikal dan mudah ditebak sebelum akhir kisah ini berjalan, bahkan
‘label’ yang muncul dalam benak akibat judul serta desain sampul yang
menjanjikan topik seputar dunia kuliner, ternyata hanya muncul sebagai ‘tempelan’
tanpa penjelasan lebih dalam.
Kebiasaan penulis ‘memboyong’ latar belakang
ke luar negeri (terutama Korea yang memang menjadi trendsetter tersendiri)
sekali lagi tidak menimbulkan kesan tambahan yang bisa menjadi daya tarik
tersendiri. Jika tujuannya mengangkat nama kuliner tradisional mengapa harus
jauh-jauh ke luar negeri daripada berusaha keras di negara sendiri ? Kesan yang
muncul justru Dipi berusaha mencari nama di luar negeri untuk bisa menembus
pangsa pasar dalam negeri ...mmm, bisa jadi ini sesuai kenyataan pahit bahwa
bangsa Indonesia tidak memiliki kebanggan akan budaya bangsa, lebih tertarik
pada trend-setter yang muncul dari luar negeri.
“Berbeda dengan Dipi yang selalu mudah ditebak, Art selalu menampakkan raut dan ekspresi yang terkadang tidak mudah untuk diterjemahkan. Sebenarnya hal itulah yang membuat Shereen jatuh hati kepadanya, kemisteriusan yang membuat Art tidak pernah terkesan ‘mudah’....jika Dipi orang yang spontan secara emosional, sementara Art selalu menata emosinya dengan baik.” [ p. 27 ]
[ source ] |
Dan dari kutipan di atas, salah satu contoh
polemik yang muncul dalam benakku, jika dihadapkan pada pilihan antara 2 pria
yang akan diajak menata kehidupan serius bagi masa depan, bukankah pertimbangan
yang sesuai nalar adalah pria yang bisa diajak berkomunikasi dan dipahami jalan
pikirannya dibandingkan pria yang setelah sekian lama berhubungan masih
terbilang ‘having-unpredictable-mind’ ? Dan komentar tentang sosok Dipi yang
spontan secara emosional atau mungkin bisa dikatakan impulsif, menurutku justru
sosok Shereen ini yang lebih tepat digambarkan sebagai sosok ‘ababil’ mudah
terpengaruhi dan tidak memiliki ketetapan hati. So, only between 2,5 - 3 star I could gave for this story (-_-)
Tentang Penulis :
Profil mengenai penulis dapat dilihat di : www.brama-sole.com. Pembaca juga dapat
berinteraksi dengan penulis melalui twitter di @nia-nurdiansyah. Novel ‘My Cup
of Tea’ adalah novel keduanya setelah novel ‘291/2 Hari’ (2011).
Best Regards,
* Hobby Buku *
Ikut menyimak.
ReplyDeleteSalam,
http://mailindra.cerbung.com