Translate

Showing posts with label Cultural Drama. Show all posts
Showing posts with label Cultural Drama. Show all posts

Sunday, June 7, 2015

Books "THE END OF MANNERS"

Books “PEREMPUAN-PEREMPUAN TAK BERWAJAH”
Judul Asli : THE END OF MANNERS
by Francesca Marciano
Copyright © Audenspice Limited 2007
Penerbit Gramedia Pustaka Utama
Alih Bahasa : Rahmani Astuti
Editor : Ariyanti E. Tarman
Desain sampul : Eduard Iwan Mangopang
Cetakan I : 2014 ; 368 hlm ; ISBN 978-602-03-0213-3
Harga Normal : Rp. 59.000,-
Rate : 3.5 of 5

Maria Galante mencintai pekerjaannya sebagai fotografer profesional yang berkutat dengan jadwal padat pemotretan di bidang kuliner. Hingga suatu hari agennya menawarkan peluang untuk mengerjakan misi khusus di Afghanistan, menemani jurnalis ternama bernama Imogen Glass, yang hendak melakukan liputan tentang kaum perempuan di Afghanistan. Maria sadar bahwa di usianya ke-32 tahun, ia telah menikmati kenyamanan dan keamanan dalam rutinitas pekerjaan selama 2 tahun terakhir. Masa lalunya sebagai fotografer peraih penghargaan dan keberaniannya meliput aneka topik seputar sosial budaya di masyarakat, berusaha ia hapus dari ingatannya, terlebih setelah sindrom stress berkepanjangan yang sempat ia alami serta patah hati akibat putus dari calon suami yang ternyata diam-diam berselingkuh. Berkat bujukan Pierre – agen sekaligus sahabatnya, Maria mengambil keputusan nekad untuk kembali terjun dalam kancah jurnalistik di dunia yang sama sekali berbeda.

Wednesday, September 3, 2014

Books "SAVING FISH FROM DROWNING"

Books “PENYELAMATAN YANG SIA-SIA”
Judul Asli : SAVING FISH FROM DROWNING
Copyright © 2005 by Amy Tan
Penerbit Gramedia Pustaka Utama
Alih Bahasa : Ingrid Dwijani Nimpoeno
Desain & Ilustrasi Sampul : Eric Alexander
Cetakan I : Februari 2008 ; 552 hlm ; ISBN 978-979-22-3517-3
Rate : 3.5 of 5

~ | Berita Khusus | ~
“PESOHOR DIBANTAI DALAM PEMBUNUHAN BERLATAR PEMUJAAN”
“Tubuh Bibi Chen, usia 63 tahun, seorang pakar bisnis eceran, pesohor dan anggota dewan Museum Seni Asia, kemarin ditemukan di etalase tokonya di Union Square – The Immortals, yang terkenal dengan pengaruh China ... ditemukan pula sebuah benda kecil menyerupai penggaruk tanah yang memotong lehernya dan seutas tali yang dikencangkan mengelilingi lehernya, menandakan seseorang telah mencoba mencekiknya setelah tikamannya gagal. Pintu tokonya dibuka dengan paksa dan jejak berdarah sepatu pria berukuran 12 mengarah dari podium tempat tubuh Bibi Chen berada, kemudian tampak keluar dari pintu dan turun ke jalan. Di samping tubuhnya terserak perhiasan dan patung-patung yang pecah.”

Friday, July 4, 2014

Books "DUA BELAS PASANG MATA"

Books “DUA BELAS PASANG MATA”
Judul Asli : NIJUSHI NO HITOMI
by Sakae Tsuboi
Copyright © 1952 Koichi Kato
Diterjemahkan dari bahasa Jepang oleh Akira Miura
Penerbit Gramedia Pustaka Utama
Alih Bahasa : Tanti Lesmana
Desain & Ilustrasi Sampul : Yulianto Qin
Cetakan I : Maret 2013 ; 248 hlm ; ISBN 978-602-03-0024-5
Rate : 4 of 5

Sebuah buku yang ‘menarik’ – demikian kesimpulan awal yang muncul dalam benakku saat menilik desain sampul depan (yang sangat bagus dengan gliter-gliter segala) serta sinopsis di sampul belakang. Namun isi kisahnya ternyata melebihi perkiraan, dengan alunan sejarah perjalanan anak manusia yang polos hingga harus meninggalkan dunia yang penuh impian kala perang merenggut harapan serta keyakinan dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah kisah tentang anak-anak namun bukanlah bacaan anak-anak, dan meski mengangkat tema perang, tiada adegan kekerasan yang muncul, justru penggambaran yang menyentuh dengan untaian kalimat yang sederhana dan indah.

Friday, April 11, 2014

Books "DENGARLAH NYANYIAN ANGIN"

Books “DENGARLAH NYANYIAN ANGIN”
Judul Asli : KAZE NO UTA O KIKE
[ book 1 of The Rat Trilogy ]
Copyright © 1979 by Haruki Murakami
Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Alih Bahasa : Jonjon Johana
Editor : Dewi Anggraeni
Desainer sampul : Andrey Pratama
Lay-out : Iedham Fitrianjaya Nugroho
Cetakan II : Mei 2013 ; 119 hlm ; ISBN 978-979-91-0562-2
Rate : 3.5 of 5
~ Re-blogged from My Asian's Literature ~
“Tiada kalimat yang sempurna. Sama seperti tidak ada keputusasaan yang sempurna”
Sebuah kalimat pembuka yang mampu membuatku sejenak berpikir sebelum melanjutkan perjalanan menelusuri kata demi kata, halaman demi halaman, dan akhirnya kuputuskan untuk ‘mencoba’ menikmati kisah ini, alih-alih berusaha melakukan analisa atau penilaian tersendiri akan keseluruhan kisah ini ...

Ini adalah kisah tentang ‘Aku’ yang berperan sebagai seorang pemuda berusia menjelang 20 tahun, yang  sedang menghabiskan masa liburan musim panas di kampung halaman yang terletak di pinggir pantai. Sepanjang musim panas ini, ibarat membaca sebuah jurnal, aneka kisah yang tidak memiliki ujung atau pangkal, tentang peristiwa yang dialami atau buah pikirang yang bercokol dalam benak ‘Aku’ – semuanya tertuang menjadi kisah ini ...


Friday, September 20, 2013

Books "DI BAWAH BENDERA MERAH"

Books “DIBAWAH BENDERA MERAH”
Judul Asli : CHANGE
Copyright ©by Mo Yan 2010
English translation by Howard Goldblatt | published by Seagull Books, London, 2010
Penerbit Serambi
Alih Bahasa : Fahmy Yamani
Editor : Anton Kurnia
Penyelaras : Nadia Luwis
Pewajah Isi : Aniza Pujiati
Cetakan I : Juli 2013 ; 144 hlm ; ISBN 978-979-024-410-8
Rate : 3 of 5
~ Re-Blogged from My Asian's Literature ~

Nama Mo Yan mulai dikenal di awal tahun ini, setelah nama beliau disebut sebagai Pemenang Nobel Sastra 2012 lalu. Kemenangan penulis asal negeri China ini menimbulkan polemik tersendiri, dan masyarakat umum terutama kalangan dunia literatur terbagi dalam dua pendapat yang berbeda, yang semuanya mempermasalahan hal yang sama : Siapakah Mo Yan dan apakah beliau layak menerima penghargaan yang dianggap ‘prestisius’ di kalangan dunia literatur ? Apalagi mengingat lawan beliau dalam ajang perebutan penghargaan yang disertai dengan Hadiah bernilai tinggi, adalah penulis yang cukup terkenal di kalangan Internasional : Haruki Murakami dari Jepang.

Mo Yan adalah penulis asal China kedua yang menerima penghargaan ini. Sebelumnya di tahun 2000 telah diraih oleh penulis Gao Xingjian, namun karena beliau telah ‘keluar’ dari negari China sebagai protes terhadapa kebijakan pemerintahan komunis, dan memilih menetap dan menjadi warga negara di Prancis, bisa dikatakan Mo Yan merupakan penulis pertama asal China yang mendapatkan penghargaan yang mayoritas berada di ‘tangan’ para penulis Eropa. Mo Yan dikenal cukup kritis dalam menuliskan kehidupan serta perjuangan masyarakat China dalam pemerintahan komunis yang telah mengukir sejarah ‘kelam’ sekaligus perubahan besar pada negara serta penduduknya.


Thursday, September 19, 2013

Books "OKEI"

Books “OKEI – KASIH TAK SAMPAI SEORANG SAMURAI”
Judul Asli : OKEI
Copyright © 1974 by Mitsugu Saotome
English translation by Kenneth J. Bryson by title ‘Okei – A Girl From The Provinces’ | published by Alma Books, London, 2008.
Penerbit Serambi
Alih Bahasa : Istiani Prajoko
Editor : Fenty Nadia Luwis
Pemeriksa Aksara : Diksi Dik
Pewajah Isi : Eri Ambardi
Cetakan I : Agustus 2013 ; 596 hlm ; ISBN 978-979-024-405-4
Rate : 3,5 of 5
~ Re-Blogged from My Asian's Literature ~

Okei baru berusia 15 tahun ketika ia pertama kali bertemu dengan sosok samurai muda yang kelak selalu memenuhi benak dan hatinya. Sebagai putri pertama dari keluarga pengrajin gentong kayu di wilayah Aizu-Wakamatsu, yang dipimpin oleh bangsawan Matsudaira Katamori – gubernur kehormatan dan masih memiliki hubungan erat dengan keluarga kerajaan. Masyarakat Aizu yang berada jauh dari pusat kota, hidup dengan tenang tanpa menyadari adanya pergolakan politik serta ancaman adat-istiadat serta budaya yang telah diwariskan dari nenek moyang mereka.

Di awali pada penghujung tahun 1862 menurut kalender Masehi, pemerintahan feodal Jepang yang tertata dalam susunan kabinet dimana ada pihak Kerajaan serta Sang Putra Langit sebagai sosok pemimpin dan harapan masyarakat Jepang, bekerjasama dengan Penguasa Shogun yang memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan serta pusat kekuatan militer negara, mulai mengalami guncangan. Masuknya pengaruh ‘dunia Barat’ yang tidak disukai oleh kaum feodal Kuno, semakin kuat ketika akhirnya mereka berhasil ‘mendekati’ Kaisar Jepang baru yang masih sangat muda.


Wednesday, August 28, 2013

Books "RONGGENG DUKUH PARUK"

Judul Asli : RONGGENG DUKUH PARUK
Copyright © by Ahmad Tohari
Penerbit Gramedia Pustaka Utama
Cover by Mendiola Design | photos by Eriek Juragan
Cetakan VII : November 2011 ; 408 hlm
Rate : 3,5 of 5
~ Re-Blogged from My Asian's Literature ~

Dukuh Paruk yang terdiri dari 23 rumah merupakan kawasan pemukiman yang kecil dan tersendiri, jauh dari kawasan pemukiman lainnya. Para penghuninya merupakan keturunan dari Ki Secamenggala – moyang yang pernah menanamkan ‘namanya’ dalam sejarah sebagai pelarian bromocorah yang sengaja mencari tempat terpencil untuk menyepi dan menghabiskan sisa hidupnya. Sisa keturunan yang masih ada, bertahan hidup dengan tetap memegang adat istiadat serta aturan peninggalan leluhur mereka, termasuk tetap menyembah pemakaman Ki Secamenggala dan mempercayai ramalan bahwa suatu saat, Dukuh Paruk akan kembali meraih kejayaan seperti masa lalu melalui titisan roh indang pada calon ronggeng.
“Di pedukuhan itu ada kepercayaan kuat, seorang ronggeng sejati bukan hasil pengajaran. Bagaimanapun diajari, seorang perawan tak bisa menjadi ronggeng kecuali roh indang telah merasuk tubuhnya. Indang adalah semacam wangsit yang dimuliakan di dunia peronggengan.” [ p. 13 ]

Sunday, July 21, 2013

Books "OUT"


Books “BEBAS
Judul Asli : OUT
Copyright © 1997 by Natsuo Kirino
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Alih Bahasa : Lulu Wijaya
Cetakan II : Mei2007 ; 576 hlm
Design & Cover by Satya Utama Jadi
Cover photograh © by Dylan Collard
Rate : 3,5
[ Reblogged from HobbyBuku's Mystery Stories ]

Novel suspense karya penulis Jepang senantiasa menghadirkan nuansa yang menarik sekaligus mencekam, perpaduan antara kriminalitas denga dunia semi-supranatural sebagaimana keyakinan dan kepercayaan yang masih dipegang erat oleh masyarakat Jepang. Saat melihat novel ini, satu hal yang sangat menarik perhatianku, desain sampul yang merupakan kombinasi ilustrasi serta fotografi yang unik, disertai sinopsis yang tak pelak mengundang rasa penasaran. Sayangnya novel ini sudah cukup langka dan sulit ditemui, and thanks to mbak Astrid maka akhirnya kesempatan untuk ‘menikmati’ bacaaan yang mendapat rekomendasi kategori ‘gory’ dari beberapa rekan yang sudah membacanya, kini dapat pula dialami ...

Kisah ini dibuka dengan adegan kegiatan buruh pabrik yang merupakan salah satu dari sekian banyak industri yang berkembang di Jepang. Sebagaimana negara yang maju dan berkembang, salah satu penopang perekonomian dapat dilihat pada distrik industri, pabrik-pabrik yang tetap memperlakukan jam kerja penuh selama 24 jam, hingga ada pekerja shift pagi sesuai jam kerja normal, dan ada pula pekerja shift malam yang memulai tepat pukul 12 malam hingga menjelang pagi. Dari sekian banyak buruh dan pekerja kasar inilah, kisah kehidupan manusia dituturkan melalui sosok 4 orang wanita yang berbeda latar belakang dan kehidupan masing-masing, berteman karena sama-sama menjalani pekerjaan berat di pabrik makanan kotakan, hingga sebuah peristiwa mengerikan memicu rangkaian kejadian yang merubah total kehidupan mereka.


Masako Kotori (40 tahun-an)– yang tegas, selalu siap membantu teman, terutama dalam masalah keuangan, namun menjalani kehidupan yang sunyi dalam rumah tangganya ; Yayoi Yamamoto (30 tahun-an) – paling cantik dan menarik, namun menanggung beban karena suami yang suka berjudi dan menyiksa dirinya secara fisik ; Kuniko Jonouchi (29 tahun) – wanita yang selalu berpenampilan mewah dan menyolok, egois, dan sangat boros, hidup diluar batas kemampuan keuangannya dengan berhutang di sana-sini ; Yoshie Azuma (60 tahun) – janda yang terbebani untuk merawat dan memberi nafkah putri serta mertuanya yang invalid karena stroke. Masing-masing berusaha mempertahankan keamanan serta kestabilan yang mereka dapatkan, terutama pekerjaan berat dengan pemasukan yang cukup besar, jika saja kehidupan tidak berlaku sangat kejam terhadap mereka.

Masako hidup dengan suami dan seorang putra yang satu sama lain tak pernah lagi saling berkomunikasi meski hidup di bawah atap yang sama. Bagaikan orang asing yang tinggal di kamar-kamar sewa masing-masing, ketiganya berada di ujung jurang perpisahaan yang semakin lama semakin melebar dan dalam. Kuniko menganggap rendah pasangan hidupnya, yang tak mampu memuaskan dirinya secara seksual maupun keuangan, hingga suatu hari pria tersebut akhirnya menyerah terhadap tuntutan Kuniko dan ‘melarikan diri’ dengan membawa seluruh uang simpanan dan tabungan bersama. Yoshie menjalani kehidupan serta berjuang demi kedua putrinya, yang satu demi satu mengecewakan harapan serta impian masa depan yang lebih baik, dan memilih kehidupan yang justru menjerumuskan mereka dalam belitan kesulitan demi kesulitan, ditambah dengan beban harus merawat mertua yang sama sekali tak disukainya, bagai duri dalam daging. Sedangkan Yayoi, menikah dengan pria pujaan hatinya dan menentang larangan keluarganya, kemudian mendapati pria yang ia pilih ternyata benar-benar ‘brengsek’ dan semena-mena. Dan suatu hari, salah satu dari keempat wanita itu mengambil keputusan untuk ‘bebas’ dari segala beban yang melanda dirinya ...

Yayoi membunuh suami sebelum ia kembali dipukuli setelah sang suami menghabiskan seluruh tabungan keluarga untuk berjudi demi memenangkan wanita penghibur kelas atas. Permasalahan selanjutnya, bagaimana ia menyingkirkan mayat sang suami tanpa diketahui siapa pun ? Maka ia meminta bantuan Masako yang selalu siap membantu teman-temannya. Masako bersedia ‘melenyapkan’ mayat suami Yayoi, dan meminta bantuan Yoshie yang berhutang besar kepadanya, untuk memotong-motong dan membuang mayat tersebut hingga tak dapat ditemukan oleh siapa pun. Hal ini tidak akan terbongkar seandainya saja kegiatan tersebut dapat dirahasiakan dari Kuniko,yang akhirnya juga dilibatkan meski pada akhirnya wanita yang egois, pemalas dan tamak ni pula yang membawa kehancuran serta terbongkarnya rahasia tersebut. Dimulai dari ditemukannya potongan-potongan mayat disebuah taman umum, yang merujuk pada suami Yayoi yang telah dilaporkan hilang kepada pihak berwajib.

Kecurigaan awal jatuh pada diri sang istri, terutama ketika diketahui ia akan mewarisi sejumlah besar uang asuransi kematian sang suami. Namun bukti lain membawa pihak berwajib pada sosok yang memiliki latar belakang kriminal. Ia adalah pemilik klub dimana suami Yayoi berjudi dengan hutang besar dan selalu mengganggu primadona klub hingga dihajar keluar klub oleh sang pemilik, tepat pada malam ia lenyap tanpa jejak, hingga potongan tubuhnya ditemukan. Pria perlente yang dikenal dengan nama Mitsuyoshi Satake (43 tahun) pemilik klub terkenal Mika, ternyata pernah ditahan sehubungan pembunuhan keji melibatkan seorang wanita, yang diperkosa dan disiksa dengan cara ditusuk-tusuk sedemikian rupa hingga akhirnya tewas kehabisan darah. Setelah keluar dari penjara, ia mengganti namanya, membuang segala sesuatu yang berkaitan dengan masa lalunya, dan membangun karir yang membuatnya menjadi sosok kaya-raya nan misterius. Dan kini, masa lalunya kembali menghantui dirinya, dan menghancurkan reputasi serta kehidupan baru yang susah payah telah ia bangun. Ketika pada akhirnya pihak berwajib tak mampu menyajikan bukti konkret untuk menahannya, Satake bebas untuk melancarkan misi baru : membalas dendam pada pelaku pembunuhan sebenarnya yang telah menghancurkan kehidupannya ...

Kisah yang lumayan menegangkan sekaligus membuat miris dengan adegan-adegan yang diungkapkan secara gamblang oleh penulis, tak berbeda jauh dengan novel thriller ala penulis Amerika seperti karya Thomas Harris yang mengambil sosok psikopat Hannibal Lecter – yang bukan saja membunuh dan menyiksa korbannya, melainkan juga menyantapnya. Perbedaan nyata antara novel-novel serupa karya penulis Barat, Natsuo Kirino menuturkan kisah dengan mengambil latar belakang orang-orang biasa yang tampak normal dalam kehidupan sehari-hari. Mereka adalah kaum wanita pekerja yang statusnya berada di jenjang terendah dalam kehidupan masyarakat terutama di Jepang. Terlepas dari peran dan tanggung jawab mereka sebagai ibu rumah tangga, mereka juga harus mencari nafkah bagi keluarga, di kala sang kepala keluarga tidak mampu diharapkan lagi. Pembunuhan yang terjadi tanpa berpikir, semata-mata karena rasa takut, ngeri sekaligus amarah yang meledak akibat beban yang ditanggung sekian lama, disertai perencanaan dan perbuatan secara ‘dingin’ oleh Masako, hingga konspirasi yang dilakukan antara keempat wanita tersebut, semuanya merupakan latar belakang yang cukup menarik untuk disimak lebih lanjut. Apakah mereka semuanya termasuk kategori psikopat pula, atau hanya merupakan manusia biasa yang depresi dan ‘meledak’ di saat emosi mengambil alih pikiran sehat ?

Tentang Penulis :
Natsuo Kirino lahir pada 7 Oktober 1951 di Kanazawa, Ishikawa Perfektur, Jepang. Dia dengan cepat membangun reputasi di negaranya sebagai novelis dan penulis kisah misteri dengan bakat yang langka, dengan menyajikan karya-karya yang berbeda dengan genre kisah kriminal pada umumnya. Hal ini dibuktikan saat dia memenangkan berbagai penghargaan prestisius dalam bidang literatur, mulai dari penghargaan Japan’s Grand Prix untuk kategori Fiksi Kriminal (Crime Fiction) di Jepang pada tahun 1998 untuk novelnya ‘Out’ dan Naoki Award (penghargaan tertinggi di dunia literatur Jepang) untuk novelnya ‘ Soft Cheeks’ di tahun 1999. Beberapa karyanya telah diadaptasi ke layar lebar, dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa, terutama bahasa Inggris. Novelnya ‘Out’ merupakan novel pertama yang diterjemahkan dan diterbitkan dalam edisi berbahasa Inggris, hingga memperoleh nominasi dalam Edgar Award, dan telah diadapatasi pula ke layar lebar dalam versi Jepang disutradarai oleh Hideyuki Hirayama, dan saat rilis di tahun 2002 mendapat review serta tanggapan yang cukup ramai. Hak cipta kisah ini juga telah dibeli oleh New Line Cinema untuk dibuat film layar lebar versi Amerika dengan sutradara Hideo Nakata.

[ more about this author and related books, just check at here : Natsuo Kirino | on Wikipedia | on Goodreads | on IMDb ]

Best Regards,



Saturday, July 20, 2013

Books "NORWEGIAN WOOD"

Books ”NORWEGIAN WOOD”
Judul Asli : NORUWEI NO MORI
Copyright © 1987 Haruki Murakami
Penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Alih Bahasa : Jonjon Johana
Editor : Yul Hamiyati
Desain sampul : Aldy Akbar
Lay-out : Wendie Artswenda
Cetakan IV : Mei 2013 ; 423 hlm
Rate : 4 of 5

Mendengar nama Haruki Murakami merupakan gabungan antara rasa ‘penasaran’ sekaligus ‘ngeri’ karena karya-karya beliau bukan saja diakui oleh dunia literatur Internasioanl, melainkan juga termasuk dalam kategori ‘unik-aneh-tidak mudah untuk dipahami’ – maka harap dimaklumi jika baru kali ini diriku memberanikan diri membaca bukunya yang kebetulan diterbitkan ulang oleh penerbit KPG. Dan salah satu alasan lain mengapa diriku akhirnya ‘berani’ mencoba, karena sang penerjemah tidak lain Mr. Jonjon Johana yang sudah kukenal lewat karya terjemahannya seperti Shin Suikoden dan Botchan (yang cukup bagus pula hasilnya).

Buku setebal 400 halaman ini mampu kuselesaikan dalam tempo 2 hari, dan meski kisahnya dapat dikatakan sangat-sangat aneh, dan menggambarkan dunia manusia yang ‘sakit’ dengan pemikiran yang kelam dan cukup vulgar dalam membahas tema-tema yang terbilang tabu (terutama bagi masyarakat Asia), anehnya terdapat suatu ‘keindahan’ yang unik dalam rangkaian kata-kata serta kalimat percakapan yang acapkali mengundang tawa (antara geli sekaligus tersipu malu, mungkin juga sempat bikin warna wajaku jadi ‘blushing’ – untungnya tidak membaca di tempat umum). 


Secara singkat kisah ini merupakan perjalanan kenangan pria bernama Toru Watanabe yang kala itu berada di dalam pesawat menuju Jerman, dan mendengar lagu ‘Norwegian Wood’ yang dipopuleran oleh band ternama Beatles, hal ini mengingatkan Toru akan sosok wanita yang berada di dalam benak serta pikirannya selama bertahun-tahun, wanita bernama Naoko – kekasih sahabatnya, sekaligus kekasih hatinya yang tak pernah mendapat sambutan lebih dalam karena kondisi Naoko yang ‘sakit’ hingga menjelang ajalnya. Naoko dan Kizuki adalah sahabat Toru semasa SMA, kedekatan hubungan antara ketiga orang yang berbeda karakter serta sifat ini mengalami guncangan berat ketika Kizuki melakukan bunuh diri sebelum lulus sekolah, tanpa ada pertanda sebelumnya, tanpa meninggalkan pesan apa pun.

Kedekatan antara Toru dan Naoko terputus dengan sendirinya, masing-masing berusaha meneruskan perjalanan hidup dan masa depan yang dipilih, hingga nasib membawa keduanya bertemu saat sama-sama menempuh kuliah. Toru memendam rasa ‘cinta’ yang unik terhadap Naoko, bagaikan sebuah pengabdian tersendiri pada sosok yang ia anggap sempurna. Naoko sendiri menyukai Toru, namun tidak sama dengan kesukaannya terhadap Kizuki, yang senantiasa membayangi benak Naoko. Nantinya akan terungkap bahwa hubungan antara Naoko dan Kizuki ternyata ‘tidak-senormal’ pandangan umum, termasuk Toru yang tak pernah menduga adanya keanehan antara kedua sahabatnya. Dengan menggunakan seting pada masa tahun 1960-an, dimana terjadi pergolakan pada kaum muda-mudi, terutama di Jepang, yang kerap melakukan demonstrasi menentang birokrasi serta pemerintahan, munculnya pengaruh asing serta paham komunis, membuat suasana yang senantiasa meresahkan dan penuh gejolak. 

Toru Watanabe pada dasarnya adalah pemuda biasa-biasa saja, cukup jujur serta blak-blakan dalam mengutarakan pemikirannya, namun memiliki sedikit kelemahan : ia mudah tertarik dan  terpengaruh pada sosok manusia yang ‘berbeda’ (tersirat pula pada bacaan yang disukainya, mulai The Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald, The Centaur karya John Updike, The Magic Mountain karya Michael Mann hingga Catcher In The Rye karya JD Salinger.) Terlihat pada persahabatannya dengan Nagasawa – pemuda dari keluarga kaya raya yang suka bersenang-senang dan tak pernah serius dengan wanita, meski memiliki kekasih yang cantik dan setia, disusul dengan perkenalan sekaligus hubungan unik dengan Midori Kobayashi – teman sekelasnya di mata kuliah drama.

Novel-novel Jepang memang banyak yang terbilang ‘aneh’ jika menyangkut tema berkaitan dengan sosial budaya dan pemahaman tentang hubungan seksual antar manusia. Kemungkinan karena situasi yang membuat mereka hidup dalam ‘ketertutupan’ pada masa-masa sebelumnya, bahwa topik seks merupakan hal yang tabu bahkan bagi pasangan suami-istri, maka berbagai ungkapan yang dilontarkan secara ‘blak-blakan’ membuat kesan tersendiri bagi novel karya penulis Jepang. Dari beberapa karya penulis Jepang yang cukup ternama dalam dunia sastra dan literatur yang sudah kubaca, kebanyakan mampu menimbulkan ‘rasa-muak’ sekaligus ‘jijik’ dalam membayangkan ‘adegan-adegan-absurb’ yang berusaha ditampilkan oleh para penulis ini ... anehnya meski Norwegian Wood hampir sebagian besar juga ‘mengungkapkan baik adegan ‘nyata’ maupun ‘impian’ yang aneh-aneh – tidak muncul kesan yang sama. 

Hingga menjelang akhir, hanya dua hal yang muncul di benakku. Yang pertama adalah rasa ‘kasihan’ pada para ‘penderita-penyakit-jiwa’ yang dimunculkan melalui rangkaian karakter yang unik-unik : gay-lesbian-frigid-dominator-sexual-complulsive hingga obsesif-compulsif. Akan tetapi dalam perjalanan sepanjang kisah yang bagaikan menaiki ‘roller-coaster’ emosional yang labil ini, sebuah kenyataan menyentak pikiranku : apa bedanya antara manusia normal dengan manusia tidak normal ? Coba simak dialog saat Toru mengunjungi institusi untuk pasien sakit jiwa....
“Apakah ia seorang dokter atau pasien?” | “Menurutmu yang mana?” | “Aku tak bisa membedakannya sama sekali. Tetapi toh ia tidak terlihat waras.” | “Ia dokter.” | “Kelihatannya kalau pasien dan staf ditukar posisinya seimbang, ya.” | “Betul sekali. Tampaknya kamu sudah mulai memahami sistem di dalam masyarakat. Yang waras dari kami ... Adalah kami tahu bahwa kami tidak waras.”
Hal kedua yang membuatku penasaran, mengapa penulis tidak mengungkap secara gamblang apa penyebab ‘penyakit’ yang diderita oleh para tokoh dalam kisah ini, seperti apa penyebabnya, mengapa hal tersebut terjadi, bagaimana pemulihan atau penyelesaiannya ? Semuanya diserahkan pada pemikiran dan kebebasan pembaca untuk berusaha menafsirkan makna dan pesan-pesan penting yang bisa diambil. Dan sekali lagi diriku terbentur dalam rangkaian pertanyaan baru yang bermunculan, bagai sebuah teori yang terjawab untuk memunculkan sebuah pertanyaan baru lainnya ... Hingga sebuah kalimat yang telah beberapa kali dicantumkan namun tak segera masuk dalam ‘benak-ku’ – kalimat yang pada intinya mengingatkan bahwa hitam dan putih adalah serupa tapi tak sama, Analisa dan logika memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan, namun jangan pernah lupakan untuk ‘berhenti’ dan menikmati ‘keindahan’ yang disajikan di sekeliling kita. Jika tidak mampu menyadari hal tersebut, maka kita tidak akan pernah “HIDUP / MATI” __ So, I just enjoy it this book, even most of them still gave me such huge confusing and unanswers questions. I gave 4 stars just for the ‘beautiful-works’ about honesty of the dark-side inside human-being.
“Kematian bukanlah faktor yang menetukan untuk mengakhiri Hidup. Kematian hanya merupakan salah satu dari banyak faktor yang membentuk Hidup. Kematian bukanlah lawan Kehidupan, tetapi Ada sebagai bagian darinya. Dan itu adalah suatu kebenaran.” [ p. 396 – 397 ]

[ more about this author, books and related works, just check on here : Haruki Murakami | Norwegian Wood (Novel) | Norwegian Wood (Movie Adaptation) | Norwegian Wood (Movie's Site) | Norwegian Wood (Song)on Wikipedia | on Goodreads ]

‘Norwegian Wood (This Bird Has Flown)’ Song Lyrics by Beatles
I once had a girl, or should I say, she once had me... 
She showed me her room, isn't it good, norwegian wood? 

She asked me to stay and she told me to sit anywhere, 
So I looked around and I noticed there wasn't a chair. 

I sat on a rug, biding my time, drinking her wine 
We talked until two and then she said, "It's time for bed" 

She told me she worked in the morning and started to laugh. 
I told her I didn't and crawled off to sleep in the bath 

And when I awoke, I was alone, this bird had flown 
So I lit a fire, isn't it good, norwegian wood.

[ source : Norwegian Wood - Beatles

Best Regards,




Friday, June 21, 2013

Books "THE REMAINS OF THE DAY"

Books “PUING-PUING KEHIDUPAN”
Judul Asli : THE REMAINS OF THE DAY
Copyright © Kazuo Ishiguro 1989
Penerbit Hikmah
Alih Bahasa : Femmy Syahrani
Penyelaras Aksara : Ifah Nurjany
Pewajah Sampul : Windu Tampan
Penata Letak : elcreative26@yahoo.com
Cetakan III : Agustus 2007 ; 338 hlm
Rate : 3,5 of 5 
[ Conclusion at the bottom in English ] 
[ Reblogged from HobbyBuku's Classic ]

Sebuah pepatah lama mengatakan “Gajah mati meninggalkan Gading, Macan mati meninggalkan Belang, Manusia mati meninggalkan Nama” __entah mengapa hal ini yang terngiang di benakku setelah selesai membaca kisah ini, tentang perjalanan hidup sosok manusia yang mencari ‘sesuatu’ yang dianggap sebagai tujuan hidupnya, namun pada titik tertentu ia justru kehilangan arah. Seperti biasa, Kazuo Ishiguro mampu menuangkan buah pikirannya dalam untaian kalimat yang menarik sekaligus ‘indah’ secara keseluruhan dengan narasi yang unik dan sangat sederhana namun memiliki makna cukup dalam.

Kisah ini tentang sosok yang dikenal sebagai Mr. Stevens – Kepala Pelayan di Darlington Hall, salah satu kediaman khas bangsawan Inggris milik keluarga Darlington selama ratusan tahun. Beliau telah mengabdi selama hampir 35 tahun dan melayani langsung Lord Darlington hingga Perang melawan Nazi berimbas pada penurunan status serta perekonomian Lord Darlington. Dan pada akhirnya di tahun 1956 Darlington Hall dijual kepada Mr. Farraday – pengusaha kaya raya dari Amerika yang memiliki ketertarikan akan segala sesuatu yang ‘berbau’ Inggris Kuno. Maka Darlington Hall memiliki pemilik baru dan Mr. Stevens merupakan salah satu bagian dari ‘paket-penjualan’ Darlington Hall, harus mempersiapkan diri melayani majikan yang sama sekali berbeda.



Mr. Stevens merupakan salah satu contoh Kepala Pelayan yang telah menjalani masa kuno, karena ayah kandungnya juga merupakan Kepala Pelayan yang telah melayani keluarga bangsawan Inggris dari kalangan terhormat, dan telah mendidik putranya semenjak usia dini untuk merintis usaha yang sama : mengabdi pada keluarga bangsawan terhormat. Dan ketika tiba waktunya ia memlih tempat untuk menetap dan mengabdikan tujuan hidupnya bagi seseorang yang terhormat, Mr. Stevens memilih untuk mengabdi pada Lord Darlington. Tiada yang dapat menduga apa yang akan terjadi di masa depan, dan meskipun Mr. Stevens memberikan dirinya sepenuh hati demi keluarga tersebut, tiba saatnya ia mengalami ‘moment’ melihat kilas-balik perjalanan hidupnya.

Dimulai ketika Mr. Farraday bermaksud kembali ke Amerika Serikat selama 5-6 minggu pada bulan Agustus dan September 1956, maka ia memberikan cuti penuh kepada pada staf Darlington Hall, termasuk kepada Mr. Stevens, bahkan menawarkan agar dirinya berlibur keliling Inggris sambil membawa kendaraan Mr. Farraday. Bagi Mr. Stevens yang tak pernah mengambil kesempatan ‘menyenangkan’ dirinya (termasuk mengambil cuti liburan), ia akhirnya bersedia menerima penawaran itu untuk bepergian atau istilahnya ‘bertamasya’ menikmati pemandangan pedesaan Inggris di wilayah West Country membawa mobil. Selain itu ia memiliki tujuan khusus, untuk sekaligus singgah mengunjungi ‘kenalan’ lama, sosok yang dikenalnya sebagai Miss Kenton – salah satu mantan pelayan Darlington Hall yang pernah cukup dekat dengannya. Perjalanan yang diperkirakan memakan waktu 5 – 6 hari itu memberikan kesempatan pada Mr. Stevens untuk merenung dan mengingat perjalanan kehidupan yang telah dialami sejauh ini.

Melalui narasi Mr. Stevens, kita akan diajak menelusuri kehidupan kaum aristokrat Inggris yang sangat terkenal, adat serta kebiasaan yang tak tertulis namun merupakan aturan baku yang wajib dilaksanakan dengan penuh kesempurnaan. Sebuah keluarga bangsawan yang terhormat dan layak mendapat pengakuan bukan saja karena reputasi Lord dan Lady yang Terhormat, melainkan juga tindak-tanduk para pelayan serta reputasi pelayanan no. 1 yang harus dijaga kelangsungannya dalam keseharian. Dan aturan pertama untuk menjaga keselarasan dan kelangsungan aturan tersebut adalah sosok Kepala Pelayan yang mengawasi keseluruhan pekerjaan dan memastikan bahwa Majikan mereka terpuaskan.

Cukup menarik menyimak pendapat serta kemelut yang dihadapi oleh sosok Mr. Stevens. Sebagai contoh saat ia mencoba menelaah apa yang dibutuhkan sebagai sosok Kepala Pelayan yang baik. Jika menurut aturan Hayes Society yang hanya menerima anggota kehormatan tidak pernah lebih dari 30 orang, maka Kepala Pelayan No. 1 adalah yang melayani Keluarga Bangsawan Keturunan Terhormat. Demikian pula pendapat sang ayah, namun Mr. Stevens memiliki pendapat tersendiri, bahwa bukan hanya status sosial Keluarga yang mereka layani tetapi Kepala Pelayan No. 1 harus memiliki ‘martabat’ dalam memperlakukan orang lain termasuk diri sendiri.

Prinsip ‘martabat’ ini juga mengalami perdebatan diantara kalangan para Kepala Pelayan. Apalagi ketika jaman semakin berubah, kaum bangsawan lama terpuruk dalam kondisi perekonomian yang semakin memburuk ditambah dengan kemunculan kalangan OKB (Orang Kaya Baru) yang mayoritas merupakan pengusaha. Standarisasi dan tolak ukur pelayanan kelas satu juga merupakan topik yang menarik sekaligus unik untuk disimak. Jika ada semacam anekdot bahwa kaum bangsawan Inggris sangat kaku dan dingin dibandingkan ‘kerabat’ mereka, bangsawan Prancis, maka hal ini tercermin pula pada perilaku Kepala Pelayan serta para staf-nya. Bisa dibayangkan bagaimana perilaku Mr. Stevens – Kepala Pelayan Inggris yang terhormat berhadapan dengan Mr. Farraday yang notabene orang Amerika, bahkan cara bergurau mereka sangat berbeda alias satu sama lain ‘tidak-nyambung’ (gurauan ala Inggris dengan gurauan ala Amerika jelas sangat berbeda).

Secara garis besar, proses perjalanan tamasya selama hampir 1 minggu itu memberikan kesempatan bagi Mr. Stevens untuk ‘merenungkan’ makna pekerjaan bagi dirinya, yang tanpa disadari selama bertahun-tahun telah menjadi satu-satunya pedoman serta tujuan hidupnya, yang memberikan status serta harkat secara sosial namun kurang mendalam jika berkaitan dengan masalah pribadi. Hal ini tercermin dalam kenangan hubungannya dengan Miss Kenton, satu-satunya pelayan yang berani menentang dan melawan wewenang serta perintah dirinya sebagai tangan kanan Lord Darlington. Mr. Stevens telah mengorbankan kepentingan keluarganya sendiri seperti ketika ayahnya jatuh sakit hingga meninggal dunia terkena serangan stroke, hingga mengabaikan ‘curahan-hati’ Miss Kenton sebelum ia keluar dari jajaran staf Darlington untuk menikah dengan pria yang tak dicintainya.

Hal ini sedikit mengingatkan diriku akan sebuah penelitian bahwa mayoritas kaum pekerja (dalam hal ini para pria) yang selalu disibukkan sepanjang hidupnya untuk mengejar ‘prestise’ dan status dalam bidang pekerjaan serta sosial, dan suatu saat ketika mereka ‘kehilangan’ hal tersebut, lenyap pula Impian serta tujuan hidup, bahkan banyak yang kehilangan harkat serta martabat diri sendiri. Sebagaimana sosok Mr. Stevens yang ‘mempercayakan’ hidupnya kepada Lord Darlington, kemudian mendapati bahwa beliau pun manusia biasa yang bisa jatuh dalam kondisi terpuruk dan diabaikan dalam status sosialnya, bagaimana pula ia sebagai bawahan beliau mampu ‘mempertahankan’ harkat serta jati dirinya ? 
“Jangan melihat masa lalu terus, Anda pasti depresi. Dan memang, Anda tidak bisa mengerjakan tugas Anda sebaik dulu. Tetapi semua orang juga begitu, kan? Kita semua harus bertumpang kaki pada suatu saat. Memang, kita berdua sudah tidak muda lagi, tetapi Anda harus terus melihat ke depan. Anda harus menikmati hidup. Malam adalah bagian hari yang terbaik. Anda sudah merampungkan pekerjaan siang hari. Sekarang Anda bisa bertumpang kaki dan menikmatinya. Begitulah saya memandang hidup.” [ p. 333 ]
Kisah ini bukanlah sebuah drama ‘cengeng’ yang membuat kita termangu-mangu menyesali masa lalu yang telah terjadi. Sejarah telah terukir, kesalahan telah terjadi, penyesalan tidak akan membawa kemajuan kecuali disertai tekad untuk tetap melangkah maju menyongsong kehidupan baru, apapun yang akan terjadi. Penyesalan serta rasa malu yang dialami oleh Mr. Stevens membawanya pada sebuah pemikiran bahwa sepanjang hidupnya ia tak pernah ‘berhasil’ sesuatu tolak-ukur kesempurnaan yang selama ini menjadi pedoman utama kehidupannya. Ia merasa ‘palsu’ saat orang-orang melihat penampilannya bak pria terhormat, namun di dalam hati kecilnya ia merasa tak layak menerima penghargaan tersebut. Dan sebuah perjumpaan dengan sosok tak dikenal, mengingatkan dirinya bahwa kehidupan itu sangat sederhana dan sangat berharga untuk dihabiskan menyesali masalah ‘sepele’ (seperti masa lalu) ... Hidup itu harus dinikmati sebagai Sesuatu yang Terbaik setiap saat.
“Apakah yang bisa kita peroleh dengan selalu melihat ke belakang dan menyalahkan diri sendiri, jika kehidupan kita tidak berjalan persis seperti yang kita inginkan ? Apa gunanya terlalu mencemaskan apa yang mungkin bisa atau tidak bisa kita lakukan untuk mengendalikan alur kehidupan kita ? Tentunya sudah cukup bagi orang-orang seperti saya dan Anda, untuk setidaknya mencoba memberi sumbangan kecil bagi sesuatu yang benar dan berharga. Dan jika sebagian orang siap mengorbankan banyak hal dalam hidup demi mengejar aspirasi itu, tentunya itu sendiri, apa pun hasilnya, merupakan alaan untuk merasa bangga dan puas.” [ p. 334 - 335 ]
~ Antony Hopkins & Emma Thompson ~ [ 1993 Movie Adaptation ]
Conclusion :
This a story about a man trying to find the purpose of his life. Mr. Steven are the perfect example of a boy who taught and educated by his father to follow the foot-step of him, dedicated his life on the job as the main-purpose to serve his master. Eventually, Mr. Steven follow and achieve the hightlight on his life when he become ‘Butler’ in Darlington Hall by the honorable owner Lord Darlington him-self. Day-by-day, week after week, months become years, he continue his works without any mistake, he really proud of the whole achievement. Then something happen that changing the good-steady-calm living-style he already adapted and used to-be for many years. War and politics follow by the bangcrupcy and the issue surrounding the society that ruin the good name and the honorable position of Lord Darlington.

But Mr. Steven still maintain his manners and good works, even thou the world are changing into something he never knew. His new master are a wealthy man, but he is not like Lord Darlington at all. He even not a real Englishman Royalty, just a kind and gentle rich man from America. Suddenly he just remembering all those days that already gone-by, when finally after years he accepted the offer from his master to take a holidays, enjoy it the time for him-self. When he decided to going-on picnic for a week by travelling with his master’s car (it is a generous suggestion from his master), he had new mission, to meet an old acquintance he known many years ago, while he and she still at young age, serving at Darlington Hall.

The whole stories are merely going on the journey inside Mr. Stevens mind, while on the way to meet someone that he thinks are go-to-be his future, his past also come-back, flashing all the memories, the good ones, the bad ones and even the worse ones. The author really good capturing the life-style of an English people, specially on what we know as the honorable and respected society, many of them are royalties, an heirs from their ancestors, but many of them are vanished within the following more modern society, more rich and wealthy even not born from the heir of royalty. At the end, readers are ask to consider a moment of its life, did you already achieving anything in your life and are you proud enough on those, or you regret it many of your choices ? Despite of all the worse and negative side-of-the-story, I think we also ask not to be burden by our past, accepted and move-on, but never-ever stuck on only one way, there is so many choices, just take the risk, do harder and again, never regret the mistake but learrn from it (quickly) ...

Tentang Penulis :           
Kazuo Ishiguro lahir di Nagasaki, Jepang pada tahun 1954 dan pindah ke Inggris pada usia lima tahun. Berbagai penghargaan diterima atas karya-karyanya yang dikenal dunia internasional, seperti : A Pale View of Hills (1982, Winifred Holtby Prize). An Artist of the Floating World (1986, Whitbread Book of the Year Award, Premio Scanno, Shorlisted Booker Prize), The Remains of the Day (1989, Booker Prize Award), The Unconsoled (1995, Cheltenham Prize), When We Were Orphans (2000, Shorlited Booker Prize), dan Never Let Me Go (2005).

Selain itu beliau juga menerima lencana Order of the British Empire untuk pengabdian pada sastra di tahun 1995, dan tanda jasa Chevalier de L’Ordre des Arts et des Lettres di tahun 1998. Karya Kazuo Ishiguro telah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa, dan The Remains of the Day telah terjual lebih dari 1 juta copy untuk edisi bahasa Inggris, bahkan diangkat ke layar lebar dibintangi oleh aktor ternama Sir Anthony Hopkins sebagai Mr. Stevens dan Emma Thompson sebagai Miss Kenton. Kini beliau menetap di London, Inggris bersama istri dan putrinya.

[ more about the author, book, and related works, just check on here : Kazuo Ishiguro | The Remains of The Day (Novel) | The Remains of The Day (Movie)  ]


Best Regards,  


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...