Translate

Tuesday, May 31, 2016

[ 2016 | Review #74 ] : "ISTANBUL"

Books “ISTANBUL : KENANGAN SEBUAH KOTA”
by Orhan Pamuk
Penerbit Serambi
Alih Bahasa : Rahmani Astuti
Editor : Rika Iffati Farihah & Anton Kurnia
Layout : Siti Qomariyah
Desain sampul : indieguerillas.com
Cetakan I : Februari 2009 ; 564 hlm ; ISBN 978-979-1275-56-9
Harga Normal : Rp. 77.000,-

Nama Istanbul sangat identik dengan Turki, yang menjadi salah satu tujuan wisata Eropa bagi sebagian besar penduduk dunia, terutama Indonesia. Dikenal sebagai kawasan yang memiliki perpaduan unik antara budaya serta seni Barat dan Timur, nyaris membuatku terseret akan imajinasi kemegahan dan keindahan peninggalan dunia yang sangat dikenal melalui kaum Usmani. Namun Istanbul versi Pamuk menyoroti sisi yang berbeda dari sekedar atribut yang selama ini dikenal oleh para turis asing, maupun kaum generasi muda Istanbul.


Demi menyelami Istanbul, pembaca diajak menelusuri perjalanan kehidupan sosok Orhan Pamuk. Ia adalah putra kedua pasangan suami istri yang menikah atas dasar cinta, namun seiring dengan waktu jelas terlihat ketidak-mampuan untuk menjaga kehidupan rumah tangga secara layak. Ayahnya merupakan salah satu keturunan keluarga besar Pamuk, yang pernah memiliki kekuasaan dan pengaruh besar terkait dengan kejayaan kaum Usmani.

Seperti kisah yang sering terjadi, kesuksesan dan kekayaan yang susah payah dibangun, menjadi warisan keluarga yang sayangnya tidak mampu dipertahankan apalagi dikembangkan lebih lanjut oleh generasi penerusnya. Demikian pula dengan situasi keluarga besar Pamuk, saat sang kakek meninggal, tampuk kekuasaan beralih pada sang nenek, yang tidak memahami seluk beluk bisnis yang memberikan kekayaan dan pemasukan pada keluarganya.

Saat anak-anaknya melakukan transaksi demi transaksi yang gagal, tiada yang mampu melihat lebih jauh masa depan mereka saat kekayaan yang sedemikian besar lama kelamaan habis, diperebutkan antara anggota keluarga yang pada akhirnya masing-masing membentuk keluarga baru. Ayah Pamuk digambarkan sebagai sosok yang nyaris tak pernah ‘ada’ di saat beban tanggung jawab keluarga membutuhkan dirinya. Sang ibu yang berusaha menjadi orang tua bagi kedua putranya, acapkali berusaha ‘melarikan diri’ dari realita, tatkala situasi tak tertahankan.

Hubungan antara Pamuk dan kakaknya juga digambarkan sebagai situasi yang kompleks. Sifat dan pembawaan keduanya yang bertolak belakang, acapkali menimbulkan pertengkaran dan perkelahian. Jika kakaknya selalu tampil sebagai sosok yang layak mendapat pujian berkat prestasi demi prestasi yang dibuat, maka Pamuk digambarkan sebagai bocah yang gemar ‘melamun’ dan mengisi buku-bukunya dengan coretan gambar serta lukisan, alih-alih menekuni pelajaran.

Sebenarnya Pamuk bukanlah bocah yang ‘bodoh’, ia justru sangat cerdas dan intuitif, peka terhadap situasi, namun sisi melankolis yang cukup dalam, berkembang dengan angan-angan romantisme yang memenuhi benaknya, bisa ditebak hal ini tidak sejalan dengan keinginan kaum dewasa yang ingin ia lebih ‘serius’ menyangkut masa depannya. Kehidupan tidak semakin mudah seiring dengan waktu, kebangkrutan yang mulai menggerogoti keluarganya, perpecahan hubungan ayah dan ibunya, membuat Pamuk dan kakaknya dibesarkan secara terpisah oleh kerabat.

Melalui imajinasi Pamuk, pembaca diajak menelusuri Istanbul melalui ‘kacamata’ penulis, sebuah kota tua, bukan saja dari sisi usia melainkan sejarah yang tersimpan di dalamnya. Istanbul bukan sekedar istana megah yang menggambarkan kehidupan para sultan Usmani beserta harem-haremnya, melainkan juga proses pembuatan bangunan yang penuh dengan detil mengagumkan, kerja keras dalam mewujudkan hal tersebut dan korban-korban yang terjadi sepanjang proses.

Bagaimana kehidupan rakyat pada era kejayaan Usmani, hingga proses masuknya pengaruh budaya Barat dalam setiap aspek kehidupan masyarakat. Dari sekian banyak hal, penulis menyoroti dua hal yang menjadi kegemarannya, seni dan sejarah. Seni yang menarik perhatianku terkait dengan karya ‘engraving’ yang diperkenalkan oleh Antoine-Ignace Melling, warga negara Jerman dengan moyang Prancis dan Italia, yang tertarik mempelajari seni melukis dan arsitektur.

Melling mendarat di Istanbul pada usia 19 tahun, tanpa pernah menyadari akan menghabiskan 18 tahun hidupnya disana. Ia menjadi terkenal saat menjadi kepercayaan Hatije Sultan – saudara perempuan Selim III, merancang desain interior dan eksterior hingga lanskap seputar istana. Keunikan ‘engraving’ yang dibuat oleh Melling terlihat pada lukisan-lukisan yang entah bagaimana detil-detilnya sangat jelas sekaligus proporsional dalam skala ukuran mendekati ketepatan akurasi yang menakjubkan. Perlu diingat, hal ini terjadi ribuan tahun lalu, dimana tehnologi dan tentu saja perhitungan matematika belum semudah seperti saat ini.

Ketertarikan Pamuk dalam bidang seni mendorong dirinya untuk memperdalam ilmu seni melukis, dan tentu saja karena dirinya memiliki imajinasi yang romantis, kehidupan sebagai seorang pelukis sempat melambung tinggi dalam benaknya. Kedua orang tuanya yang melihat bakat putra bungsu mereka, mendorong Pamuk untuk berlatih dan meluangkan setiap waktunya untuk ‘menggambar’ – istilah yang digunakan pada kegiatan semasa kanak-kanak. Namun seiring dengan waktu, impian itu harus bergeser, saat situasi rumah tangga keluarganya mulai retak ...

Membaca ‘Istanbul’ bagaikan memasuki dunia yang sama sekali berbeda. Bukan sekedar budaya, bahaya atau keaneka ragaman yang mewarnai kehidupan masyarakatnya, tetapi juga pola pikir dan keyakinan akan hal-hal yang berhubungan dengan situasi yang seharusnya berdampak ‘negatif’, namun anehnya disambut dengan lapang dada oleh mayoritas penduduk. Pamuk menyebutnya sebagai Hüzün, dalam bahasa Turki berarti ‘kemurungan’ – gambaran tepat yang mencerminkan kemiskinan dan kemerosotan yang terjadi dari kejayaan kerajaan Usmani hingga modernisasi yang melucuti ‘kemewahan’ akibat kekayaan yang akhirnya habis dihambur-hamburkan oleh generasi muda.

Kisah sepanjang 500 halaman ini, tanpa terasa cukup lama kutelaah, nyaris memakan waktu dua minggu, mengingat kebiasaanku untuk ‘melahap’ buku setebal ini hanya dalam 1-2 hari, ini merupakan pengalaman yang berbeda. Bukan karena kisahnya tidak menarik, justru tanpa sadar diriku terhanyut mengikuti ‘cara’ Pamuk, untuk perlahan-lahan menelusuri setiap sisi dan sudut pandang yang berbeda dari Istanbul, berdasarkan kenangan penulis. Dilengkapi dengan foto-foto hitam-putih, penulis mengajak pembaca menangkap esensi daya tarik kehidupan dari kota yang sekilas berkesan ‘kelabu’ – dingin dan muram, yang justru menonjolkan keindahan yang unik serta menyesakkan. Ini adalah kisah tentang kenangan serta renungan tentang makna ‘hidup’ versi Pamuk ... simak dan nikmati perjalanannya (^_^)

Judul Asli : ISTANBUL : MEMORIES & THE CITY
Copyright © Orhan Pamuk, 2005
Rate : 3.5 of 5

[ more about this author & related works, just check at here : Orhan Pamuk | on Goodreads | on Wikipedia | 2016 Nobel Prize ]

Best Regards,

@HobbyBuku

No comments :

Post a Comment

Silahkan tinggalkan pesan dan komentar (no spam please), harap sabar jika tidak langsung muncul karena kolom ini menggunakan moderasi admin.
Thanks for visiting, your comment really appreciated \(^0^)/

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...