Books
“SATU HARI SAJA”
Judul Asli : JUST ONE DAY
[ book 1
of ALLYSON & WILLEM | JUST ONE DAY Series ]
Copyright © 2013
by Gayle Forman, Inc.
Penerbit Gramedia
Pustaka Utama
Alih Bahasa :
Poppy D. Chusfani
Editor : Barokah
Ruziati
Cetakan II :
Maret 2016 ; 400 hlm ; ISBN 978-602-03-2295-7
Harga Normal :
Rp. 70.000,-
Rate : 4.5 of 5
“Ada perbedaan jauh, antara jatuh cinta dengan mencintai seseorang. Kau harus jatuh cinta untuk mencintai seseorang, tapi mencintai seseorang tidak sama dengan jatuh cinta.”
Dan sekali lagi
diriku ‘jatuh cinta’ pada karya Gayle Forman. Ini adalah buku kedua setelah pengalaman
bersama ‘I Was Here’ – kisah yang tak mudah dilupakan begitu saja. Gaya
penuturan Gayle yang sarat akan dialog-dialog menggelitik, mengalir sedemikian
rupa membawa pembaca berpetualang mengikuti jejak langkah karakter-karakter
dalam kisahnya. Dan kisah kali ini bisa dikatakan berawal dari ide adaptasi ‘Twelfth Night’ karya William
Shakespeare, sosok yang sangat dikenal akan drama-drama tragedi, komedi maupun
romantisme yang menjadi bahan acuan seniman dan seniwati. Jujur, karya beliau
bukan sesuatu yang bisa kupahami dengan mudah, namun melalui tangan Gayle
Forman, setidaknya adaptasi Shakespeare menjadi ‘hidup’ dan mampu mengguncang
emosi serta jiwa romantisme para pembaca ...
Berawal dari
sosok Allyson Healey, gadis berusia 18 tahun yang sedang menikmati hadiah
kelulusan SMA dari orangtuanya berupa tur keliling Eropa (wow, enak sekali
hadiah kelulusannya) bersama sahabatnya, Melanie. Saat berada di Roma, mereka
bertemu dengan rombongan Gerilya Will – pemain drama yang mementaskan versi
lain dari Shakespeare di ‘jalanan’, namun yang paling membuat Allyson terkesan
adalah cowok pemeran Orlando. Pertemuan singkat yang menjadi kenangan
tersendiri, ternyata berujung pada pertemuan berikutnya, saat mereka sama-sama
berada di atas kereta menuju London. Allyson Healey – gadis ‘baik-baik’ yang
selalu mengikuti peraturan tanpa sekalipun berniat untuk melakukan pelanggaran,
melakukan aksi spontanitas pertama sepanjang hidupnya.
Alih-alih ikut
bersama Melanie tinggal di London sebelum mereka kembali ke Amerika, ia memilih
melancong ‘sehari’ ke Paris bersama Willem – pemuda asal Belanda yang baru saja
ia kenal sepintas di Roma dan kemudian di atas kereta api. Allyson bertekad
sebelum ia kembali pada rutinitas kehidupan yang menjemukan, setidaknya ia
memiliki kenangan khusus perjalanan yang tak terduga ini. Tanpa pernah
menyadari bahwa ini merupakan awal dari serangkaian peristiwa yang akan
menjungkir-balikan kehidupan serta masa depannya, sepasang remaja yang baru
saling mengenal ini menjalani petualangan ‘sehari’ di Paris. Menikmati crêpe sebagai sarapan, menyusuri kanal
sungai Seine dengan kapal, mengendarai Vélib’
– Sepeda Putih, berdua hingga nyaris ditilang karena melanggar peraturan,
dan sengaja tersesat untuk kemudian menjelajahi kawasan yang dihuni kaum Timur
Tengah dan Afrika di Prancis.
Kisah ini terdiri
atas dua babak, tiga lebih tepatnya jika termasuk ending yang membuat pembaca
bakal bertanya-tanya, bagaimana nasib Allyson dan kelanjutan ‘petualangannya’.
Babak pertama terjadi saat pengalaman ‘sehari’ Allyson di Paris berakhir dengan
kepedihan dan beban yang menggelayuti jiwanya. Ia kembali ke Amerika, masuk ke
universitas dan menjalani kehidupan baru, babak kedua. Namun ia bukan Allyson
yang sama, hal yang disadari pula oleh orangtuanya serta Melanie. Jiwanya
kosong, berusaha mencari ‘sesuatu’ yang mampu mengisi kehampaan nan
menyakitkan. Saat semua kenangan itu diawali dengan adegan drama Shakespeare,
dibutuhkan peran dalam drama serupa bagi Allyson untuk menyadari apa sebenarnya
yang ia cari selama di Amerika. Dan kemudian dimulailah babak ketiga, saat
Allyson dalam misi khusus, kembali ke Prancis untuk mendapatkan jawaban dari
peristiwa menyakitkan satu tahun lalu.
Bagaimana kesanku
usai membaca buku ini ... hmm, nyaris tak bisa kujelaskan. Mungkin lebih baik
kusebutkan poin-poin yang membuat kisah menimbulkan kesan yang ‘berbeda’ dari
bacaan sejenis ini. Yang pertama :
perjalanan melancong ke Eropa – sesuai yang langsung masuk daftar “LIKE”
sekaligus menimbulkan rasa iri. Pengalaman Allyson dan Willem walau hanya
sehari, berkesan sangat dalam dan mereka menikmati setiap detik yang dilalui
bersama. Beda sekali dengan pengalamanku saat
berkunjung ke Eropa, sebagai turis yang dikejar-kejar batas waktu,
diburu-buru oleh pemandu yang bersikap bagai induk ayam yang selalu
berkotek-kotek menggiring ‘anaknya’ ke arah yang diminta – bukannya membiarkan
‘kami’ dengan santai menikmati suasana dan hal-hal kecil yang dipastikan
menimbulkan kesan mendalam.
“Melancong tidak butuh bakat. Kau hanya perlu melakukannya. Seperti bernapas. Kau tidak bisa terlalu memikirkannya, atau rasanya akan seperti bekerja keras. Kau harus menyerahkan diri pada kekacauan. Pada kecelakaan. Pada hal-hal kecil yang terjadi. Kadang-kadang kelihatan tidak penting; kali lain, hal-hal kecil itu mengubah segalanya.”
Kedua
: kutipan di atas benar-benar menyentak diriku. Jujur, membayangkan jalan-jalan
ke wilayah yang sama sekali asing, tanpa pusing memikirkan ‘tetek-bengek’
persiapan (seperti yang dilakukan oleh ibu Allyson), sungguh menakutkan.
Apalagi diriku termasuk tipikal ‘control-freak’
– jadi teori untuk ‘going-with-the-flow’
atau melakukan segala sesuatu secara spontan seperti saran Willem, that’s
(again) really scary for me. Dan apakah yang kudapatkan sepanjang kisah ini ?
Terkadang kita harus membebaskan diri dari segala keterikatan, lakukan sesuatu
kata hati tanpa mempertimbangkan banyak hal. Taking chances in life is most
likely taking more risks, just once or twice in life. Who knows, it could be
fun or even changing your entire life ...
“Kehidupan bisa berubah seketika. Kurasa segala hal terjadi setiap detik, tapi jika kau tidak menempatkan dirimu di jalur itu, kau akan ketinggalan. Saat melancong, kau menempatkan dirimu di luar sana. Memang tidak selalu menyenangkan. Kadang-kadang malah menakutkan. Tapi di lain waktu ... tidak jelek kan ?”
Ketiga
: kehidupan bukan sekedar kesenangan atau spontanitas yang terjadi sesaat. Apa
pun yang terjadi, baik atau buruk (or even the worse-case of scenario), semua
merupakan rangkaian yang pada akhirnya membawa kita pada pilihan ‘apa yang ingin diperoleh’ di kehidupan.
Sosok Allyson yang selama ini membiarkan dirinya ‘diatur’ oleh orang-orang
serta lingkungan di sekitarnya, secara perlahan menyadari bahwa untuk membuat
kehidupan seperti yang diinginkan, langkah pertama harus ia ambil : menentukan
pilihan hendak kemana ia melangkah, langkah kecil atau langkah besar. Setiap
detik dimana manusia dihadapkan pada aneka pilihan yang terlihat sepele, pada
akhirnya membawa pada tujuan tertentu. Pernahkah dirimu berpikir seandainya
tidak memilih melakukan rutinitas sehari-hari dan bertindak, mengambil resiko,
sejauh mana perubahan yang akan terjadi dalam kehidupan mendatang ?
Ini merupakan
sajian kisah yang manis-getir; sederhana juga kompleks; ringan namun sarat akan
makna; membawa kesedihan dan kesenangan nyaris pada saat yang bersamaan. Walau
nuansa yang tampil sangat berbeda dengan ‘I Was Here’ – tetap saja
menimbulkan kesan akhir yang membekas cukup lama. Dipastikan Gayle Forman
menjadi salah satu rujukan penulis favoritku untuk jenis Young Adult Fiction.
Dengan ending yang membuatku benar-benar ‘merobek’ pembungkus kedua karena
benar-benar penasaran apa yang terjadi setelah ‘pintu tertutup’ – tiada hal
lain yang bisa kutuliskan di sini selain melanjutkan bacaan (^_^) ... penasaran
? Tunggu ulasanku berikutnya ya (atau segera cari dan baca sendiri buku ini deh
jika sudah tidak sabar). Mari kita buka halaman pertama ‘Just One Year’ dan
mengintip di balik ‘pintu’ ....
[
more about the author & related works, just check at here : Gayle Forman | on Goodreads
| on Wikipedia | on IMDb | at Facebook | at Twitter ]
Best Regards,
@HobbyBuku
No comments :
Post a Comment
Silahkan tinggalkan pesan dan komentar (no spam please), harap sabar jika tidak langsung muncul karena kolom ini menggunakan moderasi admin.
Thanks for visiting, your comment really appreciated \(^0^)/