Translate

Showing posts with label Political. Show all posts
Showing posts with label Political. Show all posts

Friday, September 20, 2013

Books "DI BAWAH BENDERA MERAH"

Books “DIBAWAH BENDERA MERAH”
Judul Asli : CHANGE
Copyright ©by Mo Yan 2010
English translation by Howard Goldblatt | published by Seagull Books, London, 2010
Penerbit Serambi
Alih Bahasa : Fahmy Yamani
Editor : Anton Kurnia
Penyelaras : Nadia Luwis
Pewajah Isi : Aniza Pujiati
Cetakan I : Juli 2013 ; 144 hlm ; ISBN 978-979-024-410-8
Rate : 3 of 5
~ Re-Blogged from My Asian's Literature ~

Nama Mo Yan mulai dikenal di awal tahun ini, setelah nama beliau disebut sebagai Pemenang Nobel Sastra 2012 lalu. Kemenangan penulis asal negeri China ini menimbulkan polemik tersendiri, dan masyarakat umum terutama kalangan dunia literatur terbagi dalam dua pendapat yang berbeda, yang semuanya mempermasalahan hal yang sama : Siapakah Mo Yan dan apakah beliau layak menerima penghargaan yang dianggap ‘prestisius’ di kalangan dunia literatur ? Apalagi mengingat lawan beliau dalam ajang perebutan penghargaan yang disertai dengan Hadiah bernilai tinggi, adalah penulis yang cukup terkenal di kalangan Internasional : Haruki Murakami dari Jepang.

Mo Yan adalah penulis asal China kedua yang menerima penghargaan ini. Sebelumnya di tahun 2000 telah diraih oleh penulis Gao Xingjian, namun karena beliau telah ‘keluar’ dari negari China sebagai protes terhadapa kebijakan pemerintahan komunis, dan memilih menetap dan menjadi warga negara di Prancis, bisa dikatakan Mo Yan merupakan penulis pertama asal China yang mendapatkan penghargaan yang mayoritas berada di ‘tangan’ para penulis Eropa. Mo Yan dikenal cukup kritis dalam menuliskan kehidupan serta perjuangan masyarakat China dalam pemerintahan komunis yang telah mengukir sejarah ‘kelam’ sekaligus perubahan besar pada negara serta penduduknya.


Wednesday, August 28, 2013

Books "RONGGENG DUKUH PARUK"

Judul Asli : RONGGENG DUKUH PARUK
Copyright © by Ahmad Tohari
Penerbit Gramedia Pustaka Utama
Cover by Mendiola Design | photos by Eriek Juragan
Cetakan VII : November 2011 ; 408 hlm
Rate : 3,5 of 5
~ Re-Blogged from My Asian's Literature ~

Dukuh Paruk yang terdiri dari 23 rumah merupakan kawasan pemukiman yang kecil dan tersendiri, jauh dari kawasan pemukiman lainnya. Para penghuninya merupakan keturunan dari Ki Secamenggala – moyang yang pernah menanamkan ‘namanya’ dalam sejarah sebagai pelarian bromocorah yang sengaja mencari tempat terpencil untuk menyepi dan menghabiskan sisa hidupnya. Sisa keturunan yang masih ada, bertahan hidup dengan tetap memegang adat istiadat serta aturan peninggalan leluhur mereka, termasuk tetap menyembah pemakaman Ki Secamenggala dan mempercayai ramalan bahwa suatu saat, Dukuh Paruk akan kembali meraih kejayaan seperti masa lalu melalui titisan roh indang pada calon ronggeng.
“Di pedukuhan itu ada kepercayaan kuat, seorang ronggeng sejati bukan hasil pengajaran. Bagaimanapun diajari, seorang perawan tak bisa menjadi ronggeng kecuali roh indang telah merasuk tubuhnya. Indang adalah semacam wangsit yang dimuliakan di dunia peronggengan.” [ p. 13 ]

Sunday, March 31, 2013

Books "DREAMS OF JOY"



Books “IMPIAN JOY”
Judul Asli : DREAMS OF JOY
Copyright © 2011 by Lisa See
Penerbit Gradien Mediatama
Alih Bahasa : Martha Pratana
Editor : Mariani Sutanto & Ang Tek Khun
Desain sampul : Heavenly-illusioniz Studio
Cetakan I : Februari 2013 ; 520 hlm
Rate : 4 of 5
[ Review in Bahasa Indonesia & English ]

“Ma, aku tidak tahu lagi siapa diriku ini. Aku juga tak bisa memahami negeri ini lagi. Negeri ini telah membunuh papa. Aku tahu, Mama akan berkata bahwa aku ini orang yang sedang kebingungan dan aku ini goblok. Mungkin Mama benar, tetapi aku harus mendapatkan jawabannya. Barangkali Negeri Cina adalah rumahku yang sesungguhnya...” [ p. 14 – 15 ]
Kisah ini dibuka dengan sepucuk surat yang ditulis oleh Joy – gadis remaja yang baru saja mengalami tragedi dalam kehidupannya, dan kemudian mendapati bahwa kehidupan yang selama ini dijalaninya ternyata merupakan kebohongan semata. Joy menemukan bahwa dirinya bukan putri kandung kedua orang tuanya. Pearl – sang ibu yang membesarkan dirinya semenjak bayi sebenarnya adalah bibinya, sedangkan May – sang bibi justru merupakan ibu kandung Joy, yang hamil saat remaja dengan seorang seniman asal Cina, sebelum keduanya Pearl dan May melarikan diri ke Amerika. Ayah yang membesarkan Joy bukanlah ayah kandungnya, namun beliau meninggal dengan menggantung diri akibat tekanan dan ancaman dari pihak FBI yang menyelidiki keterkaitan dirinya dengan organisasi terlarang serta pergerakan komunis dari Cina. Penyesalan Joy serta rasa bersalah, membuatnya mengambil keputusan nekad, ia melarikan diri dari kediamannya di Los Angeles, Amerika dan terbang menuju negeri Cina, mencari ayah kandung yang tak pernah dikenalnya.


Tindakan Joy yang bukan saja nekad tetapi juga dipenuhi oleh semangat membabi-buta akan kampanye reformasi yang sedang digaungkan oleh Pemimpin Mao terhadap Republik Rakyat Cina yang baru. Tanpa pengetahun yang mendalam, ia menuruti kata hatinya dan bersikeras bahwa hal tersebut adalah satu-satunya jalan guna menemukan kebahagiaan dalam kehidupannya. Perjalanan panjang dari Amerika hingga Hongkong dan akhirnya memasuki negeri Cina yang sedang dalam situasi ‘panas’, perjuangannya untuk menemukan pria yang merupakan ayah kandungnya, semuanya dilakukan tanpa perbekalan apapun, hingga hal tersebut membawanya ke sebuah desa yang merupakan proyek pemerintah yang harus dijalani oleh ayah kandungnya, seorang seniman ternama di Cina yang masuk dalam daftar hitam gerakan komunis saat itu.

[ source ]
Kisah ini bergulir dengan menampilkan perjalanan kehidupan 3 orang wanita, yaitu Joy – gadis remaja yang naif dan memiliki temperamen tinggi serta watak keras kepala ; Pearl – sang ibu yang membesarkan dan mengasih bayi yang diasuhnya mulai kanak-kanak hingga remaja, menyusul dan berusaha keras mengembalikan sang putri yang menolak dirinya, demi keselamatan jiwanya yang tak disadari telah terjerumus dalam doktrinasi propaganda komunis ; serta May – sang bibi serta ibu kandung Joy, saudara kandung Pearl, dimana keduanya sama-sama mencintai pria yang sama semasa remaja di Cina, namun dirinya yang hamil oleh pria tersebut. Masing-masing pihak telah mengorbankan sesuatu yang berharga dalam kehidupan mereka, dan kini di saat bahaya menghadang nyawa keluarga yang mereka cintai, saat hukum serta peraturan antara dua negara yang berbeda disertai peperangan serta propaganda pemerintahan RRC yang baru dan ekstrem, mereka harus bersatu demi menemukan jalan keluar dari siksaan dan kematian yang mengerikan.

Dengan latar belakang ‘The Great Leap Forward’ (Lompatan Jauh ke Masa Depan) yang terjadi sepanjang tahun 1958 hingga tahun 1962, kisah tentang perjuangan dan kekuatan kasih sebuah keluarga dijalin dengan sajian yang menyentuh sekaligus mendebarkan. Kampanye serta propaganda yang dilakukan oleh Pemimpin Mao untuk melakukan modernisasi pada perekonomian Cina dengan harapan pada tahun 1988, Cina dapat memiliki ekonomi yang setanding dengan Amerika, sebuah cita-cita yang baik dan memukau, dan mampu memberikan hasil yang diminta. Sayangnya prestasi tersebut dikotori dengan pengorbanan rakyat jelata, yang diperas tenaga dan sumber dayanya, hingga mereka mengalami masa paceklik berkepanjangan, kelaparan dan kematian melanda, ribuan nyawa melayang akibat permainan kotor para pejabat pemerintahan yang mencari keuntungan demi penghargaan akan hasil panen serta kontribusi tertinggi. Kisah yang merupakan kelanjutan dari novel sebelumnya ‘Shanghai Girls’ yang berkisah tentang pejalanan dua orang gadis bernama Pearl dan May yang terjepit dalam suasana perang di Shanghai, Cina, serta usaha pelarian menuju Amerika melalui jalur pernikahan yang telah diatur, dimana keduanya telah jatuh hati pada sosok seniman di Cina.

Sekali lagi penulis mampu memberikan porsi yang cukup menggigit bagi masing-masing karakter, disertai kehalusan, keindahan serta penuturan bagai membaca jurnal dari ke-3 sosok wanita yang memiliki watak serta karakter yang berbeda-beda, terpecah belah pada awalnya, namun pada akhirnya mereka bersatu demi satu tujuan : menyelamatkan nyawa baru yang hadir dalam keluarga mereka – bayi mungil, seorang calon gadis yang terjebak dalam teror serta kejaran pasukan pemerintahan Cina. Memasuki awal-awal kisah yang menggambarkan keegoisan serta sifat keras kepala Joy yang berbuat sekehendak hatinya, tidak terlalu mengindahkan perbedaaan mendasar bahwa ia hidup di negara Cina, yang sama sekali berbeda dengan Amerika. Dengan menggunakan soosk Joy, pembaca akan dibawa pada kepandaian propaganda pemerintahan komunis Cina, yang menuntut kehidupan sama rata – sama kedudukan – keadilan bagi semua. Tiada satu pun orang yang boleh hidup berlebih atau menonjolkan diri, semua berkat serta keuntungan harus dibagi bersama. Bagi seseorang yang memiliki ideologi tinggi, kehidupan seperti ini merupakan Impian sempurna bagi Joy, dan ia menutup mata atas segala kekurangan serta nasehat dari sang ibu yang telah jauh-jauh menyusul bahkan bersedia menjalani kehidupan berat di Cina demi membawa pulang kembali putrinya.

[ source ]
Cara indoktrinasi serta program ‘cuci-otak’ yang diterapkan pada masyarakat pedesaan sungguh menakjubkan sekaligus mengerikan. Masing-masing tak menyadari situasi yang semakin lama semakin berubah, bahkan ketika penderitaan semakin tak tertahankan, politik memecah belah dan mengadu domab berhasil diterapkan hingga pihak-pihak yang  berani melawan akhirnya terkalahkan bahkan tewas di tangan sesama kenalan bahkan anggota keluarganya sendiri. Kelaparan yang terjadi sangat mengerikan hingga membunuh dan memakan bayi-bayi  terutama anak-anak perempuan (di Cina, anak perempuan dianggap tidak berharga bahkan merupakan beban keluarga). Joy yang telah mengecap kehidupan  di Amerika memiliki pemahaman yang berbeda, namun ketika akhirnya ia sadar, sudah terlambat untuk melarikan diri bahkan mencoba berhubungan dengan keluarganya di kota, karena pemerintah menutup jalur komunikasi antara desa-desa yang menjadi korban dengan kota-kota besar. Di saat para pejabat penting dan penduduk kota besar menikmati kenyamanan serta kenikmatan yang melimpah yang disediakan oleh setiap tetes keringat serta darah penduduk pedesaan, dunia luar hanya mengetahui keberhasilan Pemimpin Mao dan penyebaran paham komunis, hingga kekuatan para wanita, para ibu demi menyelamatkan nyawa putrinya, baik May, Pearl dan Joy, dengan bantuan beberapa pihak yang bersimpati, dimulailah pergerakan bawah tanah untuk menyelamatkan nyawa yang masih tersisa dan menunjukkan bukti pada dunia luar.

Conclusion :
Reading story involving War always gave me such ‘dreadful-feelings’ like when I read something with Holocaust themes, how humans can prey into others humans those image cannot relive on my mind. This story also involving War but a very different kind of War – it’s not involving shooting on others (at least in directly) but the main purpose and the result are equally devastating and worse like any others Wars. History takes note on the tragedy behind ‘The Great Leap Forward’ – an campaign announce by the Great Chief Mao between 1958 until 1962, that’s takes hundreds of casualties from adult until babies, who suffers from hunger and poverty. If you like reading such historical fiction, this story will intrigue you from start until the end, ‘cause the author also puts many surprises and very intense stories until the end.

[ source ]
What I really like, the characters are not some super-hero, just an ordinary women, who works in hard and heavy labor, but yet they still use their imagination and cleverness to puts something different into their works. Like when they have to communicate among them, all letters are open-up and read, and all packages are comfiscated by censoric team, but they manage to slip away their message or something else, like hidden money. Or when Pearl used the posters with their picture, cut-slice-glue them into becoming shoes as the message to her daughter, ‘cause inside Cina (specially in common people) paper are hard to find at that time, books are limited to personal who works approve by government. When you are not allow to have personal belonging ‘cause it will proove you are as the opportunistis againts communist peoples, then you have to think smart not to let any one know you hidden secret, like what Pearl do, to save something for her family. And when government close the only way to communicate between others, forbid all the media to prevent any news inside and outside the community, Joy inventing a clever ways to tell her story to the world and send her message to her family, pour her heart into mural-paintings. This is a story that tell that no such stories can be held hostage by some government ‘cause there’s so many ways to tell them into the world. Love it !!!

Tentang Penulis :
[ source ]
Lisa See adalah penulis yang masuk dalam jajaran penulis laris versi New York Times. Ia telah menghasilkan berbagai karya tulis yang mendapat pengakuan baik melalui khalayak umum maupun penghargaan di bidang literatur, di antaranya : Shanghai Girls, Peony in Love, Snow Flower and the Secret Fan (yang telah diangkat ke layar lebar dengan judul sama), Flower Net (memperoleh nominasi dalam Edgar Award), The Interior, dan Dragon Bones.

Organisasi Chinese American Women (Perempuan Cina Amerika) bahkan memberikan penghargaan National Woman of the Year pada tahun 2001. Kini beliau tinggal di Los Angeles, Amerika bersama keluarganya. Untuk mengenal lebih jauh tentang beliau serta karya-karyanya, silahkan berkunjung di situs resminya : Lisa See's Site atau follow akun twitternya di : @Lisa_See

[ more about this story, also check on : Lisa See | Shanghai Girls | Dreams of Joy ]

Best Regards,


Wednesday, March 27, 2013

Books "AN ARTIST OF THE FLOATING WORLD"


Judul Asli : AN ARTIST OF THE FLOATING WORLD
Copyright © by Kazuo Ishiguro, 1986
Copyright © 2010 Penerbit Elex Media Komputindo
Alih Bahasa : Rahma Wulandari
ISBN : 978-602-02-0497-0 | 2013 | 226 hlm
[ Review in Bahasa Indonesia & English ]
“Sebuah kebahagiaan mendalam yang muncul dari keyakinan bahwa perjuangan seseorang telah diakui ; bahwa kerja kerasnya telah membuahkan hasil, keraguannya terhapuskan, semuanya menjadi sepadan dan bernilai – inilah kisah tentang seseorang yang telah mencapai sesuatu  yang  bernilai dan memperoleh pengakuan.” [ p.  223 ]
Kehidupan seorang manusia semenjak ia terlahir di dunia hingga tiba saatnya ia kembali ke asalnya – merupakan perjalanan unik yang memiliki jejak serta warna yang berbeda, antara satu dengan yang lain. Terlepas dari perbedaan ras, kondisi lingkungan, status ekonomi dan sosial, masing-masing memiliki kesempatan yang sama, yaitu menentukan sendiri pilihan akan jalan mana yang akan ditempuh dalam menjalani hari demi hari. Namun yang sering terjadi, manusia tidak mau meluangkan waktu untuk bersyukur atas kebahagiaan, kesenangan, kenyamanan, kenikmatan dan kesuksesaan yang dialami. Bahkan acapkali senantiasa menuntut ‘hak’ diatas ‘kewajiban’ dan menyalahkan siapa saja atas kesalahan dan kegagalan yang dialami, alih-alih berusaha menerima tanggung jawab atas diri sendiri.


Kisah ini adalah tentang sosok bernama Masuji Ono – putra pengusaha yang memilih jalan hidupnya sendiri semenjak remaja, menentang mandat serta perintah orang tuanya, terutama sang ayah yang menghendaki dirinya meneruskan usaha keluarga. Dengan seting waktu sekitar tahun 1920-1950, bertepatan saat Jepang mengalami transisi besar-besaran menjelang invasi terhadap RRC dan Perang Dunia II, hingga reformasi setelah paska perang, kehidupan sosok Masuji Ono terlukiskan dalam 3 periode waktu yang berbeda-beda. Dibuka dengan saat pemuda ini menentukan pilihan hidupnya untuk menekuni jiwa seninya sebagai pelukis, meninggalkan keluarganya yang sama sekali tidak mendukung, karena seorang seniman dianggap tidak memiliki martabat ataupun menjalani kehidupan yang cukup terhormat di kalangan masyarakat umum.

Perjalanan menempuh medan yang cukup berat, dijalani dengan penuh tekad, hingga pemuda ini diterima ‘magang’ di tempat salah satu tokoh seniman ternama, setelah sebelumnya ia terlunta-lunta demi mencari nafkah bagi dirinya sendiri sekaligus berusaha mengembangkan keahliannya.  Kehidupan baru yang dijalani dengan semangat tinggi, berkumpul bersama sesama murid sang Mahaguru, mengembangkan tehnik melukis dalam bimbingan sang Seniman. Tiada kehidupan yang sepi dan sunyi selama ia bersama dengan para rekan dengan sang pembimbing, menjalani pesta pora di malam hari, tertidur menjelang pagi, melukis pada siang hari. Hingga pada suatu hari, sang pemuda mendapati dirinya ‘berubah’ dan memiliki hasrat yang sama sekali berbeda dengan kemauan sang guru. Lukisannya berubah, karena jauh di dalam hati nuraninya, ia mulai menemukan panggilan hatinya. Jika di awal ia ‘terusir’ dari keluarganya demi mencari jati diri, kini ia kembali ‘terusir’ dari kediaman yang telah sekian lama menerimanya, dianggap sebagai pengkhianat karena ia menuruti panggilan hati daripada kemauan dan tuntutan sang guru.

Sang pemuda yang memiliki semangat berapi-api, menemukan cahaya baru di tengah pergolakan menjelang masa peperangan antara Jepang dan Sekutu. Kampanye dan propaganda menjadi agenda tersendiri yang dijalani dengan penuh keyakinan serta prinsip yang kuat, tanpa disadari bahwa semua hal yang ia lakukan akan berimbas pada kehidupannya di masa mendatang. Hingga ketika perang akhirnya usai dengan kekalahan Jepang. Pemuda yang telah menjadi pria dewasa, menikah dan kehilangan anggota keluarga tercinta semasa peperangan, menjalani masa-masa ketika ia bukan lagi seorang murid melainkan guru bagi para pemuda yang haus akan pengetahuan dan bimbingannya. 

Dan segala sesuatu dalam kehidupannya seakan berbalik, ketika ia mendapati berada pada posisi serupa saat ia berhadapan dengan sang ayah untuk mempertahankan Impiannya, ketika ia harus merelakan ‘dikeluarkan’ oleh sang Guru sekaligus mentor karena Impiannya telah melebihi sang pembimbing – hanya kini ia berada pada posisi yang berbeda, ia bukan lagi pemuda lugu yang memiliki semangat menggelora. Kini ia adalah seorang ayah, seorang pembimbing, seorang mentor dan tokoh yang disegani. Dulu ia bersekutu dengan gerombolan para pemberontak yang menginginkan perubahan yang lebih baik pada Jepang. Kini ia tak yakin dengan segala perubahan serta pengaruh dunia Barat yang merambah kehidupan masyarakat Jepang. Bagaimana ia harus menghadapi kematian istri dan putra tunggalnya ? Bagaimana ia mengatasi kegagalan pertunangan putrinya yang (mungkin) disebabkan oleh status serta latar belakang dirinya ? Bagaimana ia berhadapan dengan murid kesayangannya yang berbalik membenci karena ‘tindakan’ yang ia lakukan di masa lalu ? Dan bagaimana ia mampu menjalani hari demi hari, menatap sisa-sisa keindahan dan kejayaan peninggalan masa lalu, runtuh, habis menjadi abu yang lenyap ditiup angin, digantikan sesuatu yang sama sekali baru ....
“Kami hidup selama ini nyaris sesuai dengan gaya hidup dan nilai-nilai yang diajarkannya, dan ini membutuhkan waktu panjang untuk mengeksporasi bagian dari ‘dunia awang-awang’ – dunia malam yang penuh kesenangan duniawi, hiburan dan minuman yang mewujud pada latar belakang seluruh lukisan karya kami.” [ p. 58 ]
‘An Artist of the Floating World’ – menggambarkan kehidupan seniman pelukis Jepang pada era menjelang abad ke-20, di mana sebagian besar para seniman besar mulai menerapkan gaya para pelukis Eropa, hingga timbul perang berkepanjangan melawan pihak Barat. Maka agenda para seniman ini bertambah dengan masuknya propaganda serta kebijakan pemerintahan Jepang pada masa itu. Kebebasan mengekspresikan pikiran serta jiwa ke dalam lukisan, sering kali harus ditebus dengan penangkapan oleh pihak-pihak militer, ditahan dan acapkali disiksa karena dianggap sebagai pengkhianat bangsa. Hal ini diperburuk dengan sikap sewenang-wenang pejabat pemerintahan serta oknum-oknum yang memanfaatkan hal tersebut untuk ‘menyingkirkan’ pihak-pihak yang tak disukai dengan dalih demi keamanan negara.
“Aku telah belajar banyak hal selama beberapa tahun ini, terutama soal berkontemplasi tentang dunia hiburan dan mengenali keindahannya yang rapuh. Tapi, rasanya inilah saatnya melebarkan sayap ke hal-hal baru, karena aku yakin di masa-masa sulit seperti ini, seniman harus belajar menilai sesuatu yang lebih berwujud daripada hal-hal menyenangkan yang lenyap seiring fajar tiba. Seniman tidak perlu selalu identik dengan dunia yang tertutup dan moral yang rendah. Sensei, hati kecilku berkata aku tak bisa selamanya menjadi seniman di dunia awang-awang.” [ p. 197 ]
Dituturkan dengan gaya penulisan melalui sudut pandang pihak pertama, sosok Masuji Ono mampu membawa para pembaca untuk menelusuri jejak serta langkah-langkah yang diambil dalam berbagai konflik di kehidupannya. Meski pada awal kisah berjalan sedkit lambat dan berputar-putar antara masa silam dan masa terbaru, secara perlahan, kita akan mendapat gambaran nyata, rahasia dibalik misteri yang menyelimuti sejarah kehidupan Masuji Ono – yang tak pelak lagi juga mencerminkan situasi serta kondisi masyarakat Jepang pada era tersebut. Yang menarik, penulis memberikan garis batas yang cukup tegas menjelang akhir kisah, tentang perenungan serta kontemplasi makna kehidupan, bahwa seharusnya tiada penyesalan sedikit pun atas apa pun yang terjadi di masa lalu, baik atau buruk semuanya memberikan ‘warna’ tersendiri yang menghidupkan ‘lukisan’ diri kita masing-masing.
“Setidaknya kita bertindak sesuai dengan keyakinan kita dan melakukan yang terbaik sesuai dengan kemampuan kita masing-masing.”
Tentang Penulis :
Kazuo Ishiguro, lahir di Nagasaki, Jepang pada tanggal 8 November 1954, namun keluarga bermigrasi ke Inggris di tahun 1960. Ia memperoleh gelar BA dari University of Kent di tahun 1978 dan gelar Master dari University of East Anglia untuk ‘creative writing course’ di tahun 1980. Ia secara resmi menjadi warga negara Inggris pada tahun 1982. 

Beliau merupakan salah satu penulis fiksi kontemporer yang banyak dibicarakan dan diakui dalam dunia penulisan di Inggris, dan karya-karyanya memperoleh banyak sorotan serta penghargaan International. Mulai dari 4 nominasi untuk Man Booker Prize, dan memenangkan salah satunya lewat “The Remains of the Day” pada tahun 1989, hingga kisah ini diangkat ke layar lebar dengan judul sama, dibintangi oleh Sir Anthony Hopkins dan Emma Thompson.  Kemudian anugerah OBE pada tahun 1995, hingga Chevalier de l’Ordre des Arts et des Lettres pada tahun 1998. Pada tahun 2008, The Times menempatkan beliau pada posisi ke-32 dari daftar  50 penulis Inggris ternama semenjak 1945.  

Novel pertamanya ‘A Pale View of Hills’memperoleh penghargaan Winifred Hotlby Memorial Prize di tahun 1982. Menyusul novel keduanya ‘ An Artist of the Floating World’ yang memperoleh Whitbread Prize di tahun 1986. Kesuksesan novel ke-3 ‘The Remains of the Day’  (1989)disusul dengan rilisnya ‘The Unconsoled’ (1995) dan ‘When We Were Orphans’ (2000). Novel terbarunya ‘Never Let Me Go’ (2005) masuk dalam daftar 100 Novels Inggris terbaik versi Times Magazine, dan diangkat pula ke layar lebar dan rilis September 2010, dibintangi oleh Keira Knightley, Andrew Garfield dan Carey Mulligan.

Best Regards,


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...