Judul Asli : GADIS PANTAI
Copyright © by Pramoedya Ananta Toer 2003
Penerbit Lentera Dipantara
Desain sampul : Tugas Suprianto
Cetakan VII : September 2011 ; 272 hlm
Kemarin malam ia telah dinikahkan. Dinikahkan dengan sebilah keris.Detik itu ia tahu : kini ia bukan anak bapaknya lagi. Ia bukan anak emaknya lagi. Kini ia istri sebilah keris, wakil seseorang yang tak pernah dilihatnya seumur hidup. [ p. 12 ]
Gadis Pantai berusia 14 tahun ketika ia diambil sebagai selir seorang pembesar Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Semua penduduk desa nelayan menganggapnya beruntung karena terpilih dari sekian banyak gadis-gadis kalangan bangsawan. Namun Gadis Pantai ketakutan dan tak menyukai bahwa ia harus hidup terpisah dari keluarganya, karena kaum ningrat tidak boleh hidup berdampingan dengan golongan rakyat jelata. Hidup dalam gelimang harta benda serta tak boleh lagi bekerja agar kulitnya yang kuning langsat semakin putih dan halus, segala sesuatu disiapkan oleh para pelayan, bisa memperoleh apa pun yang diinginkan, itu adalah Impian setiap orang, maka sungguh bodoh jika menolak rejeki di depan mata – demikianlah pandangan umum.
“Perempuan ini diciptakan ke bumi, Mas Nganten, barangkali memang buat dipukul lelaki. Karena itu jangan bicarakan itu, Mas Nganten. Pukulan itu apalah artinya kalau dibandingkan dengan segala usahanya buat bininya, buat anak-anaknya.” [ p. 95 ]
Namun realita kehidupan sungguh sangat berbeda. Pernikahan yang terjadi bukanlah suatu ‘pernikahan’ antara pria dan wanita yang saling mengasihi dan berjanji sehidup-semati. Gadis Pantai hanyalah alat untuk memenuhi tujuan Bendoro Agung, dan jika tujuan itu telah tercapai maka ia akan dipindahkan ke tempat lain, demikian pula jika terjadi kegagalan, maka ia akan dikembalikan ke pihak keluarganya. Gadis Pantai yang cantik dan ceria, harus merubah seluruh kebiasaan serta pola pikir mengikuti aturan serta tata krama kaum ningrat. Yang menyakitkan bukan hanya proses pembelajaran yang sulit, melainkan perlakuan serta pandangan para penghuni kediaman Bendoro. Kerabat Bendoro memandang rendah dirinya, meski kini ia dipanggil Bendoro Putri, tetapi asalnya tetap gadis dusun yang bodoh. Sedangkan para pelayan sebagian besar iri dan dengki melihat salah satu anggota miskin mampu naik ke posisi terhormat.
“mBok apa yang salah pada diriku?”“Salah Mas Nganten seperti salah sahaya, salah kita, berasal dari orang kebanyakan. Kita sudah ditakdirkan oleh yang kita puji dan kita sembah buat jadi pasangan orang atasan. Kalau tidak ada orang-orang rendahan, tentu tidak ada orang atasan.”“Aku ini, mBok, aku ini orang apa? Rendahan? Atasan?”“Rendahan Mas Nganten, maafkan sahaya, tapi menumpang di tempat atasan.” [ p. 99 ]
Gadis Pantai kesepian dan ketakutan, hanya ada satu orang yang cukup perhatian dan mengasihinya, bujang pelayan yang dengan setia mendampingi serta memberi petunjuk bagaiman ia harus melakukan tugasnya sebagai Bendoro Putri. Hingga suatu saat, terjadi peristiwa yang menyebabkan pertengkaran dan konfrontasi antara Gadis Pantai dan kerabat Bendoro. Sebuah pencurian. Siapa yang telah melakukannya ? Pasti bukan orang luar karena terjadi di dalam kamar Bendoro Putri. Namun bagaimana Gadis Pantai mampu melawan ‘konspirasi’ yang dibuat untuk menyingkirkan dirinya ? Satu-satu orang yang berani berkata tentang kebenaran, membela dirinya, akhirny disingkirkan jauh-jauh, tak pernah lagi ia jumpai. Seorang diri, Gadis Pantai atau Bendoro Putri, tertatih-tatih menemukan jalan keluar setiap hari dalam kehidupannya, berusaha mencari kebahagiaan yang sedikit demi sedikit direnggut oleh kehidupan kaum ningrat. Ia harus waspada karena ‘musuh dalam selimut’ berada di sekelilingnya.
“Kelahiran sahaya sudah satu hukuman! Ia meradang – apakah dosa suatu kelahiran di tengah-tengah orang kebanyakan? Mengapa? Pelayan itu telah pergi. Kini ia harus berpikir sendiri. Dan dalam usia tidak lebih dari 16 tahun. Ia mengerti semua itu dengan perasaannya, dengan tubuhnya, dengan jantungnya.” [ p. 133 ]
Sebuah kisah yang cukup sederhana tentang perbedaan derajat dan jenjang sosial antara kaum miskin dan kaum bangsawan di kehidupan masyarakat Jawa. Sebagai keturunan bangsawan atau ningrat, acapkali mereka dianggap memiliki kelebihan – berdarah biru, yang berarti tidak boleh bercampur dengan golongan rakyat jelata. Gadis Pantai, adalah sosok yang memiliki perbedaan, dikarunia paras yang cantik dan menawan, ia bagaikan berlian di tengah kehidupan nelayan miskin, yang bersinar terang hidup dengan penuh kegembiraan di tengah kesulitan dan tantangan kehidupan. Seorang pembesar berniat ‘mengambil’ berlian itu untuk disimpan dalam kotak tertutup. Tiba-tiba sinar terang yang cemerlang itu semakin lama semakin redup, meski dirawat, dibersihkan dan diletakkan dalam perlindungan kotak yang mewah. Bagi Gadis Pantai, kerasnya kehidupan sebagai nelayan miskin lebih kuat ia tanggung daripada kehidupan mewah yang terkukung di dalam ‘kotak-besar’ kediaman sang pembesar.
Bukan hanya kebebasannya dirampas, harkat serta martabat dirinya sebagai seorang wanita, sebagai manusia yang sederajat, direndahkan dan diinjak-injak hari demi hari. Jika pertama kali ia masuk sebagai gadis lugu yang bodoh, perlahan ia mulai memahami bahwa perbedaan antara yang terlahir sebagai rakyat jelata dan terlahir sebagai kaum ningrat, tak akan mampu dijembatani. Hati nuraninya berontak keras, meski ia tidak mampu membaca atau menulis, tapi ia mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Akan tetapi hukum serta tata krama mengikat dirinya untuk ‘mengeluarkan-suara-kebenaran’ – ia berada di tengah-tengah, terjepit antara kaum jelata dengan kaum ningrat, karena statusnya tidak diakui di kedua belah pihak. Dan yang lebih mengerikan, kaum wanita seperti dirinya, hanya merupakan komoditas – sarana bagi kaum pria, terutama bangsawan untuk memperoleh keturunan. Setelah melahirkan, ia akan ‘dibuang’ dan anaknya akan dirampas sebagai bagian dari keluarga bangsawan. Bahkan sapi perah masih lebih diakui keberadaannya daripada wanita-wanita seperti ini.
Pram menuliskan kisah ini sebagai dedikasi atas perjuangan kehidupan sang nenek yang dikasihinya. Figur nenek yang berjuang demi kelangsunga kehidupan keluarganya, membanting tulang mencari nafkah dengan segala cara yang diangggap halal, merupakan pahlawan tanpa tanda jasa yang meninggalkan jejak dalam di hati Pram. Dan sorotan keras terhadap gaya kehidupan feodal bangsawan Jawa, mewarnai setiap dialog dan argumentasi dalam kisah ini. Dengan gaya narasi yang acapkali digambarkan sebagai jeritan hati Gadis Pantai, kita dibawa menelusuri kehidupan mewah di balik tembok tinggi menjulang dan tertutup. Meski disana-sini beliau menggunakan bahasa daerah, namun nampak suatu kehalusan tutur kata serta budi pekerti lewat sosok sederhana Gadis Pantai dan pelayan setianya.
Yang patut disayangkan, ksaih yang merupakan trilogi ini, sempat lenyap-hilang tanpa bekas akibat larangan pemerintah dan vandalisme Angkatan Darat pada era tahun 60-an. Dan hanya bagian pertama dari trilogi ini yang berhasil diselamatkan oleh Universitas Nasional Australia (ANU) di Canberra, melalui dokumentasi Savitri P.Scherer – seorang mahasiswi yang mengambil tesis seputar proses penulisan Pram. Bagaimana kehidupan Gadis Pantai setelah dibuang oleh kaum bangsawan, tak mampu kembali ke dunia keluarganya, meninggalkan anak yang telah dikandung dan dilahirkan dengan susah payah, kemudian dirampas dan disembunyikan dalam tembok tinggi tertutup ? Tanpa dapat mengetahui secara pasti kelanjutan kisahnya, diriku yang baru pertama kali membaca karya Pram ini, tak meragukan bahwa apa pun yang terjadi, tulisan Pram akan menimbulkan jejak yang dalam di benak pembacanya – salah satunya adalah diriku.
[ more about the author and related works, visit at here : Pramoedya Ananta Toer ]
Best Regards,
No comments :
Post a Comment
Silahkan tinggalkan pesan dan komentar (no spam please), harap sabar jika tidak langsung muncul karena kolom ini menggunakan moderasi admin.
Thanks for visiting, your comment really appreciated \(^0^)/