Books “ANAK
KESEMBILAN”
Judul Asli : THE NINTH
Copyright © 2009 Ferenc Barnás
English translation copyright © Paul Olchváry
From Hongarian edition with title “A Kilencedik”
Translation from English edition by Saphira Zoelfikar
Editor from the original edition : Katalin Böszörményi Nagy
Indonesia edition published by PT. Gramedia Pustaka Utama
Editor : Anwar Holid
Cover design by : Ariani Darmawan ; photos © by Paulo Costa
Cetakan I : Februari 2010 | 296 hlm | ISBN 978-979-22-5459-4
Rate : 3 of 5
Ini adalah sebuah kisah tentang perjalanan kehidupan sehari-hari bocah
berusia sembilan tahun, anak kesembilan dari sepuluh bersaudara sebuah keluarga
kelas menengah ke bawah masyarakat Hongaria. Walaupun sang tokoh utama yang
berperan sebagai narator adalah sosok bocah, ini bukanlah bacaan bagi
anak-anak, karena berbagai perenungan serta pemikiran yang cukup unik serta
sedikit lebih matang untuk anak-anak pada usia tersebut. Penulis membuat kisah
ini bagai jurnal pribadi, tentang hasil pengamatan serta buah pikiran bocah
yang hidup pada masa transisi peralihan kekuasaan serta politik yang melanda
negar-negara Eropa, khususnya masyarakat Hongaria pada era Perang Dunia II.
Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu serta ke-sepuluh anaknya, hidup
dalam kondisi sulit setelah sang suami / ayah, lepas dari ikatan dinas sebagai
tentara, tanpa memiliki kemampuan serta keahlian khusus untuk mencari nafkah
setelah perang usai. Dengan impian serta ambisi yang cukup tinggi, sang kepala
keluarga akhirnya terpuruk dalam pekerjaan yang tak disukai, bergaul dengan
sesama masyarakat kelas bawah, mengutuk pemerintah yang menghambat berbagai
‘kesuksesan’ yang diimpikan olehnya. Sang istri, wanita saleh yang memiliki
kehalusan budi serta pemahaman akan seni serta keindahan, harus berjuang
bekerja keras, mendampingi suami yang tak mau memahami dirinya, berjuang hari demi
hari mengisi kekosongan jiwanya demi menyediakan makanan bagi keluarga.
Anak-anak mereka sebagian besar ‘dipaksa’ tidak bersekolah ke jenjang yang
lebih tinggi, bahkan telah diperkenalkan dengan dunia pekerjaan sedini mungkin.
Makanan sehari-hari berupa roti dan bercangkir-cangkir teh adalah menu yang
mengisi keseharian mereka, terkadang mereka bisa memperoleh kemewahan dengan
adanya daging dalam menu, atau bisa juga hanya tersedia teh untuk mengisi perut
mereka yang kosong.
Kisah ini cukup unik karena alih-alih sebuah fiksi tentang kehidupan
keluarga kelas menengah yang jatuh ke strata yang lebih rendah akibat ekonomi
yang memburuk, perjalanan kehidupan sehari-hari dituturkan oleh bocah – anak
kesembilan dari keluarga ini. Bocah ini memiliki kesenangan mengamati berbagai
hal, seringkali ‘mengintip’ kehidupan di tempat-tempat lain, berkelana dalam
dunianya sendiri, tentang kehidupan yang aneh serta pemahamannya sebagai anak
kecil yang terpaksa memahami kehidupan orang dewasa di masa-masa sulit. Namun
karena ini dibuat berupa narasi dari jurnal ‘pemikiran’ sang bocah, sebagai
pembaca, seringkali diriku kesulitan mengikuti pemikirannya yang
‘meloncat-loncat’ dari satu hal ke hal lain yang sama sekali berbeda. Membaca
buku ini mengingatkan diriku saat berbicara dengan kemenakan, anak-anak, perhatian
mereka mudah berpindah-pindah dalam sekejab dari satu subyek ke subyek lain,
tergantung pada hal-hal yang menarik minat mereka. Walau demikian, jangan
pernah meremehkan pemikiran kanak-kanak, karena justru mereka seringkali lebih
‘awas’ dalam mengamati sesuatu dan menangkap hal-hal yang merupakan permasalahan
orang-orang dewasa, dan jika ada hal yang menarik perhatian mereka, jangan
sampai lengah saat menjawab – karena mereka akan ‘mengejar’ jawaban dari A – Z.
[ source ] |
Bocah tanpa nama ini, memiliki otak yang cukup cerdas, sayangnya
komunikasi dalam keluarga tak berjalan dengan baik. Dengan dalih kesibukan
untuk mencari pemasukan, sang ayah mengajar dengan disiplin keras (termasuk
hukuman fisik) agar tidak ada satu pun anaknya yang menjadi pemalas, yang
berarti semenjak subuh hingga menjelang malam, masing-masing anggota keluarga
diwajibkan memberikan ‘kontribusi’ bagi pemasukan harian keluarga. Pendidikan
maupun perkembangan intelegensi anak-anak, bukanlah bahan pertimbangan yang
cukup penting untuk dibahas. Meski mengaku sebagai keluarga Katolik yang saleh,
yang sudah cukup sulit pada era kejayaan komunis di negara tersebut, pemahaman
serta keyakinan mereka bukan merupakan perwujudan nyata selain dari berusaha
berpegang erat pada tradisi lama melawan kontradiksi serta kerasnya propaganda
komunisme pada masyarakat. Dipandang rendah, acapkali dijuluki sebagai anak
cacat, secara fisik maupun mental, hanya karena mereka kesulitan dalam membaca
(secara keras, bukan dalam hati) dan menulis sesuai aturan – menunjukkan mereka
(terutama bocah kesembilan) tidak terbiasa dan terlatih mengutarakan pendapat
maupun pemikiran dalam percakapan sehari-hari.
“Mama dan Papa kehabisan waktu untuk memedulikan sebaik apa kami bicara. Mungkin mereka bahkan sedikit gembira bahwa kami semua cacat bicara...” [ p. 19 ]“Kamu ini selalu membaca omong kosong! Aku tak pernah membaca novel seumur hidup, dan hidupku baik-baik saja.” [ 79 ]
Menurut sang ayah, menghabiskan waktu di sekolah atau membaca buku adalah
pekerjaan pemalas. Lebih baik anak-anak yang sudah cukup usianya, bekerja di
pabrik, sehingga mereka bisa memperoleh penghasilan sekaligus tunjangan
anak-anak. Namun hasil kerja mereka, semua masuk ke ‘kantong’ sang ayah,
sedangkan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, sang ibu yang notabene sama
sekali tak memiliki latar belakang keahlian di bidang pekerjaan kasar, harus
jungkir-balik mencari jalan, setiap harinya (digambarkan sang istri / ibu,
dulunya putri tunggal pasangan keluarga yang hidup di Transylvania, dibesarkan
dengan pengenalan dunia seni, pemain musik yang handal, dan akan menjadi
biarawati, hingga perang merubah dunia politik serta keyakinan, memaksa mereka
menyerahkan putri tunggal pada tentara militer yang bisa membawa sang putri keluar
dari negara tersebut).
“Papa sering meminta Mama mencari uang. Memang, bisa kali ini Papa bukan meminta, karena caranya seperti ini :”Pilihannya ialah kau cari uang atau kita kubur saja anak ini sekalian. Mana bisa aku mengumpulkan uang sebanyak itu hanya dengan berjualan rosario?” [ p.42 ]
[ source ] |
Sang ayah, akan menuntut hasil terbaik dari pembuatan rosario yang
dikerjakan oleh anak-anaknya di rumah (setelah mereka pulang sekolah atau
pulang dari pabrik), kemudian membawa hasilnya berkeliling ke kota-kota, membujuk
bahkan sedikit memaksa para pastur paroki untuk membeli hasil kerajinan
tersebut. Anak-anak terkecil diperbolehkan bersekolah karena sang ibu
mengingatkan suaminya, anak-anak itu akan menerima tunjangan dari pemerintah
(berupa asupan makanan) selama mereka bersekolah, sedangkan untuk anak-anak
yang lebih besar, mereka dimasukan dalam pabrik dengan perjanjian khusus antara
sang ayah dan manager pabrik. Tunjangan anak dari pemerintah, juga diurus oleh
sang ayah, sang ibu yang berusaha mengambil-alih, tidak mampu melawan kekerasan
sang suami yang acapkali menggunakan dana tersebut untuk ‘investasi’ masa depan
mereka (berupa pembelian barang-barang yang akan menjadi proyek besar bagi
cita-cita sang suami). Perlawanan akan menghasilkan Disiplin berupa hukuman
cambuk, terutama pada anak-anak. Tiada yang berani melawan, kecuali Pater –
anak tertua yang berusia 17 tahun. Bocah kesembilan yang mampu menangkap
‘kejanggalan’ keluarganya, berusaha menyampaikan pendapatnya lewat surat yang
ditujukan kepada sang ayah ...
“Tolong jangan sebut kakak perempuanku gendut. Tolong serahkan uang tunjangan anak pada Mama, karena menurut dewan desa uang itu seharusnya untuk kami. Tolong jangan cambuk punggung kakak-kakakku dengan ikat pinggang.” [ p. 112 ]“Andai saja Mama yang berhak menerima uang tunjangan anak setiap bulan, akan lebih mudah jadinya. Namun, Papa telah berhasil mengurus dengan dewan desa agar uang itu diberikan padanya. Mungkin Papa mengatakan pada mereka bahwa istrinya tak becus mengatur uang belanja, atau semacam itu. Papa memang pandai bersikap ramah.” [ p. 76 ]
Membaca kisah ini membutuhkan sedikit kesabaran, terutama menghadapi
konteks serta format yang tidak teratur mengikuti alur pemikiran seorang anak.
Penulis tampaknya hendak menyoroti kebobrokan mental serta pemikiran paska
Perang Dunia II terutama pada kehidupan masyarakat umum. Jenjang kehidupan
antara mereka yang berkecukupan hingga berlebihan, hingga mereka yang sangat
miskin semakin membesar. Perekonomian serta kebebasan dalam bertindak, dibatasi
oleh paham komunis yang melakukan propaganda kehidupan setara yang justru
memperbesar jenjang sosial pada masyarakat. Alih-alih melakukan kritikan pedas,
pembaca akan dibawa kepada sudut pandang seorang bocah, perenungan akan dunia
yang dijalani, pemikiran-pemikiran akan hal-hal yang negatif serta merusak
moral disertai perdebatan dalam benaknya, rasa ingin tahu yang sangat besar
hingga ketakutan akan ‘dosa’ yang selalu digaungkan oleh sang ibu sebagai
penganut Katolik yang kuat, semuanya berkecamuk dan dituturkan dengan gamblang
lewat narasi demi narasi. Bagaimana menghadapi kesulitan dalam membaca jika
konsentrasi terganggu oleh bau makanan yang dibawa oleh temannya (kelaparan
yang tak disadari karena merupakan kehidupan sehari-hari yang dijalani),
bagaimana menutupi bekas luka-luka akibat kutu di tubuhnya (tanpa sadar, ia
malu dengan kondisi kehidupannya, hanya dengan membandingkan tengkuk temannya
yang mulus dan bersih, dibandingkan tengkuknya), bagaimana ia harus menghadapi
kematian temannya yang bunuh diri, melawan keinginan mencuri dan membeli
berbagai hal untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak lain. Tanpa sebuah ending,
kisah ini memberikan cuplikan perenungan tersendiri bagi para pembacanya.
Tentang Penulis :
[ source ] |
Ferenc Barnás, lahir pada tahun 1959 dan merupakan novelis terkemuka asal
Hongaria. Dua novel lainnya yang cukup terkenal adalah Az élőskődő (The
Parasite) dan Bagatell (Bagatelle). Beliau mendapat pengakuan dunia
internasional setelah memenangkan dua anugerah sastra Hongaria yang paling
terkemuka : Sándor Márai Prize (2001) dan Tibor Déry Prize (2006). The Ninth
sendiri mendapat grant penerjemahan dari PEN Amerika.
Beliau pernah tinggal dan berkarya di Amerika, antara lain di Yaddo,
MacDowell Colony, Edward Albee’s The Barn, Virginia Center for the Creative
Arts, dan Espy Foundation, dan pernah pula mendapat undangan untuk menghadiri
diskusi buku dan pertemuan penulisan di Columbia University, University of
California, Northwestern University. Pada tahun 2001, beliau diundang untuk
berceramah di Lahti International Writers Reunion, Finlandia.
Best Regards,
* Hobby Buku *
Bener banget! Jangan meremehkanaan anak kecil :))
ReplyDeleteDan, bener banget, jangan ngasih informasi yg salah ke anak kecil karna bisa menyebabkan sesuatu yg tidak diinginkan terjadi..
Uuuh keren pengen bacaaaaa :3
ReplyDeletebanyak pesan moralnya:D makasih reviewnya, keren baanget
ReplyDelete