Judul Asli : CANTING
Penulis : Arswendo Atmowiloto
Penerbit Gramedia Pustaka Utama
Desain & Ilustrasi sampul : Wedha
Cetakan I : Oktober 2007 ; 408 hlm
Kisah dibuka dengan kehidupan di Ndalem Ngabean Sestrokusuman – kediaman Raden Ngabehi Sestrokusuma, atau yang dikenal sebagai Pak Bei, pengayom penduduk setempat, juragan batik yang memiliki 112 buruh batik beserta angggota keluarganya. Namun suasana pada pagi hari itu sedikit berbeda dengan hari-hari biasa. Para buruh batik diliburkan, dan Bu Bei tidak berangkat ‘kulakan batik’ di Pasar Klewer, alasannya Pak Bei sedang sakit. Alasan sebenarnya Bu Bei ternyata sedang mengandung. Masalahnya ia sudah terlalu tua untuk hamil kembali. Bu Bei sudah berusia 32 tahun saat itu. Anak-anak mereka sudah besar-besar. Apa ‘omongan’orang-orang jika tahu tentang hal ini. Dan bagaimana tanggapan Pak Bei atas kehamilan yang tak disangka-sangka ini ...
Bu Bei sudah menikah saat berusia 14 tahun. Nama aslinya Tuginem, seorang putri rakyat biasa, yang tak bermimpi dipersunting oleh Den Bei Daryono – putra sulung Ngabean, keluarga priyayi. Pernikahan antara keduanya, menimbulkan berbagai masalah. Keluarga mempelai wanita diangkat derajat serta martabatnya, bahkan desa asalnya mendapat kehormatan karena salah satu penghuninya menjadi anggota keluarga Ngabean. Namun bagi keluarga mempelai pria, hal ini merupakan ‘aib’ yang menjadi pembicaraan serta kasak-kusuk kerabat dalam. Tuginem harus banyak belajar untuk menjadi sosok panutan dan pasangan yang pantas bagi Den Bei Daryono, apalagi semenjak ia menyandang panggilan Bu Bei.
Sejauh ini, Bu Bei selalu berusaha tidak mengecewakan Pak Bei. Dalam setahun setelah menikah, ia telah melahirkan putra pertama, Wahyu Dewabrata – sang pewaris penerus keturunan Sestrokusuma. Setengah tahun kemudian menyusul lahirnya Lintang Dewanti, di tengah berkecamuknya perang yang mengakibatkan ludesnya semua harta keluarga Ngabean. Tahun berikutnya Bayu Dewasunu lahir saat pasukan Belanda menangkap banyak orang dan mereka tidak ada yang kembali ke rumah masing-masing. Dan setahun kemudian tepatnya pada tahun 1949, saat kondisi sudah agak membaik, lahirlah Ismaya Dewakusuma, namun itu adalah waktu yang membuat susah kehidupan Bu Bei, karena Pak Bei memiliki selir di desa lain. Kelahiran Wening Dewamurti dua tahun kemudian merupakan titik tolak perubahan pada diri Pak Bei. Beliau tidak lagi suka ‘keluyuran’, bahkan meninggalkan selirnya, lebih kerasan tinggal di rumah dan bermain dengan putri bungsu yang menjadi kesayangannya.
Dan kini Wening sang bintang keluarga, sudah besar, berusia 11 tahun. Bu Bei tidak terlalu suka membayangkan perubahan apa yang akan terjadi akibat kehamilan barunya ini. Bu Bei merasa dirinya dicurigai telah hamil anak orang lain. Apalagi dengan sikap dingin Pak Bei yang bertingkah seakan-akan Bu Bei tidak sedang mengandung. Tiada tanggapan khusus dari beliau, membuat Bu Bei menjalani kehamilannya dengan sikap pasrah bahkan cenderung sedikit acuh. Hingga tiba waktunya sang bayi lahir, seorang bayi perempuan yang berkulit gelap, wajah tidak terlalu rupawan, sungguh berbeda dengan paras sang ayah maupun saudara-saudaranya. Ia diberi nama Subandini Dewaputri Sestrokusuma, atau lebih sering dipanggil Ni – putri bungsu keluarga Sestrokusuma yang nantinya memilih jalan hidup yang berbeda dari keluarganya, berbeda dengan saudara-saudaranya.
Buku dengan ukuran ‘paperback’ ini ternyata berisi kisah yang lumayan panjang sehingga perkiraan awal cepat selesai membacanya jadi meleset. Selain itu cara penyampaian kisah yang kurasa agak berputar-putar, sekaligus meloncat dari satu kejadian ke kejadian lain, tanpa ada tanda-tanda awal apakah kisah ini terjadi di masa kini atau di masa lampau, semakin membuatku ‘lambat’ menyelesaikannya. Dan berbagai ungkapan serta istilah dalam bahasa Jawa (bukan bahasa ‘ngoko’ atau pasaran lho) tanpa disertai penjelasan akan artinya, sehingga terkadang harus main-tebak apa maksud sebenarnya.
Dengan judul “Canting” serta didukung sinopsis di sampul belakang, dugaan awal bahwa ini adalah kisah tentang sejarah dunia perbatikan, kembali sedikit meleset. Karena kisah ini merupakan drama sejarah keluarga Sestrokusuma yang merupakan salah satu keturunan ningrat keluarga Keraton yang harus menghadapi perubahan jaman. Bagaimana mereka mampu bertahan dengan tradisi dan budaya leluhur, bagaimana mereka melawan persaingan ketat bukan hanya dari dunia luar, tetapi justru pola pikir yang sama sekali berbeda di dalam kalangan keluarga sendiri. Bentrokan, iri hati, konspirasi untuk saling memojokan, saling menghasut satu sama lain.
“Canting” adalah sebuah kisah yang menarik, penggambaran tradisi yang dipegang kuat selama berabad-abad dalam budaya kehidupan Keraton Jogjakarta. Mengapa gelar kebangsawanan justru semakin menghilang, harta kekayaan menyurut, semua karena pola hidup yang tidak disesuaikan dengan kondisi perkembangan jaman. Meski demikian, diriku masih sedikit menyesalkan, mengapa topik dunia perbatikan justru hanya sekilas dimunculkan, terkesan hanya sebagai ‘tempelan’ belaka, bukan sebagai suatu latar belakang sejarah yang kuat. Sedikit berbeda dengan buku ‘Gadis Kretek’ oleh Ratih Kumala yang baru saja kuselesaikan, yang meski menunjukkan dunia modern, namun keberadaan sejarah kehidupan masa lalu justru sangat kuat dan menjadi sorotan kisahnya. Karena hal inilah, maka diriku tak bisa memberikan rating yang cukup tinggi bagi kisah yang seharusnya bisa jadi lebih menarik lagi.
Tentang Penulis :
Arswendo Atmowiloto, lahir di Solo pada tanggal 26 November 1948. Beliau mulai menulis dalam bahasa Jawa. Hingga kini, karya-karya yang sudah diterbitkan ada puluhan judul. Ia sudah belasan kali pula memenangi sayembara penulisan, memenangkan sedikitnya dua kali Hadiah Buku Nasional, dan mendapatkan beberapa penghargaan baik tingkat nasional maupun tingkat ASEAN. Tahun 1979 ia mengikuti program penulisan kreatif di University of Iowa, Iowa City, USA. Dalam karier jurnalistik, ia sempat memimpin tabloid Monitor, sebelum terpaksa menghuni penjara (1990) selama lima tahun.
Pengalamannya dalam penjara telah melahirkan sejumlah novel, buku-buku rohani, puluhan artikel, dan catatan lucu-haru – Menghitung Hari. Judul tersebut telah disinetronkan dan memperoleh penghargaan utama dalam Festival Sinetron Indonesia, 1995. Tahun berikutnya, sinetron lain yang ditulisnya, Vonis Kepagian, juga memperoleh penghargaan serupa.
Ia kini masih tetap menulis skenario dan novel, sering tampil dalam seminar dan diundang ceramah, serta memproduksi sinetron dan film, termasuk film Anak-Anak Borobudur (2007). Selain buku, televisi, dan film, ia mengaku menyukai komik dan humor, dan sangat tertarik untuk terlibat dalam dunia anak-anak. Ia tinggal di Jakarta dengan istri yang itu-itu juga, tiga anak yang sudah dewasa dan berkeluarga, lima cucu, ratusan lukisan "kapas berwarna" yang dibuatnya waktu di penjara, seperti juga sandal tato.
"Ada yang mengatakan saya ini gila menulis. Ini mendekati benar, karena kalau tidak menulis saya pastilah gila, dan karena gila makanya saya menulis."
Best Regards,
No comments :
Post a Comment
Silahkan tinggalkan pesan dan komentar (no spam please), harap sabar jika tidak langsung muncul karena kolom ini menggunakan moderasi admin.
Thanks for visiting, your comment really appreciated \(^0^)/