Books
“RUNTUHNYA DINASTI WANG”
by Pearl S. Buck
Penerbit Gramedia
Pustaka Utama
Alih Bahasa :
Irina M. Susetyo & Widya Kirana
Desain &
ilustrasi sampul : Satya Utama Jadi
Cetakan II :
Agustus 2008 ; 536 hlm ; ISBN 978-979-22-3798-6
Harga Normal :
Rp. 55.000,-
Ini adalah kisah
tentang Wang Yuan – putra Wang si Macan, cucu Wang Lung – petani sederhana yang
berhasil meningkatkan derajat kehidupan dan membangun keluarga besar, walau
masa depan yang terjadi tidak seluruhnya sesuai harapan. Dalam kisah
sebelumnya, pembaca diajak menelusuri kehidupan baru sosok Wang Lung yang
berhasil mengangkat dirinya beserta keluarga dari kemiskinan hingga menjadi
kaya raya dan berkuasa, walau semua perjuangan Wang Lung lambat laun hancur
akibat ulah ketiga putranya. Salah satu sosok ‘pemberontak dalam keluarga
ditampilkan pada putra bungsu Wang Lung, yang lari dari rumah, bergabung dengan
tentara rakyat dengan tujuan menghancurkan keraj keras ayahnya. Namun sejarah kembali
berulang, karena Wang Si Macan akhirnya menjalani kehidupan kurang lebih serupa
dengan ayahnya ...
Saat muda dan
kuat, ia ditakuti, dan julukan yang melekat pada dirinya, menyebabkan Wang Si
Macan memiliki kekuasaan atas rasa takut yang menghinggapi orang-orang di
sekelilingnya. Waktu berlalu tanpa disadari, Wang Si Macan pun beranjak tua,
kekuasaan yang didasarkan atas rasa takut pihak lain, akhirnya mulai luruh.
Cengkeraman kekuasaan Wang Si Macan menghilang, terutama semenjak ia
dikecewakan oleh putra kesayangannya, Wang Yuan yang juga memilih memberontak
pada kemauan ayahnya, serupa dengan yang dilakukan Wang Si Macan di masa silam
pada ayahnya. Jika dulu Wang Si Macan membenci dan mengecam gaya hidup hedonis
ayahnya, menempatkan dirinya sebagai pejuang pemberontak melawan kapitalisme,
kali ini ia berhadapan pada situasi sama persis, hanya saja ia bertukar tempat
dan harus berhadapan dengan putranya.
Wang Yuan baru
berusia 19 tahun saat ia pulang dari sekolah militer, tempat dimana sebagian
besar waktunya semenjak remaja dihabiskan alih-alih tinggal bersama ayahnya.
Sekian tahun tak bersua sang ayah, sosok yang diibaratkan sebagai monster
menakutkan dalam mimpi-mimpi buruknya, berubah menjadi pria tua renta yang
mulai melupakan segala sesuatu dan tenggelam dalam minuman untuk melenyapkan
rasa sakit yang menggerogoti dirinya. Rasa takut bercampu amarah dan dendam
membara, sedikit banyak berubah melihat kondisi ayahnya yang menyedihkan. Namun
sifat keras kepala antara keduanya tetap tak mampu menjembatani rusaknya
hubungan yang terjadi sekian lama. Sebuah pertengkaran yang kesekian kalinya,
mendorong Wang Yuan kembali melarikan diri, walau kali ini ia memilih untuk
tinggal di desa kediaman kakeknya.
Alih-alih merasa
bosan, Wang Yuan justru mendapati ia menikmati suasana kehidupan di desa.
Sayangnya, hal itu tidak berlangsung lama karena para penduduk desa, termasuk
keluarga yang menjaga kediaman kakeknya, merasa khawatir dengan kehadiran salah
satu anggota keluarga Wang Si Macan – setidaknya rasa takut akibat kekuasaan
Wang Si Macan di masa lalu masih membekas di benak penduduk desa yang lugu ini.
Di sisi lain, Wang Yuan mendapati terlepas dari melemahnya kondisi sang ayah,
pria tersebut masih memiliki tekad besar untuk mengatur masa depan anaknya,
termasuk merencanakan perjodohan untuk mengikat putranya dalam pernikahan yang
menguntungkan kedua belah pihak, setidaknya ditinjau dari pihak keluarga Wang,
dan ia menempuh segala cara untuk memastikan hal itu terlaksana.
Murka sekaligus
frustasi karena tidak mampu menemukan tempat pelarian lain, Wang Yuan mendadak
teringat pada ibun angkatnya, wanita yang dinikahi Wang Si Macan, namun
kemudian tidak dipedulikan setelah melahirkan seorang putri. Menyadari dirinya
tidak lagi dianggap sebagai pasangan, sang istri meminta agar ia menjalani
kehidupan terpisah di kota besar, dimana ia membesarkan putrinya jauh dari
pengaruh Wang Si Macan. Kisah pun bergulir pada kehidupan baru Wang Yuan di
kota besar, bersekolah, memiliki teman-teman baru dan menjalani pergaulan
sosial sekaligus ‘mencicipi’ aneka ragam budaya yang diperkenalkan oleh adiknya
Ai-lan, gadis remaja dengan kehidupan bebas sekaligus godaan-godaan baru. Wang
Yuan mulai mengenal apa itu ‘Cinta’ dalam pemahamannya yang lumayan polos, dan
patah hati akibat kurangnya pemahaman tentang cara berkomunikasi atau memahami
pihak lain.
Dari buku pertama
yang menjadi salah satu favoritku, disusul buku kedua yang jujur lumayan jauh
dari ekspektasiku, buku ketiga ini memiliki nuansa yang sama sekali berbeda.
Bisa jadi karena latar belakang yang digunakan lebih dekat pada era Revolusi
Cina, saat pengaruh Barat telah merasuk sedemikian dalam dalam budaya,
keyakinan serta kesehariaan masyarakat Cina. Pada dua buku sebelumnya, kesan
budaya Cina sangat kuat, dan anehnya di buku ini pun penulis mampu memberikan
besarnya kekuatan dan kecintaan akan tanah leluhur, justru dengan menampilkan
sosok Wang Yuan yang harus merantau jauh ke belahan benua lain. Saat situasi
Revolusi mulai membahayakan keselamatan dirinya beserta saudara-saudara
sepupunya, mereka dikirim ke Amerika untuk menempuh pendidikan lanjutan.
Bukan hal yang
mudah bagi Wang Yuan untuk beradapatasi dengan masyarakat Amerika. Hal tersebut
tidak dipermudah dengan kurangnya pengetahuan dan pemahaman mayoritas bangsa
Amerika terhadap bangsa Cina, hingga muncul pemahaman secara stereotype
menyangkut mayoritas imigran Cina (Asia). Penulis memaparkan pergulatan yang
senantiasa menyelubungi hati dan pikiran Yuan, ketidak-puasannya atas penilaian
Amerika pada umumnya pada kaumnya, tanpa menyadari dirinya juga melakukan
penilaian sepihak, yang tercermin dari interaksi hubungan antara dirinya dengan
keluarga Dr. Henry Wilson, salah satu gurunya yang memiliki misi kuat untuk
merubah Yuan menjadi salah satu umat Kristiani. Situasi semakin rumit saat Yuan
‘tertarik’ pada putri sang mentor, yang ternyata menyambut niat Yuan, anehnya
justru membuat Yuan terbelah antara keyakinan dari leluhurnya dengan
dogma-dogma Kristiani yang ia jumpai.
Konflik antara
Barat dan Timur, kepercayaan leluhur dan ajaran Kristiani, acapkali muncul
dalam beberapa karya penulis yang pernah kubaca, seperti Madame Wu, Peony,
Mandala maupun East Wind, West Wind. Walau topik ini disajikan cukup pendek
dalam kisah kali ini, penulis mampu memberikan gambaran sejauh mana usaha
asimilasi yang terjalin saat pengaruh Barat masuk ke Timur, demikian pula
sebaliknya. Sebagian mampu menerima perbedaan-perbedaan yang muncul namun cukup
banyak yang mengalami pergulatan hingga menimbulkan gejolak pada
individu-individu tertentu, sebagaimana kisah Wang Yuan. Dengan ending yang
menarik, harus ku-akui bahwa buku pamungkas serial ini, memiliki nilai-nilai
yang lebih dan jauh lebih kompleks dibandingkan dua buku sebelumnya. Dan
sebagai penggemar karya penulis, ini adalah salah satu buku yang layak kurekomendasikan
bagi sesama penggemar maupun pembaca lainnya \(^_^)/ ...
Love-Love-Love-It-So-Much !!!
Judul Asli : A HOUSE DIVIDED
[ book 3 of HOUSE OF EARTH Trilogy ]
Copyright © 1932 ; renewed 1959 by Pearl S. Buck
Rate : 4 of 5
Tentang Penulis :
Pearl
Sydenstricker Buck ( 26 Juni 1892 – 6 Maret 1973 ), dikenal pula dengan nama
Cina Sai Zhenzhu, adalah seorang penulis asal Amerika yang menghabiskan separuh
hidupnya di Cina hingga tahun 1934. Lahir di Hillsboro, West Virginia, dan
dibawa ke Cina pada usia 3 bulan mengikuti tugas yang diemban oleh ayahnya
sebagai seorang misionaris, karena itu Pearl dibesarkan dalam lingkungan
bilingual, baik Cina maupun Inggris. Keluarga mereka mengalami masa-masa berat
saat Pemberontakan Kaum Boxer, menimbulkan perpecahan antara bangsa Cina dan
bangsa Asing (terutama dari Barat).
Pada tahun 1911,
beliau meninggalkan Cina untuk menuntut ilmu di Amerika, dan baru kembali ke
Cina pada tahun 1914 dan menikah dengan John Lossing Buck pada tanggal 13 Mei
1917, menetap di Suzhou, di Provinsi Anhui (lokasi yang beliau gunakan pada
novelnya The Good Earth). Kemudian mereka pindah di kediaman baru di Nanking,
Cina dan keduanya juga mengajar di Universitas Nanking. Kehidupan mereka
semakin berat dengan propaganda pemerintahan baru Chiang Kai-shek, dan pada
Maret 1927 Tragedi Nanking yang
mengambisi nyawa ribuan orang, membuat mereka menjadi salah satu dari sekian
banyak bangsa asing yang bersembunyi dari kejaran tentara Chiang Kai-shek. Pada
tahun 1934, mereka meninggalkan Cina untuk menetap di Amerika, dan tak pernah
kembali ke Cina (pada tahun 1972, beliau berencana mengunjungi Cina, namun
terkena larangan Presiden Nixon yang baru membuka hubungan diplomatik dengan
pemerintah Cina). Pada tanggal 6 Maret 1973, beliau meninggal di Danby, Vermont
akibat kanker paru-paru.
Beliau merupakan
sosok yang sangat aktif dalam pergerakan hak-hak kaum wanita, pelestarian
budaya Asia, masalah dan topik seputar birokrasi di bagian imigrasi, adopsi,
pekerjaan misionaris dan kampanye anti-perang. Pandangan politik serta
pengalaman hidupnya, banyak tercurah dalam karya-karyanya abik berupa novel,
kumpulan cerita pendek, fiksi, cerita anak, serta biografi keluarganya. Di
tahun 1949, beliau tergerak untuk membangun Welcome House, Inc – agen
adopsi Internasional pertama yang menangani kasus-kasus anak-anak
‘blasteran/campuran’ yang banyak ditolak di kedua belah pihak. Selama 5 dekade
perjuangan mereka, agensi ini telah berhasil menempatkan hampir 5.000 anak-anak
terlantar ke keluarga penuh kasih yang bersedia mengadopsi mereka.
Kegiatan beliau
sebagai seorang humanitarian tak berhenti sampai di sini. Di tahun 1964, beliau
mendirikan Pearl S. Buck International yang memiliki tujuan mengangkat harkat
hidup anak-anak terlantar dan miskin di Asia, terutama mereka yang tidak
memenuhi persyaratan untuk diadopsi. Pergerakannya kian meluas hingga membentuk
panti-panti asuhan di Korea Selatan, Thailand dan Vietnam dengan nama
Opportunity House. Sebagaimana ia katakan, “Tujuan utama misi ini adalah
menyebarkan sekaligus menghapuskan ketidak-adilan serta prasangka terhadap
anak-anak, hanya karena mereka terlahir berbeda, bukan berarti mereka tak boleh menikmati pendidikan,
menjalani kehidupan sosial serta status layaknya anak-anak normal lainnya.”
Keberanian
dirinya sebagai aktivis politik yang berhubungan dengan harkat manusia, tampak
pada era dimana pembicaraan atau diskusi tentang topik ini bisa membuat
seseorang ditangkap dan ditahan. Beliau justru menantang masyarakat Amerika
dengan mengangkat isu rasialis, diskriminasi sex, dan ribuan bayi-bayi terlahir
dan terlantar akibat perlakuan tentara Amerika terhadap kaum wanita di Asia
selama peperangan. Rumah tempat kelahiran beliau di Hillsboro kini menjadi
sebuah museum sejarah dan pusat budaya yang dibuka untuk umum, siapa saja yang
peduli dan bersedia membuka pikiran serta Impian masa depan yang lebih
baik. Pearl S. Buck adalah seorang
istri, ibu, penulis, editor dan aktivis hak-hak kemanusiaan. Para pembaca bisa
melihat buah pikirannya lewat The Good Earth yang masuk dalam daftar bestseller
selama 1931-1932 di Amerika, sekaligus memenangkan penghargaan Pulitzer Prize
di tahun 1932. Pada tahun 1938, beliau dianugerahi Nobel Prize in Literature
atas tulisannya yang kaya akan penggambaran detail kehidupan orang-orang yang
tersia-sia di Cina.
[
more about the author & related works, just check at here : Pearl S. Buck
| on Goodreads
| on Wikipedia | on IMDb ]
Best Regards,
@HobbyBuku
No comments :
Post a Comment
Silahkan tinggalkan pesan dan komentar (no spam please), harap sabar jika tidak langsung muncul karena kolom ini menggunakan moderasi admin.
Thanks for visiting, your comment really appreciated \(^0^)/