Translate

Showing posts with label Kazuo Ishiguro. Show all posts
Showing posts with label Kazuo Ishiguro. Show all posts

Friday, June 21, 2013

Books "THE REMAINS OF THE DAY"

Books “PUING-PUING KEHIDUPAN”
Judul Asli : THE REMAINS OF THE DAY
Copyright © Kazuo Ishiguro 1989
Penerbit Hikmah
Alih Bahasa : Femmy Syahrani
Penyelaras Aksara : Ifah Nurjany
Pewajah Sampul : Windu Tampan
Penata Letak : elcreative26@yahoo.com
Cetakan III : Agustus 2007 ; 338 hlm
Rate : 3,5 of 5 
[ Conclusion at the bottom in English ] 
[ Reblogged from HobbyBuku's Classic ]

Sebuah pepatah lama mengatakan “Gajah mati meninggalkan Gading, Macan mati meninggalkan Belang, Manusia mati meninggalkan Nama” __entah mengapa hal ini yang terngiang di benakku setelah selesai membaca kisah ini, tentang perjalanan hidup sosok manusia yang mencari ‘sesuatu’ yang dianggap sebagai tujuan hidupnya, namun pada titik tertentu ia justru kehilangan arah. Seperti biasa, Kazuo Ishiguro mampu menuangkan buah pikirannya dalam untaian kalimat yang menarik sekaligus ‘indah’ secara keseluruhan dengan narasi yang unik dan sangat sederhana namun memiliki makna cukup dalam.

Kisah ini tentang sosok yang dikenal sebagai Mr. Stevens – Kepala Pelayan di Darlington Hall, salah satu kediaman khas bangsawan Inggris milik keluarga Darlington selama ratusan tahun. Beliau telah mengabdi selama hampir 35 tahun dan melayani langsung Lord Darlington hingga Perang melawan Nazi berimbas pada penurunan status serta perekonomian Lord Darlington. Dan pada akhirnya di tahun 1956 Darlington Hall dijual kepada Mr. Farraday – pengusaha kaya raya dari Amerika yang memiliki ketertarikan akan segala sesuatu yang ‘berbau’ Inggris Kuno. Maka Darlington Hall memiliki pemilik baru dan Mr. Stevens merupakan salah satu bagian dari ‘paket-penjualan’ Darlington Hall, harus mempersiapkan diri melayani majikan yang sama sekali berbeda.



Mr. Stevens merupakan salah satu contoh Kepala Pelayan yang telah menjalani masa kuno, karena ayah kandungnya juga merupakan Kepala Pelayan yang telah melayani keluarga bangsawan Inggris dari kalangan terhormat, dan telah mendidik putranya semenjak usia dini untuk merintis usaha yang sama : mengabdi pada keluarga bangsawan terhormat. Dan ketika tiba waktunya ia memlih tempat untuk menetap dan mengabdikan tujuan hidupnya bagi seseorang yang terhormat, Mr. Stevens memilih untuk mengabdi pada Lord Darlington. Tiada yang dapat menduga apa yang akan terjadi di masa depan, dan meskipun Mr. Stevens memberikan dirinya sepenuh hati demi keluarga tersebut, tiba saatnya ia mengalami ‘moment’ melihat kilas-balik perjalanan hidupnya.

Dimulai ketika Mr. Farraday bermaksud kembali ke Amerika Serikat selama 5-6 minggu pada bulan Agustus dan September 1956, maka ia memberikan cuti penuh kepada pada staf Darlington Hall, termasuk kepada Mr. Stevens, bahkan menawarkan agar dirinya berlibur keliling Inggris sambil membawa kendaraan Mr. Farraday. Bagi Mr. Stevens yang tak pernah mengambil kesempatan ‘menyenangkan’ dirinya (termasuk mengambil cuti liburan), ia akhirnya bersedia menerima penawaran itu untuk bepergian atau istilahnya ‘bertamasya’ menikmati pemandangan pedesaan Inggris di wilayah West Country membawa mobil. Selain itu ia memiliki tujuan khusus, untuk sekaligus singgah mengunjungi ‘kenalan’ lama, sosok yang dikenalnya sebagai Miss Kenton – salah satu mantan pelayan Darlington Hall yang pernah cukup dekat dengannya. Perjalanan yang diperkirakan memakan waktu 5 – 6 hari itu memberikan kesempatan pada Mr. Stevens untuk merenung dan mengingat perjalanan kehidupan yang telah dialami sejauh ini.

Melalui narasi Mr. Stevens, kita akan diajak menelusuri kehidupan kaum aristokrat Inggris yang sangat terkenal, adat serta kebiasaan yang tak tertulis namun merupakan aturan baku yang wajib dilaksanakan dengan penuh kesempurnaan. Sebuah keluarga bangsawan yang terhormat dan layak mendapat pengakuan bukan saja karena reputasi Lord dan Lady yang Terhormat, melainkan juga tindak-tanduk para pelayan serta reputasi pelayanan no. 1 yang harus dijaga kelangsungannya dalam keseharian. Dan aturan pertama untuk menjaga keselarasan dan kelangsungan aturan tersebut adalah sosok Kepala Pelayan yang mengawasi keseluruhan pekerjaan dan memastikan bahwa Majikan mereka terpuaskan.

Cukup menarik menyimak pendapat serta kemelut yang dihadapi oleh sosok Mr. Stevens. Sebagai contoh saat ia mencoba menelaah apa yang dibutuhkan sebagai sosok Kepala Pelayan yang baik. Jika menurut aturan Hayes Society yang hanya menerima anggota kehormatan tidak pernah lebih dari 30 orang, maka Kepala Pelayan No. 1 adalah yang melayani Keluarga Bangsawan Keturunan Terhormat. Demikian pula pendapat sang ayah, namun Mr. Stevens memiliki pendapat tersendiri, bahwa bukan hanya status sosial Keluarga yang mereka layani tetapi Kepala Pelayan No. 1 harus memiliki ‘martabat’ dalam memperlakukan orang lain termasuk diri sendiri.

Prinsip ‘martabat’ ini juga mengalami perdebatan diantara kalangan para Kepala Pelayan. Apalagi ketika jaman semakin berubah, kaum bangsawan lama terpuruk dalam kondisi perekonomian yang semakin memburuk ditambah dengan kemunculan kalangan OKB (Orang Kaya Baru) yang mayoritas merupakan pengusaha. Standarisasi dan tolak ukur pelayanan kelas satu juga merupakan topik yang menarik sekaligus unik untuk disimak. Jika ada semacam anekdot bahwa kaum bangsawan Inggris sangat kaku dan dingin dibandingkan ‘kerabat’ mereka, bangsawan Prancis, maka hal ini tercermin pula pada perilaku Kepala Pelayan serta para staf-nya. Bisa dibayangkan bagaimana perilaku Mr. Stevens – Kepala Pelayan Inggris yang terhormat berhadapan dengan Mr. Farraday yang notabene orang Amerika, bahkan cara bergurau mereka sangat berbeda alias satu sama lain ‘tidak-nyambung’ (gurauan ala Inggris dengan gurauan ala Amerika jelas sangat berbeda).

Secara garis besar, proses perjalanan tamasya selama hampir 1 minggu itu memberikan kesempatan bagi Mr. Stevens untuk ‘merenungkan’ makna pekerjaan bagi dirinya, yang tanpa disadari selama bertahun-tahun telah menjadi satu-satunya pedoman serta tujuan hidupnya, yang memberikan status serta harkat secara sosial namun kurang mendalam jika berkaitan dengan masalah pribadi. Hal ini tercermin dalam kenangan hubungannya dengan Miss Kenton, satu-satunya pelayan yang berani menentang dan melawan wewenang serta perintah dirinya sebagai tangan kanan Lord Darlington. Mr. Stevens telah mengorbankan kepentingan keluarganya sendiri seperti ketika ayahnya jatuh sakit hingga meninggal dunia terkena serangan stroke, hingga mengabaikan ‘curahan-hati’ Miss Kenton sebelum ia keluar dari jajaran staf Darlington untuk menikah dengan pria yang tak dicintainya.

Hal ini sedikit mengingatkan diriku akan sebuah penelitian bahwa mayoritas kaum pekerja (dalam hal ini para pria) yang selalu disibukkan sepanjang hidupnya untuk mengejar ‘prestise’ dan status dalam bidang pekerjaan serta sosial, dan suatu saat ketika mereka ‘kehilangan’ hal tersebut, lenyap pula Impian serta tujuan hidup, bahkan banyak yang kehilangan harkat serta martabat diri sendiri. Sebagaimana sosok Mr. Stevens yang ‘mempercayakan’ hidupnya kepada Lord Darlington, kemudian mendapati bahwa beliau pun manusia biasa yang bisa jatuh dalam kondisi terpuruk dan diabaikan dalam status sosialnya, bagaimana pula ia sebagai bawahan beliau mampu ‘mempertahankan’ harkat serta jati dirinya ? 
“Jangan melihat masa lalu terus, Anda pasti depresi. Dan memang, Anda tidak bisa mengerjakan tugas Anda sebaik dulu. Tetapi semua orang juga begitu, kan? Kita semua harus bertumpang kaki pada suatu saat. Memang, kita berdua sudah tidak muda lagi, tetapi Anda harus terus melihat ke depan. Anda harus menikmati hidup. Malam adalah bagian hari yang terbaik. Anda sudah merampungkan pekerjaan siang hari. Sekarang Anda bisa bertumpang kaki dan menikmatinya. Begitulah saya memandang hidup.” [ p. 333 ]
Kisah ini bukanlah sebuah drama ‘cengeng’ yang membuat kita termangu-mangu menyesali masa lalu yang telah terjadi. Sejarah telah terukir, kesalahan telah terjadi, penyesalan tidak akan membawa kemajuan kecuali disertai tekad untuk tetap melangkah maju menyongsong kehidupan baru, apapun yang akan terjadi. Penyesalan serta rasa malu yang dialami oleh Mr. Stevens membawanya pada sebuah pemikiran bahwa sepanjang hidupnya ia tak pernah ‘berhasil’ sesuatu tolak-ukur kesempurnaan yang selama ini menjadi pedoman utama kehidupannya. Ia merasa ‘palsu’ saat orang-orang melihat penampilannya bak pria terhormat, namun di dalam hati kecilnya ia merasa tak layak menerima penghargaan tersebut. Dan sebuah perjumpaan dengan sosok tak dikenal, mengingatkan dirinya bahwa kehidupan itu sangat sederhana dan sangat berharga untuk dihabiskan menyesali masalah ‘sepele’ (seperti masa lalu) ... Hidup itu harus dinikmati sebagai Sesuatu yang Terbaik setiap saat.
“Apakah yang bisa kita peroleh dengan selalu melihat ke belakang dan menyalahkan diri sendiri, jika kehidupan kita tidak berjalan persis seperti yang kita inginkan ? Apa gunanya terlalu mencemaskan apa yang mungkin bisa atau tidak bisa kita lakukan untuk mengendalikan alur kehidupan kita ? Tentunya sudah cukup bagi orang-orang seperti saya dan Anda, untuk setidaknya mencoba memberi sumbangan kecil bagi sesuatu yang benar dan berharga. Dan jika sebagian orang siap mengorbankan banyak hal dalam hidup demi mengejar aspirasi itu, tentunya itu sendiri, apa pun hasilnya, merupakan alaan untuk merasa bangga dan puas.” [ p. 334 - 335 ]
~ Antony Hopkins & Emma Thompson ~ [ 1993 Movie Adaptation ]
Conclusion :
This a story about a man trying to find the purpose of his life. Mr. Steven are the perfect example of a boy who taught and educated by his father to follow the foot-step of him, dedicated his life on the job as the main-purpose to serve his master. Eventually, Mr. Steven follow and achieve the hightlight on his life when he become ‘Butler’ in Darlington Hall by the honorable owner Lord Darlington him-self. Day-by-day, week after week, months become years, he continue his works without any mistake, he really proud of the whole achievement. Then something happen that changing the good-steady-calm living-style he already adapted and used to-be for many years. War and politics follow by the bangcrupcy and the issue surrounding the society that ruin the good name and the honorable position of Lord Darlington.

But Mr. Steven still maintain his manners and good works, even thou the world are changing into something he never knew. His new master are a wealthy man, but he is not like Lord Darlington at all. He even not a real Englishman Royalty, just a kind and gentle rich man from America. Suddenly he just remembering all those days that already gone-by, when finally after years he accepted the offer from his master to take a holidays, enjoy it the time for him-self. When he decided to going-on picnic for a week by travelling with his master’s car (it is a generous suggestion from his master), he had new mission, to meet an old acquintance he known many years ago, while he and she still at young age, serving at Darlington Hall.

The whole stories are merely going on the journey inside Mr. Stevens mind, while on the way to meet someone that he thinks are go-to-be his future, his past also come-back, flashing all the memories, the good ones, the bad ones and even the worse ones. The author really good capturing the life-style of an English people, specially on what we know as the honorable and respected society, many of them are royalties, an heirs from their ancestors, but many of them are vanished within the following more modern society, more rich and wealthy even not born from the heir of royalty. At the end, readers are ask to consider a moment of its life, did you already achieving anything in your life and are you proud enough on those, or you regret it many of your choices ? Despite of all the worse and negative side-of-the-story, I think we also ask not to be burden by our past, accepted and move-on, but never-ever stuck on only one way, there is so many choices, just take the risk, do harder and again, never regret the mistake but learrn from it (quickly) ...

Tentang Penulis :           
Kazuo Ishiguro lahir di Nagasaki, Jepang pada tahun 1954 dan pindah ke Inggris pada usia lima tahun. Berbagai penghargaan diterima atas karya-karyanya yang dikenal dunia internasional, seperti : A Pale View of Hills (1982, Winifred Holtby Prize). An Artist of the Floating World (1986, Whitbread Book of the Year Award, Premio Scanno, Shorlisted Booker Prize), The Remains of the Day (1989, Booker Prize Award), The Unconsoled (1995, Cheltenham Prize), When We Were Orphans (2000, Shorlited Booker Prize), dan Never Let Me Go (2005).

Selain itu beliau juga menerima lencana Order of the British Empire untuk pengabdian pada sastra di tahun 1995, dan tanda jasa Chevalier de L’Ordre des Arts et des Lettres di tahun 1998. Karya Kazuo Ishiguro telah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa, dan The Remains of the Day telah terjual lebih dari 1 juta copy untuk edisi bahasa Inggris, bahkan diangkat ke layar lebar dibintangi oleh aktor ternama Sir Anthony Hopkins sebagai Mr. Stevens dan Emma Thompson sebagai Miss Kenton. Kini beliau menetap di London, Inggris bersama istri dan putrinya.

[ more about the author, book, and related works, just check on here : Kazuo Ishiguro | The Remains of The Day (Novel) | The Remains of The Day (Movie)  ]


Best Regards,  


Wednesday, March 27, 2013

Books "AN ARTIST OF THE FLOATING WORLD"


Judul Asli : AN ARTIST OF THE FLOATING WORLD
Copyright © by Kazuo Ishiguro, 1986
Copyright © 2010 Penerbit Elex Media Komputindo
Alih Bahasa : Rahma Wulandari
ISBN : 978-602-02-0497-0 | 2013 | 226 hlm
[ Review in Bahasa Indonesia & English ]
“Sebuah kebahagiaan mendalam yang muncul dari keyakinan bahwa perjuangan seseorang telah diakui ; bahwa kerja kerasnya telah membuahkan hasil, keraguannya terhapuskan, semuanya menjadi sepadan dan bernilai – inilah kisah tentang seseorang yang telah mencapai sesuatu  yang  bernilai dan memperoleh pengakuan.” [ p.  223 ]
Kehidupan seorang manusia semenjak ia terlahir di dunia hingga tiba saatnya ia kembali ke asalnya – merupakan perjalanan unik yang memiliki jejak serta warna yang berbeda, antara satu dengan yang lain. Terlepas dari perbedaan ras, kondisi lingkungan, status ekonomi dan sosial, masing-masing memiliki kesempatan yang sama, yaitu menentukan sendiri pilihan akan jalan mana yang akan ditempuh dalam menjalani hari demi hari. Namun yang sering terjadi, manusia tidak mau meluangkan waktu untuk bersyukur atas kebahagiaan, kesenangan, kenyamanan, kenikmatan dan kesuksesaan yang dialami. Bahkan acapkali senantiasa menuntut ‘hak’ diatas ‘kewajiban’ dan menyalahkan siapa saja atas kesalahan dan kegagalan yang dialami, alih-alih berusaha menerima tanggung jawab atas diri sendiri.


Kisah ini adalah tentang sosok bernama Masuji Ono – putra pengusaha yang memilih jalan hidupnya sendiri semenjak remaja, menentang mandat serta perintah orang tuanya, terutama sang ayah yang menghendaki dirinya meneruskan usaha keluarga. Dengan seting waktu sekitar tahun 1920-1950, bertepatan saat Jepang mengalami transisi besar-besaran menjelang invasi terhadap RRC dan Perang Dunia II, hingga reformasi setelah paska perang, kehidupan sosok Masuji Ono terlukiskan dalam 3 periode waktu yang berbeda-beda. Dibuka dengan saat pemuda ini menentukan pilihan hidupnya untuk menekuni jiwa seninya sebagai pelukis, meninggalkan keluarganya yang sama sekali tidak mendukung, karena seorang seniman dianggap tidak memiliki martabat ataupun menjalani kehidupan yang cukup terhormat di kalangan masyarakat umum.

Perjalanan menempuh medan yang cukup berat, dijalani dengan penuh tekad, hingga pemuda ini diterima ‘magang’ di tempat salah satu tokoh seniman ternama, setelah sebelumnya ia terlunta-lunta demi mencari nafkah bagi dirinya sendiri sekaligus berusaha mengembangkan keahliannya.  Kehidupan baru yang dijalani dengan semangat tinggi, berkumpul bersama sesama murid sang Mahaguru, mengembangkan tehnik melukis dalam bimbingan sang Seniman. Tiada kehidupan yang sepi dan sunyi selama ia bersama dengan para rekan dengan sang pembimbing, menjalani pesta pora di malam hari, tertidur menjelang pagi, melukis pada siang hari. Hingga pada suatu hari, sang pemuda mendapati dirinya ‘berubah’ dan memiliki hasrat yang sama sekali berbeda dengan kemauan sang guru. Lukisannya berubah, karena jauh di dalam hati nuraninya, ia mulai menemukan panggilan hatinya. Jika di awal ia ‘terusir’ dari keluarganya demi mencari jati diri, kini ia kembali ‘terusir’ dari kediaman yang telah sekian lama menerimanya, dianggap sebagai pengkhianat karena ia menuruti panggilan hati daripada kemauan dan tuntutan sang guru.

Sang pemuda yang memiliki semangat berapi-api, menemukan cahaya baru di tengah pergolakan menjelang masa peperangan antara Jepang dan Sekutu. Kampanye dan propaganda menjadi agenda tersendiri yang dijalani dengan penuh keyakinan serta prinsip yang kuat, tanpa disadari bahwa semua hal yang ia lakukan akan berimbas pada kehidupannya di masa mendatang. Hingga ketika perang akhirnya usai dengan kekalahan Jepang. Pemuda yang telah menjadi pria dewasa, menikah dan kehilangan anggota keluarga tercinta semasa peperangan, menjalani masa-masa ketika ia bukan lagi seorang murid melainkan guru bagi para pemuda yang haus akan pengetahuan dan bimbingannya. 

Dan segala sesuatu dalam kehidupannya seakan berbalik, ketika ia mendapati berada pada posisi serupa saat ia berhadapan dengan sang ayah untuk mempertahankan Impiannya, ketika ia harus merelakan ‘dikeluarkan’ oleh sang Guru sekaligus mentor karena Impiannya telah melebihi sang pembimbing – hanya kini ia berada pada posisi yang berbeda, ia bukan lagi pemuda lugu yang memiliki semangat menggelora. Kini ia adalah seorang ayah, seorang pembimbing, seorang mentor dan tokoh yang disegani. Dulu ia bersekutu dengan gerombolan para pemberontak yang menginginkan perubahan yang lebih baik pada Jepang. Kini ia tak yakin dengan segala perubahan serta pengaruh dunia Barat yang merambah kehidupan masyarakat Jepang. Bagaimana ia harus menghadapi kematian istri dan putra tunggalnya ? Bagaimana ia mengatasi kegagalan pertunangan putrinya yang (mungkin) disebabkan oleh status serta latar belakang dirinya ? Bagaimana ia berhadapan dengan murid kesayangannya yang berbalik membenci karena ‘tindakan’ yang ia lakukan di masa lalu ? Dan bagaimana ia mampu menjalani hari demi hari, menatap sisa-sisa keindahan dan kejayaan peninggalan masa lalu, runtuh, habis menjadi abu yang lenyap ditiup angin, digantikan sesuatu yang sama sekali baru ....
“Kami hidup selama ini nyaris sesuai dengan gaya hidup dan nilai-nilai yang diajarkannya, dan ini membutuhkan waktu panjang untuk mengeksporasi bagian dari ‘dunia awang-awang’ – dunia malam yang penuh kesenangan duniawi, hiburan dan minuman yang mewujud pada latar belakang seluruh lukisan karya kami.” [ p. 58 ]
‘An Artist of the Floating World’ – menggambarkan kehidupan seniman pelukis Jepang pada era menjelang abad ke-20, di mana sebagian besar para seniman besar mulai menerapkan gaya para pelukis Eropa, hingga timbul perang berkepanjangan melawan pihak Barat. Maka agenda para seniman ini bertambah dengan masuknya propaganda serta kebijakan pemerintahan Jepang pada masa itu. Kebebasan mengekspresikan pikiran serta jiwa ke dalam lukisan, sering kali harus ditebus dengan penangkapan oleh pihak-pihak militer, ditahan dan acapkali disiksa karena dianggap sebagai pengkhianat bangsa. Hal ini diperburuk dengan sikap sewenang-wenang pejabat pemerintahan serta oknum-oknum yang memanfaatkan hal tersebut untuk ‘menyingkirkan’ pihak-pihak yang tak disukai dengan dalih demi keamanan negara.
“Aku telah belajar banyak hal selama beberapa tahun ini, terutama soal berkontemplasi tentang dunia hiburan dan mengenali keindahannya yang rapuh. Tapi, rasanya inilah saatnya melebarkan sayap ke hal-hal baru, karena aku yakin di masa-masa sulit seperti ini, seniman harus belajar menilai sesuatu yang lebih berwujud daripada hal-hal menyenangkan yang lenyap seiring fajar tiba. Seniman tidak perlu selalu identik dengan dunia yang tertutup dan moral yang rendah. Sensei, hati kecilku berkata aku tak bisa selamanya menjadi seniman di dunia awang-awang.” [ p. 197 ]
Dituturkan dengan gaya penulisan melalui sudut pandang pihak pertama, sosok Masuji Ono mampu membawa para pembaca untuk menelusuri jejak serta langkah-langkah yang diambil dalam berbagai konflik di kehidupannya. Meski pada awal kisah berjalan sedkit lambat dan berputar-putar antara masa silam dan masa terbaru, secara perlahan, kita akan mendapat gambaran nyata, rahasia dibalik misteri yang menyelimuti sejarah kehidupan Masuji Ono – yang tak pelak lagi juga mencerminkan situasi serta kondisi masyarakat Jepang pada era tersebut. Yang menarik, penulis memberikan garis batas yang cukup tegas menjelang akhir kisah, tentang perenungan serta kontemplasi makna kehidupan, bahwa seharusnya tiada penyesalan sedikit pun atas apa pun yang terjadi di masa lalu, baik atau buruk semuanya memberikan ‘warna’ tersendiri yang menghidupkan ‘lukisan’ diri kita masing-masing.
“Setidaknya kita bertindak sesuai dengan keyakinan kita dan melakukan yang terbaik sesuai dengan kemampuan kita masing-masing.”
Tentang Penulis :
Kazuo Ishiguro, lahir di Nagasaki, Jepang pada tanggal 8 November 1954, namun keluarga bermigrasi ke Inggris di tahun 1960. Ia memperoleh gelar BA dari University of Kent di tahun 1978 dan gelar Master dari University of East Anglia untuk ‘creative writing course’ di tahun 1980. Ia secara resmi menjadi warga negara Inggris pada tahun 1982. 

Beliau merupakan salah satu penulis fiksi kontemporer yang banyak dibicarakan dan diakui dalam dunia penulisan di Inggris, dan karya-karyanya memperoleh banyak sorotan serta penghargaan International. Mulai dari 4 nominasi untuk Man Booker Prize, dan memenangkan salah satunya lewat “The Remains of the Day” pada tahun 1989, hingga kisah ini diangkat ke layar lebar dengan judul sama, dibintangi oleh Sir Anthony Hopkins dan Emma Thompson.  Kemudian anugerah OBE pada tahun 1995, hingga Chevalier de l’Ordre des Arts et des Lettres pada tahun 1998. Pada tahun 2008, The Times menempatkan beliau pada posisi ke-32 dari daftar  50 penulis Inggris ternama semenjak 1945.  

Novel pertamanya ‘A Pale View of Hills’memperoleh penghargaan Winifred Hotlby Memorial Prize di tahun 1982. Menyusul novel keduanya ‘ An Artist of the Floating World’ yang memperoleh Whitbread Prize di tahun 1986. Kesuksesan novel ke-3 ‘The Remains of the Day’  (1989)disusul dengan rilisnya ‘The Unconsoled’ (1995) dan ‘When We Were Orphans’ (2000). Novel terbarunya ‘Never Let Me Go’ (2005) masuk dalam daftar 100 Novels Inggris terbaik versi Times Magazine, dan diangkat pula ke layar lebar dan rilis September 2010, dibintangi oleh Keira Knightley, Andrew Garfield dan Carey Mulligan.

Best Regards,


Books "WHEN WE WERE ORPHANS"



Books “Masa-Masa Kita Yatim Piatu”
Judul Asli : WHEN WE WERE ORPHANS
Copyright © Kazuo Ishiguro 2000
Penerbit : Elex Media Komputindo
Alih Bahasa : Linda Boentaram
Cetakan I : September 2012 ; 416 hlm 

Period : 1920 – 1958 | London, Inggris – Shanghai, Cina
Christopher Banks lahir dan besar di Shanghai, Cina pada awal abad 20. Namun ia menjadi anak yatim piatu pada usia 9 tahun, setelah kedua orang tuanya ‘menghilang’ tanpa jejak. Pihak berwenang mengirim dirinya menyeberangi lautan untuk tinggal dan menetap bersama bibinya di Inggris. Christopher menjalani kehidupan barunya, peradaban serta budaya yang berbeda, dan ia berhasil beradaptasi meskipun tidak masuk dalam kelompok populer. 

Setelah lulus dari Cambridge University, ia menjalani kehidupan baru yang tenang dan santai di kediaman pribadinya, sebuah flat mungil di wilayah Kensington. Pertemuan tak disengaja dengan  James Osbourne – teman lama dari sekolah pada musim panas 1923, memicu serangkaian kejadian yang membawa dirinya berjumpa dengan wanita unik bernama Sarah Hemmings – gadis menarik yang menjadi bahan gunjingan karena perilakunya yang tidak sesuai dengan tradisi kalangan terhormat. 

Pertemuan kedua kalinya dengan gadis ini menimbulkan rasa malu dan amarah pada diri Christopher. Dan ketika tahun berlalu, saat ia berada di puncak karirnya sebagai detektif swasta yang kampiun, Sarah Hemmings justru muncul dan ‘memaksa’ agar ia mau memberikan bantuan untuk memasuki pesta gala kalangan atas, dimana Christopher sudah pasti diundang karena kesuksesannya memecahkan berbagai kasus di Inggris. Christopher tak terlalu memperhatikan perjumpaan tersebut, hingga tiba saat pesta gala diadakan, dan disanalah, di lobby gedung, Sarah menanti dirinya – kunci masuk ke dalam acara eksklusif. Dan Christopher berhasil membalas perlakuaan Sarah dahulu terhadap dirinya, dengan menolak gadis itu di depan umum. 


Insiden memalukan dan tak terlupakan itu semakin terngiang dan merubah hubungan di antara keduanya. Sarah yang penuh dengan tekad, tak pernah mau memperdulikan aturan serta tatanan pergaulan, mampu membawa dirinya memasuki dunia yang diinginkan. Dan Christopher yang tampak telah menjalani kehidupan kalangan atas yang diminati banyak orang, justru mendapati bahwa semua itu semu dan ia tak berminat lebih jauh untuk mengikuti arus pergaulan yang menjemukan. Apalagi diam-diam ia memiliki impian tersendiri, sesuatu yang memicu dirinya hingga memilih profesi sebagai seorang detektif. Christopher berniat mencari tahu keberadaan kedua orang tuanya yang lenyap di Shanghai berpuluh-puluh tahun silam. 

Christopher yang menutup rapat-rapat tentang masa lalunya di Shanghai, mendapati ia mampu bercerita kepada Sarah, yang tertarik dan menaruh minat pada cita-cita Christopher. Dan ketika keduanya terpisah karena alasan yang aneh, keduanya bertemu kembali di Shanghai, saat Christopher akhirnya beranjak mencari tahu sesuatu yang telah ‘mengendap’ di benak. Ia bahkan meninggalkan anak asuhnya Jennnifer ke dalam asrama sekolah, karena ia tak tahu akan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menemukan jejak kedua orang tuanya. Apalagi saat itu Shanghai bagian dari Cina, tengah dalam kondisi perang dengan pihak Jepang. 

Sementara itu Sarah Hemmings telah menikah dengan tokoh kelas atas Sir Cecil Medhusrt – sosok pencetus perdamaian, dan beliau datang langsung ke Shanghai dengan harapan mampu menyelesaikan pertikaian, namun ketrampilan di dunia politik Inggris ternyata tak mampu diterapkan di belahan dunia yang sibuk berperang. Alih-alih Sir Cecil terpuruk dalam perjudian dengan hutang yang semakin menumpuk. Sang istri yang jauh lebih muda dan menarik, yang dulu selalu menjadi kebanggannya, kini hanya sebagai pelampias kemarahan serta frustasi dirinya. 

Christopher yang melihat kondisi kedua pasangan ini, mau tak mau teringat akan situasi yang dialami kedua orang tuanya dulu. Kehidupan rumah tangga yang hangat, berubah karena sang ayah terikat pada perusahaan yang bekerja sama dengan para pedagang opium, sesuatu yang ditentang keras oleh istrinya dalam kampanye anti-opium. Mampukah Christopher memecahkan misteri yang telah terjadi bertahun-tahun silam ? Dan bagaimana ia meyikapi kehidupan pribadinya, terutama menyangkut seseorang yang menarik hatinya sekian lama ?
“...memang benar kau dibesarkan dengan bermacam-macam orang di sekelilingmu. Orang China, Prancis, Jerman, Amerika. Tidak heran kalau menjadi sedikit berdarah campuran. Tetapi itu bukan hal buruk. Kurasa tidak buruk jika anak-anak lelaki sepertimu tumbuh dengan sedikit pengarh di sana-sini. Kita semua mungkin bisa memperlakukan sesama jauh lebih baik. Mengurangi perang, misalnya. Mungkin suatu hari nanti, semua konflik ini akan berakhir, dan bukan karena para politisi hebat atau gereja atau organisasi seperti ini. Tetapi karena orang sudah berubah. Mereka akan menjadi seperti dirimu, Puffin. Lebih seperti campura. Tetapi kenapa tidak? Itu hal yang sehat.”
[ from ‘Where We Were Orphans’ by Kazuo Ishiguro | p. 102 -103 ]
Ini adalah buku pertama Kazuo Ishiguro yang kubaca, meskipun ‘The Remains of the Day’ dan ‘Never Let Me Go’ sudah cukup lama berada di tumpukan buku-buku. Rasa penasaran karena karakter yang berprofesi sebagai deteltif inilah yang membuatku memilih sebagai bacaan pertama karya penulis yang hampir seluruh novelnya masuk dalam daftar “100 Books To Read Before You Die”--- sungguh menggugah rasa penasaran, apa keistimewaan karya-karya beliau.

Alih-alih cerita detektif, kisah ini tentang perjalanan hidup Christopher Banks semenjak kanak-kanak hingga dewasa. Dengan menggunakan sudut pandang pertama, karakter ini mampu menyajikan gambaran situasi yang sedang terjadi. Namun dibutuhkan kesabaran untuk memperoleh gambaran besar karena penulis memilih cara ‘back-in-forward’ melalui berkas-berkas ingatan serta kenangan tokoh utama, sembari ia menjalani kehidupannya. Dengan mengandalkan ingatan masa kecil yang kabur, dan mengambil kesimpulan sesuai nalarnya sebagai orang dewasa, sedikit demi sedikit, mulai terpecahkan berbagai pertanyaan yang mengiringi diriku semenjak halaman-halaman depan. 

Mengambil tema sosial budaya yang berbeda, pertemuan antara Barat dan Timur, tercermin dalam kehidupan Christopher di Shanghai, terutama persahabatannya dengan Akira – anak keluarga Jepang yang juga harus beradaptasi di budaya multi-kultural ini. Penulis mampu menyelipkan konflik-konflik budaya serta tradisi lama, melawan pengaruh modern yang masuk. Bahkan memberikan ketegangan lewat topik perdagangan opium yang mana dibawa oleh bangsa Barat untuk menguasai dan menaklukan bangsa Timur, namun akhirnya kendali tersebut jatuh di tangan bangsa Timur yang mampu mendirikan kerajaan bisnis dunia. 

Apakah kisah ini cukup layak jika dinilai dari ide serta kompleksnya materi yang dimasukan, termasuk pandangan politik yang jelas-jelas mencemooh kaum birokrat Barat. Namun ada beberapa hal yang sedikit mengganjal. Jika memang sosok Christopher Banks adalah penyelidik yang brilian, mengapa ia tak mampu menepiskan anjuran sesamanya bahwa misi penyelamatan setelah berpuluh-puluh tahun di tempat kejadian yang menjadi medan perang adalah sesuatu yang absurb bahkan tidak sesuai dengan logika. Perlakuannya setelah berjumpa kembali dengan Akira sebagai musuh, juga menunjukkan seperti orang yang terobsesi dengan Impian yang dibangunnya bertahun-tahun.

 I don’t know whether this character means to be ‘naive’ or ‘crazy’ --- well, maybe its up to the reader to decide. But when the final of the searching meets the answers, only silent and peace – something that maybe the answers to many people for their entire life. I close this book with the sweet and calm reaction. So many thing happen on life, sometimes the answers is not what you need to know, sometimes you just enjoy it every moment.  

Tentang Penulis :
Kazuo Ishiguro, lahir di Nagasaki, Jepang pada tanggal 8 November 1954, namun keluarga bermigrasi ke Inggris di tahun 1960. Ia memperoleh gelar BA dari University of Kent di tahun 1978 dan gelar Master dari University of East Anglia untuk ‘creative writing course’ di tahun 1980. Ia secara resmi menjadi warga negara Inggris pada tahun 1982. 

Beliau merupakan salah satu penulis fiksi kontemporer yang banyak dibicarakan dan diakui dalam dunia penulisan di Inggris, dan karya-karyanya memperoleh banyak sorotan serta penghargaan International. Mulai dari 4 nominasi untuk Man Booker Prize, dan memenangkan salah satunya lewat “The Remains of the Day” pada tahun 1989, hingga kisah ini diangkat ke layar lebar dengan judul sama, dibintangi oleh Sir Anthony Hopkins dan Emma Thompson.  Kemudian anugerah OBE pada tahun 1995, hingga Chevalier de l’Ordre des Arts et des Lettres pada tahun 1998. Pada tahun 2008, The Times menempatkan beliau pada posisi ke-32 dari daftar  50 penulis Inggris ternama semenjak 1945.  

Novel pertamanya ‘A Pale View of Hills’memperoleh penghargaan Winifred Hotlby Memorial Prize di tahun 1982. Menyusul novel keduanya ‘ An Artist of the Floating World’ yang memperoleh Whitbread Prize di tahun 1986. Kesuksesan novel ke-3 ‘The Remains of the Day’  (1989)disusul dengan rilisnya ‘The Unconsoled’ (1995) dan ‘When We Were Orphans’ (2000). Novel terbarunya ‘Never Let Me Go’ (2005) masuk dalam daftar 100 Novels Inggris terbaik versi Times Magazine, dan diangkat pula ke layar lebar dan rilis September 2010, dibintangi oleh Keira Knightley, Andrew Garfield dan Carey Mulligan.

Best Regards,

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...