Translate

Friday, November 30, 2012

Books "ibuk,"



Judul Asli : ibuk,
Penulis : Iwan Setyawan
Penerbit Gramedia Pustaka Utama
Editor : Mirna Yulistianti
Proof Reader : Dwi Ayu Ningrum
Desain & Ilustrasi sampul : Itjuk Rahayu
Setter : Ayu Lestari
Cetakan I : Juni 2012 ; 296 hlm 
Rate : 3,5 of 5 

Pertama kali mendengar judul ini, sempat kusangka merupakan drama parodi plesetan dari ‘e-book’ namun setelah ‘membaca’ judulnya lebih cermat, ternyata merupakan kalimat dari sebuah panggilan akrab bagi seorang ibu, panggilan yang sangat dikenal oleh masyarakat Jawa yaitu ‘ibuk, __’

Dalam waktu sebulan setelah rilis, buku ini bukan hanya memperoleh respons yang sangat positif dari kalangan pembaca, bahkan mengalami cetak ulang dalam tempo hanya sebulan. Rasa penasaran sempat menggugah keinginanku untuk segera membuka buku ini dan membaca kisahnya, namun karena kesibukan dan lain sebagainya, akhirnya baru pada bulan ini diriku berusaha menyempatkan diri untuk berkelana dalam kisah yang memperoleh nominasi Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2012 ini. 

Sebuah kisah tentang seorang wanita bernama Tinah dan seorang pria bernama Sim, yang terikat jiwa satu sama lain dan bertekad menjalin bahtera rumah tangga bersama, sehidup dan semati, dalam kesenangan maupun kesusahan. Hidup seadanya dari nafkah Slim sebagai kenek angkot hingga akhirnya berhasil memiliki angkot sendiri, ditambah dengan kelahiran putra-putri mereka, Tinah – sang gadis lugu yang tidak tamat SD, tak pernah mengeluh hanya berusaha sekuat tenaga membantu sang suami mengatur rumah tangga dan mencukupi kebutuhan masing-masing anggota keluarganya. 

Dari tinggal menumpang di sebuah kamar sempit milik kakak Sim, akhirnya mereka mampu membangun sendiri sebuah rumah sederhana dengan 2 kamar, yang akhirnya dipenuhi bukan hanya berdua tetapi dengan celoteh anak-anak : Isa, Nani, Bayek, Rini dan Mira. Maka Sim dan Tinah berubah menjadi Bapak dan Ibuk. Bapak selalu keluar pagi-pagi dan pulang larut malam mencari nafkah menarik angkot keliling Batu dan Malang. Ibuk seharian sibuk mengurus, menemani, merawat, menjaga kelima anaknya. Meski tidak memiliki dana lebih, Ibuk memiliki tekad serta cita-cita bahwa semua anaknya harus bersekolah dan berpendidikan tinggi, jangan sampai tidak tamat sekolah seperti dirinya. Dengan segala cara Ibuk memutar otak dan tenaga demi keberhasilan masing-masing anaknya, dan inilah kisah perjuangan seorang Ibuk.

Kisah ini mungkin terlihat sangat simple, tiada bedanya dengan kisah-kisah lain, bahkan tidak seheboh memoar seorang wanita penemu, ilmuwan atau sejarawan. Namun justru di sinilah kelebihan kisah yang merupakan semi-biografi dari sang penulis sendiri. Kisah ini sangat sederhana karena menggambarkan kehidupan nyata masyarakat umum terutama kalangan menengah kebawah yang sangat jarang kita perhatikan. Masyarakat seperti ini hidup di sekeliling kita, namun mereka menjadi sosok-sosok kasat-mata di hadapan mata manusia. Coba kita perhatikan dalam keseharian, pernahkah kita berpikir bagaimana kehidupan para pengemudi angkot yang kita tumpangi ? Bagaimana kehidupan para penjual sayuran, pengemudi becak, penyapu jalanan, bahkan pemungut sampah ? 

Membaca kisah ini ibarat membuka kilas-balik kehidupan diriku, kembali saat kanak-kanak. Saat Bayek merengek minta dibelikan sepatu, sedangkan Ibuk hanya memiliki uang pinjaman kredit untuk membeli sepatu Nani yang sudah lepas, terbayang bagaimana dulu semasa kecil diriku merengek minta dibelikan tas yang serupa dengan teman-teman sekelas karena sedang trendi. Saat itu tentu saja yang kupikirkan, alangkah senangnya jika punya orang tua kaya sehingga minta apa pun langsung dikabulkan. Namun membaca kisah ini, rengekan yang tampak serupa itu justru membuatku meneteskan air mata, ternyata sesusah-susahnya kehidupan sederhana ala PNS, masih ada kehidupan lain yang lebih susah, hingga untuk makan sehari-hari pun benar-benar sangat sulit. 

“Bercermin Kembali” inilah yang kudapat dari membaca Ibuk, terlepas dari keberhasilan sosok penulis yang tergambar lewat karakter Bayek sehingga ia berhasil memperoleh pekerjaan di New York dan tentu saja dengan penghasilan tinggi dan mengangkat kehidupan keluarganya satu per satu ke taraf yang lebih tinggi, bukan keberhasilan dan pencapaian yang mampu menggerakkan hati manusia lewat tangan para pembaca. Namun bagaimana proses yang harus dilalui untuk akhirnya bisa memperoleh sebuah tujuan. Buku ini bukanlah sebuah akhir melainkan awal perjuangan yang dirintis oleh sang penulis untuk menggugah hati serta menggerakkan kesadaran bahwa ‘Hidup itu harus diperjuangkan’ – terutama melihat berbagai kemudahan dan kenyamanan yang dinikmati oleh kaum muda di jaman sekarang.  

Satu kejadian yang menyentak kembali ingatanku, bagaimana komentar sang Ibuk saat selesai membaca kisah ini : ‘ternyata hidup kita dulu sangat susah ya?’ --- Ibuk tak pernah memandang kehidupannya sebagai suatu penderitaan melainkan perjuangan untuk meraih cita-cita. Dan ini membuatku harus lebih sering mengingat akan semua hal yang telah dilakukan oleh mama-ku, sepanjang hidupnya mulai bangun subuh, mempersiapkan keempat anaknya dan suami, kemudian berangkat ke kantornya, pulang menjelang petang, masih harus menyiapkan segala keperluan keluarganya sebelum mengurus dirinya sendiri. Harus sering ku-ingat terutama di kala sedang kesal maupun marah terhadap beliau, semua hal yang telah dilakukannya selama bertahun-tahun demi keluarganya. Bersabar bukanlah salah satu kekuatanku, namun lewat Ibuk, diajarkan ini justru merupakan kunci menuju kesuksesan, disertai dengan keuletan dan tekad kuat. 

Jika riwayat penciptaan manusia Adam adalah manusia pertama yang diciptakan oleh Tuhan, sedangkan Hawa digambarkan sebagai pelengkap, maka peran Hawa atau seorang Ibuk sungguh merupakan gambaran ujian kehidupan yang tak terbayangkan. Kapan saja, di mana saja Anda merasa beban berat menimpa kehidupan maupun pekerjaan yang Anda jalani, bacalah Ibuk, paling tidak akan mengingatkan sejauh mana perjalanan para Ibuk membesarkan anak-anaknya, dan tega-kah Anda sebagai seorang Anak mengecewakan Ibuk Anda dengan menyerah pada nasib atau mengambil jalan yang salah ?? 

Tentang Penulis : 
Iwan Setyawan, lahir di Batu 2 Desember 1974. Lulusan terbaik fakultas MIPA IPB 1997 dari Jurusan Statistika ini bekerja selama tiga tahun di Jakarta sebagai data analis di Nielsen dan Danareksa Research Institute. Ia selanjutnya merambah karir di New York City selama 10 tahun. Pencinta yoga, sastra. dan seni teater ini meninggalkan NYC Juni 2010 dengan posisi terakhir sebagai Director, Internal Client Management di Nielsen Consumer Research, New York. 9 Summers 10 Autumns adalah novel pertama yang terinspirasi dari perjalanan hidupnya sebagai anak seorang sopir di Kota Batu ke New York City. Buku pertamanya Melankoli Kota Batu berupa kumpulan fotografi dan narasi puitis, didekasikan untuk Kota Batu. Iwan saat ini tinggal di Batu, Jawa Timur.  

Best Regards,
* Hobby Buku * 

4 comments :

  1. Huwaaa Ibuk >.< Belum sempat baca ._.

    ReplyDelete
  2. Buku yang pertama udah baca dan sepertinya kurang lengkap kalau belum baca "Ibuk" :D

    ReplyDelete
  3. menyentuh:') yaah yang ngarang iwan setyawan sih pasti kece bgt bukunya:D

    ReplyDelete

Silahkan tinggalkan pesan dan komentar (no spam please), harap sabar jika tidak langsung muncul karena kolom ini menggunakan moderasi admin.
Thanks for visiting, your comment really appreciated \(^0^)/

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...