by Orhan Pamuk
Harga Normal :
Rp. 77.000,-
Nama Istanbul
sangat identik dengan Turki, yang menjadi salah satu tujuan wisata Eropa bagi
sebagian besar penduduk dunia, terutama Indonesia. Dikenal sebagai kawasan yang
memiliki perpaduan unik antara budaya serta seni Barat dan Timur, nyaris
membuatku terseret akan imajinasi kemegahan dan keindahan peninggalan dunia
yang sangat dikenal melalui kaum Usmani. Namun Istanbul versi Pamuk menyoroti
sisi yang berbeda dari sekedar atribut yang selama ini dikenal oleh para turis
asing, maupun kaum generasi muda Istanbul.
Demi menyelami
Istanbul, pembaca diajak menelusuri perjalanan kehidupan sosok Orhan Pamuk. Ia
adalah putra kedua pasangan suami istri yang menikah atas dasar cinta, namun
seiring dengan waktu jelas terlihat ketidak-mampuan untuk menjaga kehidupan
rumah tangga secara layak. Ayahnya merupakan salah satu keturunan keluarga
besar Pamuk, yang pernah memiliki kekuasaan dan pengaruh besar terkait dengan
kejayaan kaum Usmani.
Seperti kisah
yang sering terjadi, kesuksesan dan kekayaan yang susah payah dibangun, menjadi
warisan keluarga yang sayangnya tidak mampu dipertahankan apalagi dikembangkan
lebih lanjut oleh generasi penerusnya. Demikian pula dengan situasi keluarga
besar Pamuk, saat sang kakek meninggal, tampuk kekuasaan beralih pada sang
nenek, yang tidak memahami seluk beluk bisnis yang memberikan kekayaan dan
pemasukan pada keluarganya.
Saat anak-anaknya
melakukan transaksi demi transaksi yang gagal, tiada yang mampu melihat lebih
jauh masa depan mereka saat kekayaan yang sedemikian besar lama kelamaan habis,
diperebutkan antara anggota keluarga yang pada akhirnya masing-masing membentuk
keluarga baru. Ayah Pamuk digambarkan sebagai sosok yang nyaris tak pernah
‘ada’ di saat beban tanggung jawab keluarga membutuhkan dirinya. Sang ibu yang
berusaha menjadi orang tua bagi kedua putranya, acapkali berusaha ‘melarikan
diri’ dari realita, tatkala situasi tak tertahankan.
Hubungan antara
Pamuk dan kakaknya juga digambarkan sebagai situasi yang kompleks. Sifat dan
pembawaan keduanya yang bertolak belakang, acapkali menimbulkan pertengkaran
dan perkelahian. Jika kakaknya selalu tampil sebagai sosok yang layak mendapat
pujian berkat prestasi demi prestasi yang dibuat, maka Pamuk digambarkan
sebagai bocah yang gemar ‘melamun’ dan mengisi buku-bukunya dengan coretan
gambar serta lukisan, alih-alih menekuni pelajaran.
Sebenarnya Pamuk
bukanlah bocah yang ‘bodoh’, ia justru sangat cerdas dan intuitif, peka
terhadap situasi, namun sisi melankolis yang cukup dalam, berkembang dengan
angan-angan romantisme yang memenuhi benaknya, bisa ditebak hal ini tidak
sejalan dengan keinginan kaum dewasa yang ingin ia lebih ‘serius’ menyangkut
masa depannya. Kehidupan tidak semakin mudah seiring dengan waktu, kebangkrutan
yang mulai menggerogoti keluarganya, perpecahan hubungan ayah dan ibunya,
membuat Pamuk dan kakaknya dibesarkan secara terpisah oleh kerabat.
Melalui imajinasi
Pamuk, pembaca diajak menelusuri Istanbul melalui ‘kacamata’ penulis, sebuah
kota tua, bukan saja dari sisi usia melainkan sejarah yang tersimpan di
dalamnya. Istanbul bukan sekedar istana megah yang menggambarkan kehidupan para
sultan Usmani beserta harem-haremnya, melainkan juga proses pembuatan bangunan
yang penuh dengan detil mengagumkan, kerja keras dalam mewujudkan hal tersebut
dan korban-korban yang terjadi sepanjang proses.
Bagaimana
kehidupan rakyat pada era kejayaan Usmani, hingga proses masuknya pengaruh
budaya Barat dalam setiap aspek kehidupan masyarakat. Dari sekian banyak hal,
penulis menyoroti dua hal yang menjadi kegemarannya, seni dan sejarah. Seni
yang menarik perhatianku terkait dengan karya ‘engraving’ yang diperkenalkan oleh Antoine-Ignace Melling, warga
negara Jerman dengan moyang Prancis dan Italia, yang tertarik mempelajari seni
melukis dan arsitektur.
Melling mendarat
di Istanbul pada usia 19 tahun, tanpa pernah menyadari akan menghabiskan 18
tahun hidupnya disana. Ia menjadi terkenal saat menjadi kepercayaan Hatije
Sultan – saudara perempuan Selim III, merancang desain interior dan eksterior
hingga lanskap seputar istana. Keunikan ‘engraving’
yang dibuat oleh Melling terlihat pada lukisan-lukisan yang entah bagaimana
detil-detilnya sangat jelas sekaligus proporsional dalam skala ukuran mendekati
ketepatan akurasi yang menakjubkan. Perlu diingat, hal ini terjadi ribuan tahun
lalu, dimana tehnologi dan tentu saja perhitungan matematika belum semudah
seperti saat ini.
Ketertarikan
Pamuk dalam bidang seni mendorong dirinya untuk memperdalam ilmu seni melukis,
dan tentu saja karena dirinya memiliki imajinasi yang romantis, kehidupan
sebagai seorang pelukis sempat melambung tinggi dalam benaknya. Kedua orang
tuanya yang melihat bakat putra bungsu mereka, mendorong Pamuk untuk berlatih
dan meluangkan setiap waktunya untuk ‘menggambar’ – istilah yang digunakan pada
kegiatan semasa kanak-kanak. Namun seiring dengan waktu, impian itu harus
bergeser, saat situasi rumah tangga keluarganya mulai retak ...
Membaca
‘Istanbul’ bagaikan memasuki dunia yang sama sekali berbeda. Bukan sekedar
budaya, bahaya atau keaneka ragaman yang mewarnai kehidupan masyarakatnya,
tetapi juga pola pikir dan keyakinan akan hal-hal yang berhubungan dengan
situasi yang seharusnya berdampak ‘negatif’, namun anehnya disambut dengan
lapang dada oleh mayoritas penduduk. Pamuk menyebutnya sebagai Hüzün, dalam bahasa
Turki berarti ‘kemurungan’ – gambaran tepat yang mencerminkan kemiskinan dan
kemerosotan yang terjadi dari kejayaan kerajaan Usmani hingga modernisasi yang
melucuti ‘kemewahan’ akibat kekayaan yang akhirnya habis dihambur-hamburkan
oleh generasi muda.
Kisah sepanjang
500 halaman ini, tanpa terasa cukup lama kutelaah, nyaris memakan waktu dua
minggu, mengingat kebiasaanku untuk ‘melahap’ buku setebal ini hanya dalam 1-2
hari, ini merupakan pengalaman yang berbeda. Bukan karena kisahnya tidak
menarik, justru tanpa sadar diriku terhanyut mengikuti ‘cara’ Pamuk, untuk
perlahan-lahan menelusuri setiap sisi dan sudut pandang yang berbeda dari
Istanbul, berdasarkan kenangan penulis. Dilengkapi dengan foto-foto
hitam-putih, penulis mengajak pembaca menangkap esensi daya tarik kehidupan
dari kota yang sekilas berkesan ‘kelabu’ – dingin dan muram, yang justru
menonjolkan keindahan yang unik serta menyesakkan. Ini adalah kisah tentang
kenangan serta renungan tentang makna ‘hidup’ versi Pamuk ... simak dan nikmati
perjalanannya (^_^)
[
more about this author & related works, just check at here : Orhan Pamuk | on Goodreads |
on Wikipedia | 2016
Nobel Prize ]
Best Regards,
@HobbyBuku
No comments :
Post a Comment
Silahkan tinggalkan pesan dan komentar (no spam please), harap sabar jika tidak langsung muncul karena kolom ini menggunakan moderasi admin.
Thanks for visiting, your comment really appreciated \(^0^)/