Translate

Tuesday, June 18, 2013

Books "THE FAULT IN OUR STARS"

Books “SALAHKAN BINTANG-BINTANG”
Judul Asli : THE FAULT IN OUR STARS
Copyright ©2012 by John Green
Pernerbit Qanita
Alih Bahasa : Ingrid Dwijani Nimpoeno
Editor : Prisca Primasari
Proofreader : Yunni Yuliana M.
Desain cover : BLUEgarden
Cetakan I : Desember 2012 ; 424 hlm
Rate : 4 of 5     
     
Salah satu alasan ‘PENTING’ mengapa diriku akhirnya memutuskan untuk membaca kisah ini tidak lain karena desakan serta rayuan plus propaganda teman-teman disertai ‘label’ Goodreads Choice Awards 2012. Tanpa ini semua, kisah sejenis ini tidak bakalan masuk dalam daftar bacaanku. Mengapa ? Pertama : kisah tentang penderita kanker yang tak mungkin sembuh – sesuatu yang berbau kesedihan dan keputus-asaan merupakan hal-hal yang kuhindari (bikin depresi soalnya). Kedua : kisah tentang anak remaja, berarti termasuk ABG, dugaan awal ini merupakan tipikal kisah romansa remaja yang sekali lagi ‘not-my-cup-a-tea’. Ketiga : asli desain sampul edisi terjemahan ini sama sekali tidak menarik (apakah ini alasan penting, well, bisa dikatakan sebagai salah satu pertimbangan). Dan akhirnya setelah melalui pertimbangan masak-masak, maka disinilah hasil dari proses membaca buku yang direkomendasikan oleh berbagai kalangan pecinta buku populer ...



Ok, semenjak awal kisah, sosok Hazel Grace Lancaster menarik minatku untuk menelusuri lebih jauh perjalanan kisah manusia yang ditulis dengan gaya yang cukup unik oleh sang penulis. Hazel adalah gadis remaja penderita kanker tiroid yang telah berkembang hingga menyerang paru-parunya. Ia kini berusia 16 tahun, berusaha menjalani hari demi hari sebagaimana layaknya remaja seusianya. Sedikit perbedaan (menurut Hazel) dengan anak-anak yang ‘normal’ – Hazel telah memperoleh ijazah SMU dan sedang mengikuti kelas khusus setaraf universitas (yang berarti ia anak yang cerdas, kanker tidak berpengaruh pada otaknya), dan ia disarankan untuk selalu mengikuti Pertemuan Kelompok Pendukung (bertemu dengan sesama penderita kanker, saling berbagi ‘kisah’ masing-masing setiap minggunya), meskipun sangat enggan tetapi demi kedua orang tuanya (terutama sang ibu) Hazel bersedia melakukan itu semua. Dan disinilah suatu hari, Hazel bertemu dengan Augustus Waters, pemuda berusia 17 tahun penderita osteosarkoma.

Bak kisah ala Shakespeare ‘Romeo & Juliet’ , kedua remaja ini saling menyukai bahkan dapat dikatakan saling memiliki satu sama lain. Sosok Hazel yang berkesan cuek, moody dan blak-blakan, bertemu dengan Augustus yang atletis (sebelum ia kehilangan salah satu kakinya akibat kanker), periang sekaligus cukup romantis jika berhubungan dengan Hazel. Dari sekedar saling bertukar buku bacaan (cocok sekali dengan pecinta buku ya), dimana Hazel mencurahkan salah satu keinginannya untuk bertemu muka dengan penulis kesukaannya. Karena sang penulis tampaknya hanya menghasilkan satu buku yang menjadi bestseller, kemudian lenyap tanpa jejak, tiada yang mengetahui dimana gerangan ia berada. Hingga Augustus berhasil melacak dan menghubungi perwakilan sang penulis, yang kini menetap di Belanda.

Yang paling kusukai adalah cara penulis yang menampilkan sosok Hazel dan Augustus apa adanya, sebagai gambaran remaja Amerika di dunia modern, yang harus berusaha menyeimbangkan kehidupan mereka sehari-hari dengan kondisi kesehatan tanpa ada jaminan untuk pulih seratus persen. Di antara kesan cuek dan tak ambil peduli, pembaca diajak menelusuri sudut terdalam hati mereka yang disembunyikan cukup baik. Bagaimana mereka bersikap agar tabah dan kuat bukann saja karena penyakit yang diderita melainkan demi orang-orang yang mereka cintai, para orang tua yang ikut ‘menderita’ karena tak mampu membantu lebih jauh dalam masalah penyakit anak-anaknya. Atau situasi yang terjadi dalam pertemuan Kelompok Pendukung saat mendapati setiap minggu ada seseorang yang bisa jadi tidak muncul kembali karena ‘kematian’ telah menjemput mereka, para remaja yang masih sangat muda dan mengalami penderitaan serta sakit silih berganti.
“Apa yang kuperangi? Kankerku. Dan, apakah kankerku itu? Kankeku aalah aku. Tumor-tumor itu adalah bagian dari diriku. Mereka adalah bagian dari diriku, sama seperti otak dan jantungku adalah bagian dari diriku. Ini perang saudara, Hazel Grace, dengan pemenang yang sudah ditentukan sebelumnya.” [ p. 291 ]
Sepanjang kisah penulis menghantarkan alunan nada yang membuat emosi naik-turun, tertawa bersama canda serta gurauan antara Hazel serta Augustus, sedih dan tak berdaya saat mendapati Isaac – sahabat Hazel dan Augustus harus kehilangan satu-satunya mata yang yang masih tersisa akibat kanker mata yang langka, sekaligus takjub dan penasaran akan perjalanan panjang yang akan ditempuh oleh Hazel bertemu sang penulis favoritnya di Belanda. Yep, Augustus Waters pemuda yang luar biasa, bahkan berhasil membuat serangkaian rencana yang akhirnya menerbangkan dirinya serta Hazel dan sang ibu untuk melancong ke Belanda (fuihh...jadi bertanya-tanya apakah para pasangan yang masih dalam kondisi sehat-wal’afiat bersedia berkorban dan mencari dengan segala cara untuk memenuhi Impian pasangannya ?).
“Jika kau pergi ke Rijksmuseum, sesuatu yang ingin sekali kulakukan__dan kuharap suatu hari nanti kau akan ke sana, kau akan melihat banyak lukisan orang mati. Kau akan melihat Yesus disalib, dan kau akan melihat seorang lelaki ditusuk lehernya, dan kau akan melihat orang-orna yang mati di lautan dan dalam pertempuran, dan sederet martir. Tapi Tidak. Ada. Satu pun. Anak. Pederita. Kanker. Tidak ada seorang pun yang mati akibat wabah atau cacar air atau demam kuning atau apa pun, karena tidak ada kejayaan dalam penyakit. Tidak ada makna di dalamnya. Tidak ada kehormatan di dalam kematian yang diakibatkannya” [ p. 291-292 ]
Jika pada awalnya diriku harus ‘didorong’ untuk memulai membaca kisah ini, kini justru semakin mendekati halaman terakhir, perasaan berat menggantungi diriku, karena hal ini berarti kisah perjalanan Hazel serta Augustus harus berakhir, berhenti. Kurasa tiada satu pun manusia yang menyukai perpisahan apalagi kematian karena itu berarti SELESAI-FINISHED-DONE, sama sekali tidak ada kelanjutan kisah yang membuat kita penasaran. Namun melalui kedua sosok manusia Hazel dan Augustus, kita, para pembaca, diajak untuk menjalani prosesnya dan menikmati setiap detik selama kita masih dapat bernafas di dunia yang juga semakin sekarat ini ...

Favorite Qutes : 
Hampir semua orang terobsesi untuk meninggalkan tanda di dunia. Meninggalkan warisan. Hodup lebih lama daripada kematian. Kita semua ingin diingat. Aku juga. Itulah yang paling menggangguku, menjadi korban lain yang tidak diingat dalam perang kuno dan hina melawan penyakit. AKU INGIN MENINGGALKAN TANDA.”
Tapi, Van Houten : tanda-tanda yang ditinggalkan oleh manusia sering kali berupa bekas luka. Kita menyerupai sekumpulan anjing yang mengencingi hidran air. Kita meracuni air tanah dengan kencing beracun kita, menandai segala sesuatunya sebagai MILIKKU dalam upaya konyol untuk bertahan hidup dari kematian. Aku tidak bisa berhenti menngencingi hidran air. Aku tahu itu konyol dan tak berguna – benar-benar tidak berguna dalam keadaanku saat itu – tapi aku hewan, sama seperti siapa pun lainnya. “
“Hazel berbeda. Dia berjalan dengan ringan, sobat Lamaku. Dia berjalan dengan ringan di dunia. Hazel mengetahui kebenarannya : Mungkin kita juga melukai alam semesta ketika membantunya, dan kemungkinan kita tidak melakukan keduanya. Orang akan mengatakan betapa sedihnya karena Hazel meninggalkan lebih sedikit bekas luka, karena lebih sedikit orang yang mengingatnya, karena dia dicintai secara mendalam, tapi tidak secara luas. Tapi, itu tidak menyedihkan, Va Houten. Itu kemenangan. Itu heroik. Bukankah itu kepahlawanan sejati? Seperti kata dokter : Pertama-tama, jangan menyakiti.”
“Aku benar-benar berpikir Hazel akan mati sebelum aku bisa memberitahunya, bahwa aku juga akan mati. Aku hanya memegangi tangan Hazel dan berupaya membayangkan dunia tanpa kami. Dan, selama kira-kira sedetik aku menjadi orang yang cukup baik, berharap dia mati sehingga tidak akan pernah tahu kalau aku juga akan mati. Tapi kemudian, aku menginginkan lebih banyak waktu, sehingga kami bisa jatuh cinta. Kurasa aku mendaptkan keinginanku itu. Aku telah meninggalkan bekas lukaku. Kau tidak bisa memilih apakah kau akan terluka di dunia ini, Sobat Lama, tapi kau bisa ikut menetukan siapa yang melukaimu. Aku menyukai pilihan-pilihanku. Kuharap Hazel menyukai pilihan-pilihannya. Aku menyukai pilihan-pilihananku, Augustus. Sungguh.” 
Tentang Penulis :
John Michael Green, lahir pada 24 Agustus 1977 di Indianapolis, Indiana,  adalah penulis terlaris versi New York Times yang telah memenangkan berbagai penghargaan seperti Printz Medal, Printz Honor dan Edgar Award, dan telah dua kali menjadi finalis LA Times Book Prize. Bersama dengan saudaranya, Hank Green, mereka adalah bagian dari Vlogbrothers [ http://youtube.com/vlogbrothers ] - salah satu proyek video online terpopuler di dunia. Saat ini dia tinggal di Indianapolis, Indiana bersama Sarah Urist - istri serta putranya.

[ more about the author, books and related works, check on here : John Green | on Wikipedia | on Twitter | Movies Adaptation ]

Best Regards,

Hobby Buku                       

No comments :

Post a Comment

Silahkan tinggalkan pesan dan komentar (no spam please), harap sabar jika tidak langsung muncul karena kolom ini menggunakan moderasi admin.
Thanks for visiting, your comment really appreciated \(^0^)/

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...